Accident

1713 Kata
Satu bulan yang lalu. Malam itu, Calista beberapa kali meneguk minuman yang membuat ia seketika pening. Ingatannya pun mulai melayang, terlihat tubuhnya bahkan hampir beberapa kali terjatuh dari kursi. Ia meracau dan memaki Daren beberapa kali. “Sial, kalau udah punya bini, kenapa pacaran sama gue? Gue yang ditampar sama bini lo ini, enggak tahu apa-apa soal pernikahan kalian, sial banget lo Daren!” teriak Calista, sambil meneguk kembali minuman tersebut. Kemudian setelah itu, dia tertawa namun entah apa yang membuat ia tertawa puas. “Ha-ha-ha, Daren! Ha-ha-ha." Lula yang saat itu sedang asyik mengobrol dengan teman prianya, menatap resah pada Calista. Ia pun menghampirinya dan memastikan keadaan Calista. “Lo udah mabuk berat. Udah Cal, jangan minum lagi.” Lula menarik gelas yang sudah Calista dekatkan pada mulutnya. “Aduh La, lo apaan sih? Sini balikin gelasnya.” Calista marah karena Lula menyimpan gelas itu, jauh dari jangkauannya. “Lo udah mabuk, jadi cukup! Gimana caranya gue bawa lo pulang sih Cal? Parah ya lo, mau dibawa ke sini, ternyata lo lagi patah hati.” Lula baru sadar, jika Calista setuju ikut dengannya karena sedang patah hati. Karena biasanya, Calista tidak pernah mau diajak ke sana. “Aduh, bentar ya. Gue mau ke toilet dulu,” sambung Lula sambil berlari kecil menuju toilet. Sedangkan Calista, saat itu kepalanya sudah sempoyongan. Terlihat oleng ke kanan dan ke kiri, hingga akhirnya jatuh pada bahu seorang pria yang sedang duduk di sampingnya. Calista tahu jika kepalanya bersandar pada pria tersebut, ia membuka matanya dan tersenyum lebar. “Daren, sayang. Aku tahu, kamu pasti pilih aku kan? Aku tahu kok, cewek itu cuma pura-pura jadi istri kamu kan? Kamu cuma cinta sama aku.” Calista menatap pria itu lembut, ia menelusuri setiap inci wajah pria yang ia panggil Daren. Dan tak lama, ia mendekatkan wajahnya kemudian mencium pria itu. Namun, pria itu tampak terkejut dan melepaskannya. Ia berusaha untuk menjauhkan tubuh Calista beberapa kali karena gadis itu selalu menyerangnya. Karena Calista yang terus menyerang, hasratnya pun tumbuh. Ia menyerang kembali Calista, melakukannya secara brutal dan menggendong gadis itu. Membawanya ke suatu tempat dan keluar dari klub tersebut. Ia memasukkan Calista yang sudah tak ingat apa-apa ke dalam mobilnya. Kemudian, tak lama ia memarkirkan mobilnya. Menggendong kembali Calista, dan masuk ke dalam apartemen miliknya. Matahari sudah memancarkan cahayanya, terasa hangat dan menerobos pada kaca jendela yang sudah terbuka. Angin pagi bertiup lembut, hingga membuat seorang gadis yang tertidur pulas pun menaikkan selimutnya. Ya, dia adalah Calista yang saat ini masih berada di alam bawah sadarnya. Namun, alarm dari ponselnya tiba-tiba berbunyi dan membuat dirinya menggeliat. Ia mengerjapkan matanya dan membuka perlahan, sambil merasakan pusing dikepalanya. Ia menatap ke semua arah, karena tidak mengenali cat dan barang-barang yang ada di sana. Tak lama, telinganya menangkap suara air dari dalam kamar mandi. Ia tersentak dan menatap tubuhnya yang hanya dibalut oleh selimut berwarna abu-abu. “Kenapa gue bisa ada di sini?” ucap Calista yang mencoba mengingat sesuatu. Suara pintu pun terbuka, Calista segera menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. “Saya tahu, kamu udah bangun,” ucap seorang pria yang saat ini hanya memakai handuk. “Buka selimutnya, enggak usah malu. Karena semalam, kita udah saling lihat,” sambung pria itu sambil meraih kemeja putih di dalam lemari. Perlahan, Calista membuka selimutnya. Ia terkejut karena saat itu pria bertubuh atletis membelakanginya sambil menatap dirinya di cermin. Calista benar-benar tidak karuan, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Karena ucapan pria itu yang tiba-tiba saja mengatakan jika mereka sudah saling melihat. Pria tersebut sudah selesai memakai pakaian kantornya, ia pun membalikkan tubuh menghadap Calista. Dan betapa terkejutnya ia karena pria yang saat ini tengah berdiri adalah CEO di tempat ia bekerja. Calista seketika membekap mulutnya, matanya pun membulat sempurna. Ia berharap ini hanya sebuah mimpi. “Pak Arga?” ucap Calista, masih tak percaya. Pria yang dipanggil Arga pun mengangguk, “iya, saya Arga dan bukan Daren.” Kembali, Calista harus terkejut karena Bosnya itu menyebut nama Daren, mantan kekasihnya yang sudah beristri. “Dari mana bapak tahu tentang Daren?” Arga tersenyum kecil, ia meraih jam tangan di dalam kotak miliknya. “Kamu yang menceritakannya semalam, dan kamu terus menganggap saya Daren. Beberapa kali menyerang saya, hingga hasrat saya pun muncul dan terjadilah.” Arga memakai jas hitam dan kembali menatap Calista yang terlihat pucat, gadis itu tak menurunkan selimutnya. Ia hanya membuka selimut itu sebatas hidung. “Bapak serius? I—ini—“ “Saya serius, kalau enggak serius. Keadaan kamu enggak akan seperti itu.” Arga menunjuk tubuh Calista yang saat ini hanya berbalut selimut. Calista semakin resah, ia benar-benar tak habis pikir. Jika semalam akan berakhir seperti ini, dan lebih parahnya ia sama sekali tak mengingatnya. “Kamu jangan melamun. Cepat mandi, dan kerja. Status kamu, masih menjadi karyawan saya.” Arga meraih koper yang ia simpan di atas meja dan pergi meninggalkan Calista yang masih bingung. Calista menenggelamkan kepalanya pada selimut. Iya, dia adalah sekretaris Arga yang setiap hari harus melihat bosnya itu membawa wanita ke dalam ruang kerjanya. Bukan hanya satu, bahkan setiap hari wanita yang ia bawa selalu berbeda. Calista sering mendengar suara manja wanita-wanita itu ketika berada di dalam ruang kerja Arga, dan hal itu membuat dirinya muak. Karena harus menutup telinga, dan berpura-pura tak mendengar apa pun. Bos menyebalkan yang selalu mengadakan rapat mendadak itu, selalu membuat ia ingin mengundurkan diri dari sana. Calista bangkit dan berdiri. Ia melangkahkan kaki, namun sedetik kemudian meringis kesakitan. Karena ia merasakan bagian sensitifnya perih, bahkan pada area itu ia merasakan sakit yang tak biasa. “Aduh, sakit banget," ringisnya. Ia pun menatap ke atas kasur, dan terlihat bercak merah di sana. Seketika air mata pun mengalir di kedua pipinya, ia tak menyangka jika akan melakukan malam pertama dengan Arga. Calista berjalan perlahan ke kamar mandi, dan mengunci dirinya. Membiarkan air mengguyur tubuhnya. Ia bahkan menangis sesenggukan, karena tak tahu bagaimana menjalani kehidupannya lagi, karena ia merasa sudah kotor. End satu bulan yang lalu Calista menghela napas, lamunannya buyar karena tiba-tiba suara hujan terdengar sangat deras di luar sana. Bahkan suara petir pun menyertainya, membuat rasa gundah di dalam hati Calista semakin menjadi. Ia pun bangkit dan duduk di kursi, menatap layar komputer dan sedikit memikirkan sesuatu. Tak lama, ia menuliskan sesuatu di sana. Waktu pun cepat berlalu, sekitar pukul delapan pagi dengan langkah perlahan Calista berjalan di koridor kantor dan menaiki lift. Tak lama, ia sudah sampai di lantai lima. Menatap pintu ruang kerja Arga, dan meraih gagang pintu. Membukanya perlahan, dan seketika membulatkan mata karena ia pikir tidak ada orang di dalam. Namun, ternyata ia melihat Arga sedang berpelukan dengan seorang wanita. “Maaf, Pak.” Calista merasa bersalah karena sudah masuk tanpa mengetuk pintu. Arga pun melepaskan pelukannya, dan menatap ke arah Calista. “Ada apa, Cal?” Calista pun melangkahkan kaki menuju meja kerja Arga dan menyerahkan amplop berwarna cokelat. Arga pun menatap amplop itu, namun seketika ia merobeknya. “Kok dirobek, Pak?” Calista terkejut, karena butuh waktu tiga jam ia mengolah kata hingga menjadi kalimat yang bagus untuk mengundurkan diri. Karena ia sudah memutuskan untuk merahasiakan kehamilan ini dan memilih pergi dari Will Grup, bahkan ia sudah berencana untuk tinggal bersama neneknya di desa. “Suruh siapa kamu mengundurkan diri?” Arga menatap tajam mata Calista. “I—itu, sa—saya.” Calista tiba-tiba tak bisa mengatakan apa pun. Arga bangkit dari tempat duduknya, dan mendekati Calista. “Jangan seenaknya mengundurkan diri di perusahaan saya!” Arga sedikit menaikkan nada bicaranya. Calista pun tampak kesal, ia benar-benar ingin berhenti bekerja dengan bos gila dan m***m macam Arga. Ia mengepalkan kedua tangannya, dan tampak emosi. Tanpa pikir panjang, ia pun pergi dari sana tanpa sepatah kata pun. Sedangkan wanita tadi menghampiri Arga kembali, dan berniat menciumnya. Namun, Arga segera menolak dan menjauhkan tubuh wanita itu. “Gue enggak nafsu, lo pergi aja.” “Kok gitu sih, beb? Gara-gara cewek itu, kamu jadi malas sama aku?” wanita itu terlihat kesal dan meraih tasnya, ia pun pergi dari ruang kerja Arga dan menatap tajam ke arah Calista yang saat ini tengah duduk di meja kerjanya. “Apa, lo?” ucap Calista kesal sambil menatap punggung wanita itu, tangannya bahkan meninju meja kerjanya. Perutnya tiba-tiba sedikit sakit, ia pun dengan cepat mengelusnya. “Gue enggak boleh stres, anak ini enggak salah, yang salah itu bapaknya, mesum.” Calista menatap pintu ruang kerja Arga yang tak lama terbuka. Ia pun segera memutar bola matanya, karena Arga tengah berdiri di depan pintu. Tak lama, Arga pun melangkahkan kaki, mendekati Calista. “Cal, saya mau tanya sesuatu.” “Tanya apa, Pak?” Arga sedikit mendekatkan wajahnya pada Calista, dan sontak saja Calista menjauhkan wajahnya. Ia tak mau menatap pria menyebalkan itu. “Kamu ... enggak hamil?” tanya Arga pelan. Calista seketika terdiam, bagaimana Arga tahu jika dirinya tengah mengandung anaknya? Apa yang harus ia katakan? Jujur atau berbohong? Namun, ia benar-benar takut dengan kehamilan ini. Semuanya terasa berat di dalam kepalanya, seolah dunia ini hancur ketika fakta dirinya melakukan hal yang tak seharusnya bersama Arga. Dirinya benar-benar tidak bisa menerima fakta, jika bayi yang ia kandung adalah anak dari pria playboy yang selalu ia benci setiap hari. Menyebalkan setiap detik, dan tidak pernah sopan dan bertutur kata. Hal yang paling ia sesali adalah, mengapa ia harus mau menjadi karyawan bos menyebalkan itu. Baru sayu hari kerja saja, Calista sudah mendapatkan amukan dari Arga. Bagaimana ia bisa bertahan sejauh ini? Itu karena dia melihat Papa-nya yang masih bersemangat mencari nafkah, apa iya dirinya harus patah semangat? Maka dari itu, ia rela untuk menjadi pusat kemarahan Arga ketika dirinya tidak salah sekalipun. "Hello, saya tanya. Kenapa kamu jadi melamun?" Arga mengibaskan tangannya di depan wajah Calista yang tiba-tiba saja melamun. "Jawab dong, Cal. Sebulan yang lalu kan, kita melakukan hal itu, jadi saya tanya apa kamu hali, anak saya?" sambung Arga, ia berharap jawabannya seperti yang ia harapkan. Sedangkan Calista masih terdiam, ia hanya menggigit bibir bawahnya. Telapak tangannya bahkan berkeringat, seperti mendapatkan pemecatan dari Arga. Padahal, ia begitu serba salah saat ini. Jika ia jujur, Arga takut menyuruh dirinya menggugurkan kandungan itu. Namun, jika tidak jujur, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilannya selain Arga? Tidak mungkin, ia semudah itu menerima lamaran dari Ardan ketika dirinya mengandung anak orang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN