Chapter 20 : Messed Up

1930 Kata
Seumur hidup- ini pertama kalinya Aram mengalami gagguan tidur. Sepanjang malam dirinya begitu gelisah dan sering membolak-balikkan dirinya diatas ranjang. Jika karena efek obat perangsang yang dicampurkan Antonio di dalam bir-nya. Jawabannya adalah tidak mungkin. Aram sudah mandi air dingin selama kurang lebih satu jam lamanya. Dan juga ia melakukan pelepasan pada dirinya sendiri. Ia pernah mengalami ini sebelumnya. Ia juga melakukan hal yang sama namun entah kenapa malam ini mengganggu sekali. Apalagi mengingat perbuatannya pada Emily tadi. Oh! Aram benar-benar tidak bisa berpikir jernih dan memaki dirinya tanpa henti. Bunyi alaram pada jam diatas meja disisi ranjang berdering nyaring. Aram menutup wajahnya dengan menarik selimut dan menggeram. Lima menit kemudian, alaram berhenti dan Aram membuka kembali selimutnya. Ia menoleh menatap jam hologram itu menunjukkan pukul enam pagi. Itu artinya ia harus turun dari ranjang dan bersiap untuk pergi bekerja. Namun ketika Aram hendak bangun. Sebuah ide melintas di benaknya. Ini saat yang tepat untuk kabur. Kabur dalam artian membolos kerja. Toh jika ia berangkat bekerja. Ia pasti tidak fokus karena menyesali diri. Untuk masalah Emily- yang akan bertemu Antonio lagi hari ini-,  pasti ketika wanita itu tidak melihatnya di meja makan untuk sarapan. Ia akan meminta bantuan pada supir untuk mengantarnya. Atau kemungkinan ia membawa mobil sendiri. Aram tidak mau ambil pusing untuk sehari ini saja. Pada akhirnya, mata berat Aram akhirnya bisa tertutup. Ia tertidur. Aram bangun sekitar pukul sepuluh lebih sedikit. Tidak hanya tubuh namun pikirannya juga terasa lebih segar meskipun hanya beberapa jam tidur. Sambil merenggangkan ototnya, ia bangun, mengayunkan kakinya turun dari atas ranjang. Ia menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat giginya. Setelah selesai. Ia berjalan keluar hanya mengenakan celana panjang tidurnya tanpa mengenakan kaus karena berpikir tidak ada siapapun di dalam griya tawang. Emily pasti sudah berangkat pukul delapan tadi dan Nathaniel semalam tidak pulang. Jadi ia bebas melakukan apapun selagi memikirkan sesuatu agar ia dapat meminta maaf pada Emily secara benar dan tidak membuat wanita itu takut padanya. Namun di luar dugaan. Ketika Aram sudah dibawah dan melangkah masuk kedalam dapur. Ia langsung berhenti melangkah tepat di ambang pintu dan terkejut melihat Emily. Wanita itu sedang melamun menatap keluar jendela sambil menyesap kopinya yang terlihat masih panas karena ada uap yang mengepul. Ditambah dengan Emily yang mengenakan kaus kebesaran hingga sebatas setengah pahanya membuat Aram meneguk salivanya. Ia hendak membalikkan tubuhnya ketika Emily menyadari keberadaannya.  Emily terkejut melihat Aram- bukan karena kehadirannya namun karena pria itu bertelanjang d**a dan menampilkan tubuhnya yang indah- hingga kopi yang ia bawa menumpahi telapaknya. Refleks ia menjauhkan tangan dan tubuhnya sambil menghindari kopi di lantai dapur. "Arghh.", desisnya menahan panas. Aram menghampiri Emily. Ia mengambil tisu dari atas kitchen island dan saat hendak membantu wanita itu. Emily menolak. "Tidak perlu membantuku.", ia meletakkan gelas dalam genggamannya di atas meja laci kitchen set di sisi kanannya. "Jangan mulai.", peringat Aram. Ia melangkah melewati kopi di lantai. Kemudian menarik tangan Emily. Namun Emily dengan cepat menarik tangannya. Ia tidak ingin Aram melihat pergelangan tangannya yang memar. Ia mengambil selangkah untuk mundur dan tanpa diduga lagi, sikunya menyenggol pitcher berisi kopi yang juga masih panas hingga jatuh.  Tidak berhenti disana. Secara bersamaan Emily melangkah mundur hingga kakinya menginjak pecahan kaca dari picther tersebut. "Arghhhh." Kedua telapaknya terasa terbakar dan tersayat secara bersamaan. Darah mulai mengalir bercampur dengan kopi di lantai. Rasa perih dan sakit yang luar biasa seketika terasa hingga sekujur kakinya. Aram dengan sigap mengangkat tubuh Emily dan mendudukkannya diatas kitchen island sebelum wanita itu kehilangan keseimbangan tubuh. "Diam di tempatmu!", serunya.  Ia mengedarkan pandangan mencari sesuatu. "Sialan! Apa aku tidak memiliki sapu?!" Emily menunjuk kearah pintu yang mengarah ke ruang mencuci baju sambil meringis. Ia mendesis pelan menahan sakit. Aram langsung berlari kecil kearah pintu tersebut, masuk kedalam, lalu megambil sebuah sapu sekaligus berbentuk pel seperti yang ia lihat para janitor perusahannya gunakan- entahlah. Kemudian ia kembali dan segera membersihkan sementara semua pecahan, kopi, dan darah yang ada di lantai. Setidaknya semua kekacauan itu tidak ikut melukai dirinya. Setelah selesai Aram menarik kaki Emily dan perlahan meletakkannya kedalam bak pencucian di ujung kitchen island. Ia menutup lubang dan menyalakan kran. Emily menghela napas lega karena air dingin mengaliri kakinya.  Melihat air dalam bak tersebut bercampur darah. Aram mengusap wajahnya kasar. "Aku akan menghubungi dokter." ... "Kau sudah mengambil pertolongan pertama yang baik, Aram. Jadi luka bakarnya tidak sampai membuat kulit telapak kakinya mengelupas.", Pria berambut putih yang sudah menjadi dokter keluarga Aram sejak ia masih kecil itu mendongak menatap Aram. Kemudian menoleh menatap Emily yang duduk bersandar dan meluruskan kedua kakinya diatas sofa 'L', "Tapi yang jelas selama beberapa hari kau akan kesulitan berjalan karena rasa perihnya masih ada, terutama di bagian yang terkena luka gores." Aram yang berdiri di belakang sofa sambil melipat tangannya kini mengangguk kecil. "Terima kasih, dok." Dokter tersebut menutup tas-nya. "Sudah tugasku.", katanya. "Aku akan mengantarmu ke lobi." Dokter itu menggeleng, "Tidak perlu, Aram. Terima kasih tawarannya.", balasnya sambil lalu. Aram hanya mengantar sampai lift. Ia kembali menghampiri Emily. Ia berlutut di karpet di hadapan Emily sambil menatap perban yang melingkar di kedua telapak kaki Emily. "Sekarang barulah waktu yang tepat untuk meminta maaf.", gumamnya. Emily melirik Aram sekilas sebelum menunduk. Ia menyilangkan kedua tangannya dibalik bantal sofa yang sengaja ia letakkan di pangkuannya agar Aram tidak melihat luka di pergelangannya. "Aku minta maaf merepotkanmu. Aku tadi terkejut melihatmu. Aku pikir kau pergi bekerja. Aram menelengkan kepalanya, menatap keluar jendela, lalu mengangguk pelan. "Hmm benar. Aku juga berpikir kalau kau sudah pergi ke hotel untuk menemui Antonio." Emily menatap Aram sambil meneguk salivanya. Pria itu kini sudah memakai kaus. "Kenapa kau tidak pergi?' "Bagaimana denganmu?" "Aku merasa jika kau butuh bantuanku.", jawabnya pelan. Kemudian ia menatap Aram cemas. "Apa kau sudah baik-baik saja?" Aram menggeleng kecil. "Itu kenapa aku tidak pergi bekerja hari ini." "Sebanarnya apa yang terjadi?" Aram tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya. Ia harus memutar otak dan mencari alasan yang tepat. "Hmmm.", ia memberi jeda beberapa saat. "Semalam aku terkena serangan panik.", tambahnya. Hanya itu yang tiba-tiba terlintas dibenaknya. Dan sepertinya alasan itu yang paling masuk akal. Emily mengerjap. Ia tampak bingung sekaligus lega secara bersamaan. "Oh." "Aku tidak sengaja bertemu mantan tunanganku.", dustanya lagi. Sepertinya disaat seperti ini, arti kata 'berbohong demi kebaikan' itu benar. Aram sangat setuju. Emily terdiam membuat suasana terasa aneh. Bahkan melebihi rasa canggung antara dirinya dan Steven. Ia tidak tahu harus mengatakan apalagi. Beruntung Aram membuka pembicaraan kembai setelah beberapa saat, "Aku minta maaf. Aku terlalu panik dan aku janji tidak akan terluang lagi." "Tidak apa.", balas Emily dengan nada lembut.  Aram mengangkat sudut bibirnya. "Sudah kuduga kau akan mengatakannya." "Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi." "Itu karena kau sangat murah hati. Jadi sebelum orang yang bersalah padamu meminta maaf. Kau sudah memaafkannya." Emily menahan senyum di bibirnya. "Berkat ayahku. Aku bisa seperti ini.", katanya. "Tapi bukan berarti ibuku tidak mengajariku juga.", tambahnya cepat. Aram terkekeh. "Apa aku mengatakannya?" "Tidak. Tapi raut wajahmu mengatakannya." Aram mendengus geli. "Lebih baik kita lupakan obrolan ini sebelum semakin panjang.", ia bangkit dan berpindah duduk di sofa di sebrang Emily duduk. "Apa yang ingin kau lakukan?" Emily berdehem pelan. "Hmm karena aku tidak bisa kemana-mana. Jadi bagaimana dengan menonton film? Kita belum pernah menonton film bersama bukan?" Mendengar kata 'bersama' membuat Aram mengangkat sebelah alisnya. Entah kenapa kata-kata itu terdengar pas ditelinganya. Namun dengan cepat ia membuang pemikiran aneh itu. Sepertinya obat yang dicampurkan Antonio sangat kuat. Efeknya sampai membuatnya halusinasi dan memikirkan hal-hal yang aneh. "Bagaimana sebelum kita menonton- kita membuat daftar keinginanmu itu?" Emily tersenyum lebar. "Setuju." ... Nathaniel baru saja kembali setelah menginap di rumah Annellise dan langsung menuju ke dapur untuk mengambil minum. Ia tercenga melihat keadaan disana sudah dapat dikategorikan sebagai kapal pecah. Dengan cepat ia keluar dari dapur menuju ke ruang tamu untuk mengambil telepon wireless agar ia dapat menghubungi Aram atau Emily. Baterai ponselnya habis dan ia belum sempat mengisi. Namun ketika melewati ruang bersantai. Ia lagi-lagi dikejutkan dengan Aram dan Emily. Emily duduk di sofa dengan perban melingkar di telapak kakinya. Ia menangis sesenggukan sambil memangku kotak tisu. Sedangkan Aram. Pria itu duduk di karpet sambil bersandar pada sofa yang Emily duduki. Wajahnya tampak kebingungan. Jangan lupakan juga bungkusan keripik di atas meja dan juga kaleng cola. "What the hell is going on?!", serunya. Nathaniel berjalan mendekat kemudian menatap keduanya bergantian dengan layar televisi yang menampilkan film- entah film apa- yang pasti membuat Emily terharu dan Aram kebingungan. Aram mendongak menatap Nathaniel. "Menonton." "Kau mau bergabung?", tanya Emily sambil masih terisak. Ia mengusap air matanya menggunakan tisu. Nathaniel menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ada sehari kalian sudah seperti ini? Yang benar saja!", gerutunya. Ia tidak mengerti kenapa mendadak dirinya bisa menjadi kakak untuk Aram dan Emily. "Dan apa yang terjadi dengan tangan dan kakimu?" "Tangan?", Aram membalikkan tubuhnya menatap tangan Emily.  Dengan cepat Emily menyembunyikan tangannya kebelakang. "Tidak ada apa-apa." Aram berdecak lidah. "Pecahan pitcher hanya mengenai kakimu. Kenapa bisa tanganmu ikut terluka?", tanyanya.  "Siapa bilang terkena pecahan kaca?" "Aku mau melihatnya!", desak Aram. Nathaniel mendekat ke sofa. "Aku juga ingin melihatnya." Emily memejamkan matanya dan mendesah. "Astaga aku bilang tidak ada apa-apa." "Kalau tidak ada apa-apa maka tunjukkan pada kami.", kata Nathaniel. Emily menatap keduanya bergantian lalu menggeleng. "Tidak." Aram mendengus. "Kau sepertinya memang suka dengan cara yang keras." "Ti- Aram!", teriak Emily ketika dengan cepat Aram berusaha menarik tangannya. Nathaniel yang juga ikutan membuat Emily merasa jika dirinya sedang dipaksa oleh dua orang penjahat. Ia mencoba memberontak. Namun apa daya dirinya yang kecil. Emily tentu kalah dengan kekuatan Aram dan Nathaniel. Pada akhirnya mereka berdua berhasil mengeluarkan tangannya. "Kenapa memar?", tanya Aram dengan nada marah ketika melihat memar di pergelangannya. Terlihat samar, namun karena kulitnya yang putih pucat itu membuat warna biru dan ungu yang ada menjadi terlihat jelas. "Em?", Nathaniel ikut bertanya. Emily menarik tangannya hingga terlepas dari cekalan keduanya. Ia kemudian mengusap memarnya bergantian sambil menunduk. "Katakan pada kami atau aku akan menghubungi mom.", kata Nathaniel. Sudah bisa dipastikan ancaman tersebut membuat Emily kesal. Nathaniel tahu jika kakaknya itu tidak menyukai hal-hal yang dapat mengganggu Natalie. Terutama jika sedang berlibur. "Kau kenapa mengancamku?!" Aram mendesah panjang. "Apa Steven yang melakukannya?", ia jadi teringat karena kemarin pria itu ada di sini. "Bukan dia.", jawab Emily cepat. "Lalu?", tanya Nathaniel. Emily menatap laki-laki itu sekilas sebelum menatap Aram sambil menggigit bibir bawahnya. "Kenapa kau melihatku? Jawab pertanyaan Nate." Emily tidak menjawab dan masih menatap Aram. Beberapa detik mereka saling menatap. Aram tersadar sesuatu. Ia mengatupkan bibirnya sebelum berkata, "Karenaku?" Emily mengangguk pelan. "Itu kenapa aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin kau merasa bersalah.", katanya pelan. Nathaniel mengerjap beberapa kali. Ia mengangkat kedua tangannya. "Tunggu sebentar...", ia menatap Aram. "Karenamu?", ia melebarkan matanya. "Jangan bilang ka-" "Buang pemikiran aneh di otakmu!", tegur Aram. "Aku hanya tidak sengaja melukainya karena aku terkena serangan panik.", jelasnya seperti ketika ia menjelaskan pada Emily. "Apa?!" Emily mendongak menatap Nathaniel "Jangan drama. Aku tidak apa-apa. Bukan salah Aram. Semuanya terjadi karena aku yang keras kepala." "Kau menyadari kalau kau keras kepala.", gumam Aram membuat Emily dan Nathaniel menoleh menatapnya. "Aku hanya mengatakan apa yang terjadi." Emily membenarkan perkataan Aram. Semua yang terjadi diantara mereka karena ia sangat keras kepala. Ia menyadarinya namun ia tidak bisa mencegahnya jika itu menyangkut Aram. Entah kenapa itu bisa terjadi. Pada intinya ia tidak bisa menahan diri untuk tidak khawatir pada pria itu. "Jadi?" Nathaniel melipat tangannya didepan d**a. "Tidak ada jadi. Kami berdua sudah saling meminta maaf.", kata Aram. "Benarkan?", ia menatap Emily. Emily mengangguk cepat. "Iya.", jawabnya. "Dan sekarang sebaiknya kita lanjut menonton. Atau salah satu daftar keinginanku terbuang sia-sia hanya karena kita berdebat.", ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN