Mencari Rahim Seorang Wanita

1199 Kata
"Bapak, bicara apa?" Calista mulai bersuara. Arga menatap mata Calista lekat, namun gadis itu selalu menghindarinya. Ia tak mau, beradu pandang dengan Arga. Apalagi saat ini, Arga seperti mencari sesuatu padanya. “Serius Cal, kamu enggak hamil?” tanya Arga lagi. Calista pun menatap Arga, “bapak kenapa tiba-tiba tanya hal itu?” Ia membalikkan pertanyaan pada Arga. Arga pun menyerah, ia membuang napas kasar dan masuk kembali ke dalam ruangannya. Sedangkan Calista memegangi perutnya, ia tak paham mengapa tiba-tiba Arga menanyakan hal itu. Padahal saat ini, ia benar-benar sedang mengandung anak dari Arga. Namun, mengapa begitu sulit mengatakannya. Sedangkan Arga, ia mengentakkan kakinya ke atas lantai. Ia tampak kesal, karena Calista tak menjawab pasti pertanyaannya. Sejujurnya, satu bulan yang lalu. Ia tak pernah berniat untuk melakukan apa pun pada Calista, namun gadis itu terus menyerangnya hingga ia memutuskan untuk melakukan hal itu, mengingat kondisi Ibunya semakin memburuk. Ia ingat, jika Ayahnya terus saja memintanya untuk segera menikah. Namun, bagi Arga sebuah komitmen sudah tidak berlaku dan berarti apa-apa. Karena dulu, ketika ia sudah melamar kekasihnya. Gadis yang begitu ia cintai, malah menipunya habis-habisan. Meminta ini dan itu, namun gadis itu tiba-tiba membawa lari uang yang diberikan oleh Arga dengan nominal yang cukup besar. Ibunya pun jatuh sakit, karena ia begitu menginginkan Arga segera menikah dan mempunyai anak. Setiap hari ia menggendong sebuah boneka, jiwanya terganggu karena selalu mengharapkan kehadiran seorang bayi. Hingga saat ini, Dokter pun sudah menyerah karena semakin hari Ibunya tak kunjung sembuh. Obat yang paling manjur, adalah melihat Arga menikah dan mempunyai anak. Sedangkan Arga yang hanya bermain-main saja dengan banyak wanita, tak akan mudah untuk memutuskan menikahi salah satunya. Karena, rata-rata dari mereka adalah wanita yang berasal dari klub malam. Saat itu, tepat satu bulan yang lalu ia tampak kusut datang ke klub malam. Melihat keadaan Ibunya yang semakin memburuk, membuatnya harus cepat mencari cara. Hingga ia bertemu dengan Calista, awalnya ia tidak tertarik untuk melakukan sesuatu terhadap sekretarisnya itu. Namun, karena terus diserang oleh Calista, ia memutuskan untuk menghamili gadis itu. Arga benar-benar membutuhkan seorang anak untuk Ibunya, maka pilihan yang tepat memang jatuh pada Calista. Seorang gadis yang baik, dan tak pernah ia lihat di klub malam, namun entah mengapa tiba-tiba saja gadis itu berada tepat di sampingnya dengan keadaan yang sedang patah hati. Ia beberapa kali, harus mendengar Calista mengucapkan nama Daren, dan entah mengapa ia tak suka jika wanita yang sedang bersama dengannya mengucapkan nama pria lain, siapa pun wanita itu. Malam itu, setelah melakukannya dengan Calista. Ia menatap lembut sekretarisnya itu, Calista tampak lelah dan tertidur pulas. Ada sedikit rasa penyesalan dari dalam hati Arga, karena ia tahu jika Calista akan membencinya esok hari ketika ia tersadar. Namun, ia harus mencari rahim seorang wanita untuk calon anaknya. Arga tahu, anaknya harus lahir pada seorang wanita yang menyayanginya. Dan ia yakin, jika Calista akan menjaga calon bayinya sampai ia lahir. Karena menurut penglihatan Arga, Calista adalah gadis baik-baik. Dan dia adalah pria b******k yang menodainya, namun itu benar-benar terpaksa. Lamunan Arga pun buyar, karena ketukan pintu dari luar. Ia pun mempersilahkannya masuk, dan ternyata dia adalah Calista. Ia berjalan perlahan mendekati Arga, dengan wajah yang ia tundukkan. “Ada apa?” tanya Arga. Calista menggigit bibir bawahnya, ia benar-benar ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Arga, jika ia tengah mengandung anaknya. Namun, jika Calista tidak jujur pada Arga, apa yang akan terjadi padanya? Mengingat, jika perutnya akan semakin besar dan keluarganya akan kecewa dengan kejadian itu. Walaupun ia memilih untuk pergi ke rumah neneknya, tapi tetap saja hal ini akan menjadi aib untuk keluarganya. Calista perlahan mengangkat kepalanya, dan menatap Arga. Ia sudah yakin, apa pun yang Arga katakan, itulah keputusannya. “Pak Arga ... sa—saya,” Calista meremas ujung roknya, ia menjadi tak karuan jika menatap wajah Arga. Arga menatap wajah Calista yang terlihat bingung, ia berharap jika Calista mengatakan bahwa ia saat ini tengah mengandung anaknya. Calista membuang napas perlahan, “sa—saya, ha—hamil, anak pak Arga.” Mendengar hal itu, Arga tersenyum dan tampak bahagia. Biarkanlah, ia menjadi pria b******k yang egois demi kesembuhan Ibunya. “Kalau gitu, kita nikah,” ucap Arga santai. Namun, Calista tampak membulatkan matanya. Ia pikir, Arga akan menyuruh dirinya agar menggugurkan kandungan itu. “Nikah?” tanya Calista, merasa tak yakin. Arga pun mengangguk, “iya nikah, kamu jujur sama saya dengan kehamilan kamu itu, berarti meminta pertanggungjawaban saya, kan? Ya sudah, saya akan bertanggungjawab dengan menikahi kamu.” “Ta—tapi, ki—kita enggak saling mencintai, pak?” Mendengar hal itu, Arga tertawa keras. Ia sangat tidak menyukai mulut seseorang berkata tentang cinta, karena baginya hal seperti itu sudah musnah di dalam dirinya. “Cinta? Jangan membahas tentang cinta di depan saya, karena itu enggak akan pernah terjadi. Kamu, akan saya nikahi. Dan kalau suatu saat ingin bercerai, maka kita bercerai. Tapi, hak asuh anak harus jatuh pada saya.” Calista pun mengerutkan kening, bingung. Bagaimana bisa Arga begitu mudahnya mengatakan pernikahan dan perceraian? Apa menurutnya hal itu hanya lelucon saja? “Kenapa hak asuh harus jatuh kepada pak Arga?” “Ya, karena saya Ayahnya.” “Tapi saya Ibunya.” Calista mulai kesal dan menaikkan nada bicaranya, ia tak peduli dengan siapa ia berbicara sekarang. “Kalau begitu, jangan bercerai!” “Tapi siapa yang mau bercerai? Saya juga belum menjawab apa saya mau nikah sama bapak?” Arga bangkit dan berjalan ke arah Calista, ia menatap tajam gadis itu. “Kamu harus nikah sama saya apa pun yang terjadi, dan saya minta jaga anak saya dengan baik. Jangan stres dan kelelahan, satu minggu lagi kita menikah.” Arga melangkahkan kaki keluar dan meninggalkan Calista yang masih terdiam. Ia pun ambruk dan berjongkok, tubuhnya tiba-tiba saja lemas mendengar perkataan Arga yang sama sekali tidak ada perhatian padanya, seolah ia hanya menginginkan bayi yang saat ini ia kandung saja. Namun, memang benar. Arga sangat membutuhkan seorang anak, untuk Ibunya. Calista pun menangis, pernikahan adalah hal yang diinginkan oleh semua orang. Mencintai dan dicintai oleh pasangan adalah hal yang paling indah, ia begitu mencintai Ardan cinta pertamanya dan ingin menikah dengan pria itu. Namun, bagaimana bisa ia jujur tentang kehamilannya itu pada Ardan. Sedangkan, jika Ardan mengetahui hal ini, ia tahu Ardan akan kecewa padanya. Calista pun tidak mau kehilangan bayinya, ia tidak akan membiarkan bayi itu keguguran. Namun, siapa sangka jika Arga akan mengatakan hal yang sangat kasar. Perceraian? Tidak mencintai? Bagaimana sebuah rumah tangga akan dijalani jika tidak saling mencintai? Calista pun sadar, jika ia tidak mencintai Arga. Namun, demi sang bayi ia memilih untuk jujur padanya dan berharap Arga bisa menjadi pria yang lembut ketika mendengar ia mengandung anaknya. Namun, pria itu tetap menyebalkan dan tak pernah berperasan. Dan bagaimana mengatakan pada Ardan jika ia tidak bisa menikah dengannya? Calista berjalan menuju toilet, dan tak lama ia pun masuk ke dalam. Menguncinya, kemudian hanya duduk saja tanpa melakukan apa pun. Ia kembali menangis, karena tidak mau menikah dengan Arga jika pria itu tetap menyebalkan dan tak berperasaan, bagiamana bisa mereka bercerai? sedangkan Calista tidak mau jauh dari anaknya. Jika ia jahat, sudah ia gugurkan kandungan itu, namun walaupun Ayah dari anaknya sangat menyebalkan, ia tidak akan menghilangkan anaknya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN