MEMPELAI PENGGANTI by Rustina Zahra
Wira (28 tahun), nyaris gagal pernikahannya. Karena keluarga calon istrinya, membatalkan pernikahan secara sepihak, setelah tahu kalau mendiang ayah Wira adalah seorang narapidana kasus korupsi, dan narkoba.
Awaluddin, Paman yang mengatur perjodohannya, dan mengurus semua tentang pernikahannya. Merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Awal mencari seorang gadis, yang bersedia menjadi mempelai pengganti bagi Wira.
Hifzia (19 tahun), seorang gadis yatim piatu, cucu dari Halimah, salah satu warga kampung tempat Wira tinggal. Gadis inilah yang diminta Awal untuk menjadi mempelai Wira. Hifzia, dan keluarganya menerima permintaan itu.
Wira yang pendiam, dan pemalu.
Hifzia yang juga pendiam, dan pemalu. Bersatu dalam sebuah pernikahan, tanpa saling kenal lebih dalam, juga tanpa cinta.
Sementara, di dalam hati Wira, ada sebuah nama seorang wanita. Dan, di dalam hidup Hifzia, ada seorang pria yang mengharapkannya.
***
Wira menundukan kepala. Ia sungguh tidak menduga, jika pernikahannya akan bermasalah di saat semua sudah dipersiapkan.
Ia memang tidak ingin banyak bicara, dan membiarkan saja, Awaluddin, Pamannya yang mengatur semuanya. Karena, selama ini, sang Paman yang membantu kehidupan keluarganya
Meskipun sesungguhnya, Wira memiliki pilihan hatinya sendiri, namun ia tidak punya keberanian untuk mengatakan isi hatinya. Setiap kali ia bercermin, setiap kali pula perasaan cinta yang ia pendam terhempaskan.
Dirinya, dan gadis yang ia cinta. Baginya, terasa baikan langit, dan bumi posisi mereka
Perbedaan mereka sangat mencolok. Wira merasa tidak ada jalan bagi dirinya , untuk menggapai harapan bersama gadis itu.
Karena itulah, ia menerima saja perjodohan yang diatur oleh Pamannya. Agar, ia tidak lagi mengharapkan bulan jatuh di atas pangkuannya.
"Wira!"
Wira menolehkan kepala, panggilan sang paman, membuyarkan lamunannya.
"Ya Paman." Wira berdiri dari duduknya, ditatap pria tua yang berdiri berhadapan dengannya.
"Apa kamu setuju kalau Paman mencarikan gadis lain untuk kamu nikahi?"
"Aku terserah Paman saja. Sejak mula, sudah aku serahkan masalah ini pada Paman."
"Baiklah. Aku tidak ingin semua persiapan ini sia-sia. Aku pasti bisa menemukan gadis yang bersedia kamu nikahi." Paman Wira tampaknya sangat optimis, akan menemukan mempelai pengganti untuk keponakannya.
"Ya, Paman."
"Aku pergi dulu." Awal menepuk pundak Wira lembut. Ia merasa bertananggung jawab penuh atas apa yang terjadi.
"Ya, Paman."
Awal meninggalkan Wira sendirian, Wira kembali duduk seperti tadi.
Saat ini, tubuh Wira memang di sini, tapi pikirannya berkelana. Pada sosok yang ia suka sejak masa remaja, hingga ia beranjak dewasa. Sosok yang sangat ingin ia usir dari relung hatinya.
Wira berharap ia bisa seberuntung orang lain. Bisa menikah dengan gadis yang ia puja. Namun, sayangnya ia tak punya keberanian untuk mengatakan isi hatinya. Meski kesempatan itu seringkali datang, dan terbuka lebar untuknya. Namun, kepercayaan dirinya selalu sirna saat menyadari kalau gadis itu pantas mendapatkan yang lebih baik dari dirinya.
Rasa rendah diri, ia selalu memandang siapa dirinya sendiri. Begitu jauh dari kata pantas baginya untuk mengharapkan balasan cinta dari gadis itu.
Wira sadar diri. Ayahnya seorang narapidana, kasus korupsi, juga kasus narkoba. Sampai akhirnya, ayahnya sakit, dan meninggal di penjara.
Ibunya, ibu yang sangat ia cintai, sangat ia hormati, yang sudah membesarkan dirinya, dan adiknya. Dengan kedua belah tangannya. Tanpa rasa lelah, tanpa pernah mengeluh, bekerja keras demi mereka.
Semenjak ayahnya masuk penjara, ibunya tidak bisa hanya mengandalkan toko aksesoris saja untuk hidup mereka. Beruntung, ibunya pintar memasak, dan membuat kue, yang bisa dititipkan ke warung-warung, untuk menambah penghasilan.
Beruntungnya pula, ada kakak ibunya, Paman Awal, yang mau membantu biaya pendidikan Wira.
"Wira!"
Wira menatap Wirda, ibunya yang kini sudah duduk di sebelahnya, tanpa ia tahu kapan ibunya mendekat.
"Bu.... "
"Ibu tidak mengerti, kenapa hal seperti ini bisa terjadi." Wirda menyusut air matanya.
"Sabar, Bu. Ikhlas, kita sedang diuji oleh Allah. Insya Allah, dengan cobaan ini, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik nantinya. Yang pasti, berarti dia memang ditakdirkan tidak untuk menjadi jodohku, Bu."
"Maafkan, Ibu. Karena tidak bisa membantu banyak. Semua adalah keinginan Pamanmu. Ibu tidak bisa bicara lagi. Maafkan, jika perjodohan ini bukanlah hal yang menjadi kehendakmu."
"Ibu, tidak perlu meminta maaf. Ibu, dan Paman sudah memberi sangat banyak. Biarkan aku membalas semua kebaikan Paman dengan cara ini. Ibu jangan cemaskan perasaanku. Aku baik-baik saja. Aku ikhlas menerima ini semua."
Wirda kembali menghapus air matanya.
"Jangan menangis, Bu. Aku tidak tahan melihat Ibu menangis begini. Maafkan aku, karena belum bisa membuat Ibu bahagia." Wira menggenggam jemari Wirda. Kepala Wirda menggeleng pelan.
"Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah mengantarkan adikmu menjadi sarjana, sudah menikahkan dia. Sampai kamu sendiri telat untuk menikah."
"Bu, usiaku belum tiga puluh. Usia yang belum bisa dikatakan telat menikah untuk seorang pria."
"Ibu tidak bisa memberikan apa-apa, selain hanya doa, Wira."
"Doa, dan restu seorang Ibu, sudah melebihi dari apapun juga, Bu. Doa Ibu, tidak ternilai harganya."
"Hhh, Pamanmu katanya pergi ke rumah Halimah. Dia ingin meminta Ziah untuk jadi istrimu. Gadis itu sudah yatim piatu. Dia tinggal di pesantren selama tiga tahun. Ibu rasa, pasti akhlaknya luar biasa. Ibu berharap, semoga dia bersedia menerima permintaan Pamanmu. Agar apa yang sudah dipersiapkan tidak menjadi sia-sia, aamiin."
"Aamiin."
Wira menundukan kepala. Ia pasrahkan hidup, dan matinya hanya pada Yang Maha Kuasa. Ia meyakini, kalau Allah Maha tahu apa yang terbaik bagi hambaNya.
BERSAMBUNG