Wira merasa gelisah. Santer terdengar kabar, kalau gadis yang ia cintai kabur dari rumah. Kabar yang sangat tidak masuk akal dalam pikirannya. Gadis manja, cengeng, yang hampir tidak pernah lepas dari ketiak orang tuanya, mana mungkin pergi meninggalkan orang tuanya.
Namun, kabar itu benar-benar membuatnya gelisah. Apa lagi si gadis tidak terlihat membantu persiapan pernikahan di rumah Pamannya. Hanya ada Abba si gadis saja, beserta Kai, dan Nininya.
Ingin sekali Wira bertanya pada Soleh. Ayah dari Asma, gadis yang ia cintai. Apakah kabar itu benar, kalau Asma kabur dari rumah. Tapi, lagi-lagi rasa rendah diri membuatnya tidak berani untuk menanyakan hal itu.
"Wira!"
"Ya, Pamam," Wira bangkit dari duduknya, lalu menatap Soleh, yang mendekatinya. Mereka kemudian duduk bersebelahan.
"Sudah beres semuakan?"
"Iya, Paman."
"Syukurlah. Asma, dan Ammanya tidak bisa membantu, karena Asma sedang sakit di Jakarta."
"Ooh, Asma di Jakarta?"
"Iya, dia ada di rumah Arka."
"Sakit apa, Paman?"
"Demam, seperti biasa. Kalau cengeng, dan manjanya datang. Dia menangis terus, lalu demam."
"Ooh.... " Wira menarik napas lega, karena kekhawatirannya kini terurai sudah.
"Tapi, mereka akan pulang hari ini. Mereka ingin melihatmu menikah."
"Siapa yang menjemput di bandara, Paman?"
"Revano."
"Revano?" Wira mengernyitkan keningnya, karena merasa asing dengan nama yang disebut Soleh.
"Ehmm, calon suami Asma."
Soleh tersenyum mengingat cerita Cantika tentang cara Revano melamar Asma.
Wira terdiam, ia merasa kurang yakin dengan pendengarannya.
"Jodoh itu memang benar-benar rahasia Allah. Asma terbang ke Jakarta untuk ke rumah Arka sendirian. Di pesawat ia bertemu Revano. Sampai di bandara, Asma baru sadar kalau ponselnya tertinggal di rumah. Sedangkan alamat Arka ada di ponselnya. Kamu tahu sendirikan, bagaimana dia, Wira."
"Iya, Paman."
"Untung saja ia bertemu Revano. Revano membawa Asma ke rumah orang tuanya. Eeh, akhirnya jadi calon suami Asma. Begitu juga jodohmu, bukan. Ingin menikah dengan gadis dari luar kampung, eeh akhirnya menikah dengan gadis dari kampung sendiri."
"Iya, Paman."
"Bagi anak jaman sekarang, Cinta adalah pertimbangan utama untuk sebuah pernikahan. Tidak ada yang salah, sebenarnya. Asal jangan mengalahkan cinta pada orang tua."
"Paman benar."
"Hhh, sebenarnya, keinginanku Asma bisa berjodoh dengan pria di sini saja. Yang bisa membantuku mengurus sawah, kebun, dan peternakan, seperti kamu ini. Tapi, tidak semua keinginan bisa terkabulkan. Allah lebih tahu, apa yang kita butuhkan, dan apa yang terbaik bagi kita, iyakan?"
Wira terdiam, ditatap wajah Soleh dari samping. Andai Soleh mengatakan itu beberapa bulan lalu. Wira merasa, akan memberanikan diri untuk meminta Asma pada pria di sampingnya ini. Tapi....
"Sudah hapal untuk akad nikahnya?"
"Insya Allah sudah, Paman."
"Semoga dilancarkan Allah semuanya. Semoga tidak hujan juga."
"Aamiin."
"Aku ke dapur dulu, aku harus memeriksa kesiapan semuanya. Kalau bisa jangan ada yang kurang."
"Terima kasih banyak, Paman. Karena sudah bekerja keras untuk membantu."
"Kita ini bukan orang lain, Wira. Kita satu kampung ini sudah seperti keluarga. Paman pergi dulu ya," Soleh bangkit dari duduknya, diikuti Wira.
"Ya, Paman. Sekali lagi terima kasih banyak. Sampai kapanpun, aku tidak akan bisa membalas kebaikan Paman sekeluarga."
Soleh menepuk bahu Wira lembut, lalu ia melangkah pergi di bawah tatapan Wira.
Soleh pernah berharap, Wira bisa menjadi menantunya. Karena, Wira juga seperti dirinya. Mencintai kampung mereka, menyukai bekerja di sawah, di kebun, di tambak, dan di peternakan. Soleh ingin, menantu yang bisa meneruskan usaha yang sudah dirintis oleh ayah mertuanya.
Namun, keinginan itu hanyalah tinggal keinginan. Harapan sudah tertutup untuk semua itu. Wira malam ini akan segera menikah dengan Hifziah. Sedanf Asma, putrinya, sudah pula dilamar Revano. Pria yang baru dikenalnya.
Soleh hanya bisa berdoa, semoga Revano bisa menjaga permata kesayangannya. Permatanya yang unik, yang cengeng, yang manja, namun memiliki kelembutan hati.
??
Wira memejamkan mata, akad nikah akan segera dilangsungkan. Saat ini, ia bahkan belum tahu seperti apa rupa wanita yang akan ia nikahi.
Ingatan tentang seorang Hifziah tidak melekat di dalam benaknya, karena hanya ada Asma yang selama ini menempati relung kalbunya.
'Ikhlas Wira, ikhlas. Semua ini salahmu juga, kamu terlalu pengecut, tidak berani mengungkapkan isi hati.
Lupakan Asma dia akan menjadi milik orang. Dan, dirimu, setelah akad nikah, wajib untuk belajar mencintai istrimu.'
"Wira!"
"Ya, Bu."
"Sudah siap?"
"Insya Allah, dengan restu Ibu."
"Semoga ini pernikahanmu yang pertama, dan terakhir. Semoga kalian bisa berjodoh di dunia, dan di akhirat. Semoga rumah tangga kalian selalu terjaga dari jahatnya perbuatan manusia, aamiin."
"Aamiin, terima kasih, Bu."
Wira berlutut di hadapan Wirda, ia meraih jemari ibunya, ia membungkuk dalam, membiarkan keningnya menyentuh pangkuan ibunya. Wirda mengusap lembut kepala putranya.
"Bangunlah, pakai pecimu, akad akan segera dilangsungkan."
"Ya, Bu."
Wira bangkit diikuti oleh ibunya. Dengan hati, dan langkah mantap, Wira ke luar dari dalam kamar, menuju pintu ke luar rumahnya, dan menuju rumah samping, rumah Pamannya, tempat di mana akad nikah akan dilakukan. Langkah Wira diiringi oleh beberapa warga yang mengantarkannya.
Hifziah, sang mempelai wanita, sudah berada di salah satu kamar di rumah Paman Wira. Ia akan ke luar, setelah ijab kabul dilaksanakan.
BERSAMBUNG
target 100 komen.
no spam ya.