Chapter 15 : In The End of The Year

2080 Kata
"Okay, we should stop doing this. A Little bit creepy dont you think?".  "Aku tidak tahu. Mungkin kau mengikutiku.".  Malam ini terhitung kedua kalinya dalam satu hari mereka bisa keluar dari dalam kamar secara bersamaan. Apalagi pintu kamar Aram dan Emily bersebelahan. Jadi ketika keduanya keluar maka tanpa sengaja dapat saling menyenggol.  Emily mengangkat sebelah alisnya. "Atau kau yang mengikutiku.", balasnya sambil melipat tangan di depan d**a.  Aram menatap Emily dari atas kebawah. Kemudian menggeleng pelan dan berlalu sebelum berdebat karena alasan yang tidak jelas. Emily yang melihatnya hanya mendengus geli sebelum mengikuti pria itu turun.  Dibawah sana. Sudah ada Annelisse, Nathaniel dan juga Steven sedang bersiap di dapur. Mereka bertiga menyiapkan bahan-bahan makanan untuk barbeque nanti.  Mengenai Steven- setelah tadi pagi mereka berbelanja pria itu pulang dan datang kemari pukul tujuh malam tadi. Aram menolak Emily membawa Steven ke dalam griya tawang karena beralasan. "Sudah cukup aku menjadi obat nyamuk. Aku tidak ingin melihatmu dan mantan kekasihmu bermesraan di tempatku.", kata-kata itu terngiang di kepala Emily sampai detik ini.  "Aku akan mengambil wine dan scotch." Emily menoleh menatap Aram ketika pria itu berkata bersamaan pada saat mereka berdua memasuki dapur. Lalu ia mengangguk. "Aku akan menyiapkan gelasnya." Aram berlalu. Emily langsung menuju laci gantung dan sedikit berjinjit untuk mengambil gelas wine dan sloki. Namun tiba-tiba sebuah tangan melewati wajahnya. "Biar aku yang mengambilnya." Emily menoleh menatap Steven, ia mengangguk kecil dan melangkah mundur membiarkan pria itu mengambil gelas di laci atas yang cukup tinggi itu. Steven mengambil masing-masing berjumlah sesuai dengan tamu yang hadir. Kemudian mengopernya pada Emily untuk diletakkan di atas kitchen island. "Terima kasih." "Tidak perlu berterima kasih.", balas Steven. Ia tersenyum lebar. "Ngomong-ngomong... aku suka pakaianmu." Emily menunduk beberapa saat. Tangannya sedikit menarik kain terusan yang ia kenakan. Terusan itu berbahan rajut dengan potongan bagian atas halter.  "Ibu Maureen yang memberinya sebagai hadiah natal." "Gelangnya juga? Terlihat sangat serasi" "Bukan. In-" "Dariku." timpal Aram tiba-tiba membuat Emily menoleh menatap pria itu dan memberikan pandangan tajam. Sedangkan Steven mengangkat sebelah alisnya. Emily kembali menatap Steven. Ia mengulas senyum tipis sambil mengusap tengkuknya. "Ibuku yang memilihnya." Steven tersenyum kecut. "Tidak ada bedanya." Aram pura-pura tidak mendengar. Ia menyibukkan diri untuk membuka botol wine dan scotch yang baru diambilnya di tempat penyimpanan yang ada di dalam ruang bermain billiard. Sedangkan Emily. Ia merasa frustasi. Ia menghela napasnya. "Aku tidak tahan lagi." "Tidak tahan lagi?", tanya Steven bingung. Emily menumpukkan kedua tangannya di tepian kitchen island. "Mau kau atau aku yang menjelaskan padanya?" "Menjelaskan apa?", tanya Steven pada Emily membuat Aram melirik pria itu. Aram mengambil satu gelas berkaki yang ada diantaranya dan Emily. Kemudian menuangkan sedikit wine sebelum mendorong gelas itu kearah Steven. "Chateau Cheval Blanc 1928. Kau mungkin membutuhkannya." Steven mendengus. Emily lagi-lagi melemparkan tatapan tajam pada Aram sebelum pria itu berlalu mengajak Nathaniel dan Annelise menyiapkan peralatan untuk memanggang di balkon.  "Jadi?" Emily menggigit bibir bawahnya. Ia menghadap Steven.  "Hmmm bagaimana menjelaskannya..." "Tidak peru dijelaskan. Jawab saja pertanyaanku.", kata Steven. "Apa ini alasan kenapa kau tidak bisa kembali menjalin hubungan denganku?" "Bukan- bukan itu!", Emily mulai panik.  "Lalu?" "Berjanjilah kau tidak akan menyebarkan apapun yang kukatakan padamu." Steven mendengus pelan. Kemudian ia mengerjap. "Jadi kau tidak percaya padaku? Memangnya kita kenal berapa lama?" Emily menarik napasnya dalam. "Bukan itu. Hanya saja-" "Kau tahu? Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu lagi.", sergah Steven sambil mengangkat sebelah tangannya.  "Apa?" Steven membuang pandangannya kearah lain. "Tidak apa jika kau dan Aram bersama. Hanya saja aku kecewa karena kau tidak mempercayaiku.", tangannya yang terangkat kini ditepukkan diatas kitchen island sedikit keras. "Sebaiknya aku menghabiskan tahun baru dengan keluarga dan teman-temanku. Setidaknya mereka percaya padaku." Emily langsung menahan Steven yang hendak berlalu. Ia merentangkan kedua tangannya agar pria itu tidak dapat melewatinya dengan mudah. "Lebih baik lagi jika kau minum wine yang diberikan Aram agar kau lebih tenang." Steven terdiam.  "Bukannya aku tidak percaya padamu. Hanya saja aku banyak pikiran belakangan ini." "Kau bisa membaginya bersamaku. Sudah kukatakan tempo hari bukan? Aku disini untukmu dan aku ingin kau membagi semua bebanmu denganku. Apa masih kurang jelas?" Emily mengusap wajahnya cepat. "Aku tahu. Dan aku minta maaf.", jawabnya. "Lalu apa? Kau akan melakukannya lagi." Emily kini terdiam.   "Selama kau belum mencobanya. Jangan minta maaf padaku.", tambah Steven cepat.  "Aram. He's my brother." Steven berusaha mencerna perkataan Emily yang diucapkan dalam sekali tarikan napas. "Apa yang kau katakan tadi?" "Aram. Dia akan menjadi kakaku. Ibuku dan Adrian Langford akan menikah.", jawab Emily. Ia menghela napasnya lega karena berhasil mengatakannya. "Maaf aku tidak memberitahumu karena aku sendiri ragu. Aku juga tidak tahu apakah aku harus senang mendengar berita itu. Disatu sisi aku membutuhkan ibuku tapi di satu sisi ibuku membutuhkan Adrian." "Dan kau ketakutan- jika kembali padaku hanya sebagai pelarian?" "Untuk kembali padamu..." Emily berdehem. "Kita berdua tidak tahu kedepannya seperti apa. Namun yang pasti hubungan pertemanan kita saat ini- Aku hanya tidak ingin didasari rasa kasihan." Steven memejamkan matanya sesaat dan menunduk. Lalu ia kembali mendongak menatap Emily sambil menghela napas cepat. "I'll drink that wine." ... Pukul sebelas malam tepat mereka berenam selesai menyelesaikan hidangan dan membereskan peralatan memasak barbeque di balkon tadi. Setelah itu berkumpul di ruang tamu untuk menikmati waktu dengan mengobrol bersantai sambil menikmati wine sebelum tahun berganti. Diiringi dengan musik yang mengalun pelan dari speaker disekitar sudut ruang tamu.   "Aku tidak menyesali datang kemari. Meskipun kita hanya berenam tapi terasa lebih menyenangkan.", kata Maureen membuka pembicaraan. Ia duduk di sisi Emily dan Steven dalam satu sofa. Sementara yang lainnya berbeda sofa. Tentu saja Aram duduk sendiri. "Berterima kasihlah padaku dan Aram. Kami berdua yang menyiapkannya." Aram mendengus geli mendengar ucapan Nathaniel. "Sebenarnya hanya aku. Kau hanya mengawasi para orang suruhanku." Nathaniel mencebikkan bibirnya. "Kau ini!", cibirnya. Sontak semua tertawa. Terutama Annellise.  "Maklumi saja. Niel memang suka begitu.", timpal Annellise.  Emily menahan senyum di bibirnya. "Oh Niel? Panggilan baru?", godanya. Annellise tidak menyadari sampai Emily menegurnya. Ia tersipu malu membuat Nathaniel langsung mencubit gemas pipi gadisnya.  "Niel!", tegurnya. Mendengar seruan Annelise membuat semuanya tertawa. Steven mencondongkan sedikit tubuhnya dan berbisik pada Emily. "Aku jadi ingat jika dulu kau juga punya nama panggilan khusus untukku." Emily menjulurkan lidahnya. "Aku tidak akan memanggilmu dengan nama itu lagi. Jangan harap." "Aku akan menunggunya." "Selamat menunggu.", balas Emily sambil tersenyum lebar. Aram yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya. Bukannya tidak menyetujui hubungan Steven dan Emily. Hanya saja Aram berpikir, kenapa bisa Emily menerima mantan kekasihnya kembali? Berbanding dengan Aram  yang akan menolak keras mantan kekasihnya untuk kembali lagi di kehidupannya. Entah dengan alasan apapun. Apalagi jika mengingat alasan kenapa hubungannya dan kekasihnya dulu berakhir. "Aram!" Aram tersadar dari lamunanya. Ia menelengkan sedikit kepalanya dan matanya berpindah menatap Maureen yang ada di sisi Emily. "Ya Maureen?" Maureen bangkit berdiri. Berjalan melewati Emily dan Steven untuk menghampirinya. Kemudian mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. "Would you like to dance with me?", idenya itu tiba-tiba terlintas ketika mendengar musik yang mengalun sangat pas. "I don't dance.", jawabnya. "Aku bisa mengajarimu." Aram melirik Emily sekilas karena ragu. "Ayolah...", Maureen langsung menarik Aram agar pria itu bangkit berdiri. Dengan terpaksa Aram menurutinya karena tidak ingin mempermalukan wanita itu. Ia tahu bagaimana rasanya dipermalukan di depan umum atau teman-teman terdekatnya.  "Sebentar saja." Maureen mengangguk cepat. Ia menggandeng Aram menuju ruang diantara ruangan tamu dan lobi yang cukup luas. Ruang yang bisa dijadikan aula atau lantai dansa sementara.  Perlahan Aram memutar Maureen sebelum merengkuh wanita itu. Aram meletakkan tangannya di pinggang Maureen dan Maureen meletakkan tangannya di bahu Aram. Mereka berdua berayun mengikuti irama musik. Nathaniel bertepuk tangan dengan keras. "Kalian berdua cocok juga kalau dilihat-lihat!", serunya. Aram tidak menggubris sedangkan Maureen menahan senyum di bibirnya. Pipinya mendadak merasa panas sehingga ia menunduk. "Ayo kita ikut.", timpal Annelisse. Nathaniel mengiyakan. Ia bangkit berdiri dan menggandeng Annellise. Mereka berdua ikut berdansa di dekat Aram dan Maureen. "Kau mau berdansa juga?", tawar Steven. Emily mendengus geli. "Kau tahu aku tidak suka berdansa." "Tapi kau bisa.", balas Steven. Ia bangkit sambil menggandeng tangan Emily. Ia menarik wanita itu untuk ikut berdansa dengan yang lainnya. Sedikit berbeda- Steven dan Emily hanya berpelukan sambil berayun pelan. Emily memejamkan matanya menikmati musik. Terkadang ia berdehem pelan sesuai nada. Sampai pada akhirnya Steven berkata, "Aku minta maaf tentang masalah tadi. Seharusnya aku tidak bereaksi berlebihan." "Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti kenapa kau bersikap seperti itu.", Emily tahu jika Steven mungkin lelah dengan semua masalah ini.  "Sebentar lagi tahun baru. Itu artinya awalan yang baru juga. Jadi bisakah kali ini kau mencoba?" "Aku akan mencobanya.", kata Emily sebelum mereka larut kembali dalam momen itu. Beberapa saat tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara mereka semua. Tiba-tiba tangan Emily yang melingkar di leher Steven diraih oleh Aram.  Emily mendongak menatap pria itu dan melepaskan pelukannya dari Steven. "Aku ingin meminjamnya sebentar.", kata Aram meminta ijin. Steven mengangkat sudut bibirnya. Ia mengangguk sebelum membiarkan Aram. Kali ini ia tidak marah atau cemburu karena ia sudah mengetahui semuanya. Bersamaan dengan Steven yang berdansa dengan Maureen.   Aram memutar tubuh Emily dan menariknya mendekat. Mereka berdua mulai berayun. "Kau benar-benar tidak bisa berdansa.", kata Emily sambil tersenyum mengejek.  "Apa yang kukatakan selalu benar.", sahut Aram tenang. "Dan sahabatmu tidak berhasil mengajariku.", tambahnya. Emily terkekeh pelan. "Aku akan mengajarimu." "Tidak perlu." "Kau tidak bisa menolaknya. Anggap saja ini daftar keinginanku.", Aram mendengus sambil memutar matanya. "Tampaknya kau semakin pandai membalik perkataanku." "Im a fast learner.", sahut Emily membuat mereka berdua tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, aku butuh bantuanmu." "Harper?", tanya Emily cepat. Aram menggeleng. Ia mencondongkan kepalanya tepat di telinga Emily. Ia berbisik, "Maureen." "Why?" "Aku tahu dia menyukaiku." Emily mendongak menatap Aram. "Kau memang sangat percaya diri." Aram me,buang pandangannya sesaat menatap kesekeliling. Ia melirik Steven yang tampak seru mengobrol sambil berdansa dengan Maureen. Sedangkan Nathaniel dengan Annellise masih bertahan dengan berpelukan. "Ingat? Apa yang kukatakan selalu benar." Emily pasrah. Ia mengangguk kecil. "Ya dia menyukaimu." Aram kini menunduk menatap Emily. "Itulah masalahnya." "Baiklah... apa yang bisa kubantu?", tanya Emily. Aram menarik sebelah tangan dan menunjukkan jam yang melingkar di pergelangannya. Jam berwarna biru donker yang diberikan oleh Emily sebagai hadiah natal. "Kurang sepuluh menit lagi pergantian tahun baru.", jelasnya dan kembali meletakkan tangannya di pinggang Emily. "Kau tahu jika setiap natal ada tradisi berciuman di bawah mistletoe dan setiap malam tahun baru ada tradisi berciuman dibawah kembang api-kan?" "Ya tentu saja.", jawab Emily dengan santainya.  "Dan kau tahu apa artinya bukan?" Emily melebarkan matanya ketika berhasil mencerna maksud Aram. Ia mengatupkan bibirnya rapat sebelum mengatakan. "Aku benar-benar tidak ingat.", jawabnya dengan penekanan. Pantas saja Aram sedikit terlihat memaksa mengajaknya berdansa tadi. "Jadi kau mau menolongku?", tanya Aram. "Aku pikir kau tidak masalah menciumnya karena kau playboy." "Siapa yang berkata aku playboy?", Aram menyipitkan matanya. Emily mengangkat bahunya samar. "Saat makan malam pertemuan pertama keluarga kita. Kau tidak datang karena berada di Italy dengan wanita. Dan ayahmu mengeluh akan hal itu dan karena kau bergonta-ganti pasangan." Aram mendengus. "Hubungan itu hanya sebatas hubungan satu malam. Aku tidak pernah terikat dengan mereka. Kalaupun aku terikat, aku orang yang setia dan tidak pernah main-main dalam hubungan. Jadi jangan masukkan aku kedalam kategori playboy." "Apa bedanya?" Aram berdecak lidah dan menggeleng cepat. "Lupakan masalah itu! Intinya kau mau membantuku atau  tidak?", tanyanya lagi. "Kalau tidak mau tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika sahabatmu besok terbangun di ranjangku." "Aram!", tegur Emily membuat yang lainnya melirik kearah mereka. Aram mengangkat dagunya. "Jadi?" "Fine! I'll help you.". Perlahan senyuman terukir di wajah Aram. Ia puas mendengar jawaban Emily. "Tapi kau jangan terlalu senang karena aku sendiri juga tidak siap harus mencium Steven malam ini." Aram meringis lalu mendesah. "Ughh kiss your ex boyfriend in the end of the year? That's really messed up." ... "Sepuluh! Sembilan! Delapan! Tujuh! Enam! Lima! Empat! Tiga! Dua! Satu! SELAMAT TAHUN BARU!",  Detik berikutnya suara terompet, konfeti, kembang api di seluruh langit di kota London meledak bersamaan.  Aram dengan cepat menarik Emily menjauh menuju sisi lain tepian balkon sebelum Steven ataupun Maureen sempat menjalankan aksinya terlebih dahulu. Entah benar ketakutkan Aram dan Emily terjadi atau tidak. Antisipasi adalah yang terbaik. "Selamat tahun baru." Aram mengusap-usap puncak kepala Emily. Emily mendongak menatap Aram dengan pandangan berseri-seri. "Selamat tahu baru juga." "Aku rasa kita berha-" ucapan Aram tiba-tiba terpotong ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia membalikkan tubuhnya dan terkejut melihat Maureen sudah berdiri di hadpannya. Belum sempat Aram mencerna apa yang terjadi. Wajahnya ditangkup dan Maureen menciumnya. Melihat kejadian yang terjadi begitu cepat itu. Emily hanya bisa melebarkan matanya dan menutup bibirnya dengan dua telapak tangan. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN