Juan meraba tempat tidur di hadapannya, kedua matanya terbuka lebar ketika tahu tempat Anna sudah tidak ada lagi di hadapannya.
"Anna," gumam Juan sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar.
Pintu balkon dalam keadaan tertutup, itu artinya Anna tidak ada di sana.
"Kamar mandi," lirih Juan sambil menuruni tempat tidur, berlari menuju kamar mandi.
Juan sangat terburu-buru, sampai tidak memperhatikan langkahnya, akibatnya, Juan hampir saja tersandung kakinya sendiri.
"Anna!" Juan berteriak memanggil Anna sambil mengetuk pintu dengan tidak sabaran.
Tidak ada tanggapan dari Anna, dan itu berhasil membuat rasa panik Juan semakin besar. Juan menempelkan telinganya di pintu, membuka lebar pintu begitu tidak mendengar suara apapun dari dalam kamar mandi.
Juan mengumpat ketika tahu Anna tidak ada di dalam kamar mandi, kamar mandi dalam keadaan kosong. Juan berlari keluar dari kamar sambil terus berteriak memanggil Anna. Juan sangat panik, takut jika Anna sudah pergi meninggalkan apartemennya.
"Anna di dapur, Kak!" Anna mendengar teriakan Juan, jadi Anna langsung menyahut, memberi tahu Juan di mana posisinya saat ini.
Juan akhirnya bisa bernafas lega ketika mendengar teriakan balasan dari Anna.
"Ternyata dia di dapur," gumam Juan sambil memelankan langkahnya, lalu pergi menuju dapur.
Anna berbalik, tersenyum manis pada Juan yang saat ini melangkah menuju ke arahnya.
Juan kembali mempercepat langkahnya, dan begitu jaraknya dengan Anna sudah sangat dekat, Juan menarik Anna, lalu memeluk Anna dengan erat.
"Kak!" seru Anna sambil mencubit gemas pinggang Juan.
Juan meringis, dan ketika mendengar Juan meringis kesakitan, Anna menghentikan cubitannya.
"Maaf," lirih Anna penuh sesal. Anna mencoba lepas dari pelukan Juan, tapi Juan menolak untuk melepaskannya.
"Tidak apa-apa, Kakak tahu Kakak yang salah karena sudah membuat kamu terkejut."
"Jangan diulangi lagi!"
"Iya." Perasaannya benar-benar lega sesaat setelah melihat dan memeluk Anna secara langsung. "Kamu buat Kakak panik," bisiknya.
"Aku buat Kakak panik? Maksudnya?"
"Kakak panik saat tahu kalau kamu tidak ada di kamar."
"Oh ... karena itu."
"Iya."
"Kenapa harus panik? Kan aku juga enggak akan bisa kabur. Kakak enggak kasih tahu aku apa pasword apartemennya."
Juan merenggangkan pelukannya, menatap Anna dengan mata memicing. "Jadi, tadi kamu mencoba kabur, hm?"
"Iya." Anna memilih jujur. "Tapi sayangnya, semua pasword yang aku masukkin enggak ada yang cocok, salah semua," keluhnya dengan raut wajah masam.
Juan tak kuasa untuk menahan tawanya begitu mendengar jawaban Anna.
"Jangan tertawa, itu sama sekali tidak lucu tahu." Anna merajuk, berniat kembali mencubit Juan tapi sayangnya, Juan sudah terlebih dahulu menghindar.
"Menurut kamu memang tidak lucu, tapi menurut Kakak itu sangat lucu." Juan mencubit gemas hidung mancung Anna. "Kakak juga merasa sangat bersyukur karena semua pasword yang kamu masukkan salah. Coba kalau benar, pasti kamu sudah pulang."
Anna mendengus, membuat Juan semakin gemas. Apalagi saat melihat bibir ranum Anna yang manyun seolah memintanya untuk kembali melumatnya.
"Apa paswordnya, Kak?"
"Tanggal lahir kamu, Sayang."
"Tanggal lahir aku?" Teriak Anna sambil menunjuk dirinya sendiri.
Juan menunduk, mengecup kening Anna. "Iya, tanggal lahir kamu."
"Astaga! Kenapa harus pakai tanggal lahir aku?" Anna tak habis pikir, bisa-bisanya Juan menggunakan tanggal lahirnya sebagai pasword apartemennya. Tapi sejujurnya jauh dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, Anna senang.
"Memangnya kenapa? Tidak boleh?" Juan malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Anna.
"Ya bukannya gak boleh, tapi kenapa harus pakai tanggal lahir aku?"
"Karena tanggal lahir kamu itu cantik."
"Hanya karena itu?" Jawaban yang Juan berikan tidak memuaskan Anna.
"Tentu saja tidak. Ada alasan lain kenapa Kakak menggunakan tanggal lahir kamu sebagai pasword apartemen Kakak, dan itu karena kamu adalah orang spesial bagi Kakak."
Jawaban Juan kali ini berhasil membuat Anna bahagia, itu terlihat jelas dari mimik wajahnya yang kini merona.
Juan mengecup pipi merona Anna, mengejutkan sekaligus menyadarkan Anna jika tanpa sadar, sejak tadi dirinya melamun.
Anna mendengus, lain halnya dengan Juan yang malah tertawa.
Juan menuntun Anna untuk duduk di sofa. Juan membaringkan kepalanya di pangkuan Anna dengan posisi kepala menghadap ke arah perut Anna, bahkan kini kedua tangan Juan melingkar di pinggang Anna.
Anna tidak sempat menolak, menghindar, ataupun melarang Juan untuk berbaring di atas pangkuannya karena semuanya terjadi dengan begitu cepat.
Dengan ragu, Anna menyisir rambut hitam legam Juan menggunakan jemari tangan kanannya. "Kak."
"Hm."
"Apa Kakak akan menetap di Indonesia?"
"Tidak, Anna. Lusa, Kakak harus kembali ke New York."
Tanpa sadar, Anna meneguk kasar ludahnya, dalam sekejap, otaknya di penuhi dengan berbagai macam pikiran buruk.
"Kapan Kakak akan kembali ke Indonesia?" Anna berusaha untuk tetap terlihat tenang, tak ingin membuat Juan sadar jika dirinya sangat gelisah.
"Entahlah, Kakak tidak tahu pastinya kapan Kakak akan kembali ke Indonesia. Tapi, Kakak usahakan agar Kakak bisa segera kembali dan menetap di sini."
Anna diam, sibuk memikirkan tentang apa yang nanti akan terjadi pada hubungnya dengan Juan. Anna seketika berpikir jika akan jauh lebih baik kalau tadi dirinya tidak setuju untuk menunggu Juan. Jadi, haruskah ia mengakhiri hubungannya dengan Juan saat ini juga?
"Kenapa?" Pertanyaan yang Juan lontarkan berhasil menyadarkan Anna dari lamunannya.
Anna menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya ingin tahu saja."
Juan menjauhkan wajahnya dari perut Anna, dan di saat yang bersamaan, Anna menunduk, membuat keduanya kini saling bersitatap.
Juan menatap lekat mata Anna, menghela nafas panjang begitu melihat tatapan mata yang berbeda dari sebelumnya. "Dengar, Kakak ingin menetap di Indonesia, tapi Kakak belum bisa melakukannya. Kakak masih harus menyelesaikan pekerjaan Kakak di New York."
"Iya, aku paham kok."
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Anna. Semuanya pasti akan baik-baik saja." Juan tahu, Anna pasti berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. Mungkin Anna juga berpikir untuk mengakhiri hubungan mereka yang baru saja terjalin dalam hitungan jam.
Anna hanya tersenyum tanpa berniat menanggapi ucapan Juan yang memang benar adanya.
Suasana berubah menjadi hening, Juan dan Anna sama-sama diam, tenggelam dengan pikiran masing-masing.
"Kak, anterin aku pulang." Anna akhirnya berbicara setelah cukup lama terdiam.
Juan tidak menanggapi ucapan Anna, tapi malah melirik ke arah nakas, di mana jam berada.
"Ini masih jam 5, kita masih punya banyak waktu untuk berduaa." Juan tidak mau mengantar Anna pulang sekarang. Juan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, terlebih nanti dirinya dan Anna akan berpisah dalam kurun waktu yang cukup lama.
Juan tidak mau pergi meninggalkan Anna, tapi Juan juga tidak bisa mengabaikan pekerjaannya yang masih menumpuk di New York.
Secara tiba-tiba-tiba, Juan bangun dari pangkuan Anna. Anna lega, tapi di saat yang sama juga merasa kehilangan.
"Sini, duduk dalam pangkuan Kakak." Juan menepuk pahanya.
"Enggak mau!" Tanpa banyak berpikir, Anna menolak mentah-mentah permintaan Juan.
Juan sudah menduganya, jadi Juan tidak terlalu kecewa dengan penolakan yang Anna berikan. Juan meminta Anna agar merubah posisi duduknya.
Anna menuruti intruksi Juan, dan di saat yang bersamaan, Juan juga ikut merubah posisi duduknya. Sekarang, Juan dan Anna duduk dengan posisi yang saling berhadapan.
Tangan kiri Juan bertengger manis di pinggang Anna, sedangkan tangan kanannya mendorong leher belakang Anna sampai akhirnya bibirnya dan bibir Anna kembali beradu.
Anna tidak menolak ciuman Juan, karena Anna juga sangat menginginkannya.
Tangan kanan Anna mengalung di leher Juan, sedangkan tangan kirinya sibuk meremas rambut hitam legam Juan.
Juan semakin maju, membuat Anna semakin mundur sampai akhirnya Anna terlentang dengan Juan yang berada tepat di atas tubuhnya.
Awalnya, keduanya berciuman dengan pelan, tapi semakin lama, tempo ciuman mereka semakin cepat.
Tanpa sadar, Anna mendesah, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.
Desahan erotis Anna bagai melodi yang selalu ingin Juan dengar lagi, lagi, dan lagi. Desahan Anna juga semakin membuat Juan b*******h.
Gairah Juan semakin membara, begitu juga dengan Anna.
Juan melepas tautan bibirnya dengan Anna, memberi Anna waktu untuk mengambil nafas. Juan menurunkan ciumannya menuju leher jenjang Anna.
Secara naluriah, Anna mendongak, memberi Juan akses agar bisa lebih mudah untuk mengexplore lehernya.
Juan hanya mengecupnya. Juan tidak mau meninggalkan kissmark di leher Anna, takut jika Anton, Sein atau bahkan Sean melihatnya. Sudah pasti mereka akan memarahi Anna, besar kemungkinan, Anton dan Sean akan menghajarnya.
"Kak," lirih Anna sambil menahan tangan Juan yang baru saja akan masuk ke dalam dressnya.
Peringatan Anna membuat Juan tersadar jika dirinya berbuat terlalu jauh. Juan mengerang, menenggelamkan wajahnya di leher Anna.
Anna terkekeh, lalu mengecup pipi Juan.
Juan menjauhkan wajahnya dari leher Anna, menatap Anna dengan raut wajah penuh penyesalan. "Maaf, Kakak ha-"
Anna menempelkan jari telunjuk tangan kanannya di bibir Juan, meminta agar Juan tidak melanjutkan ucapannya. "Tidak apa-apa, Kak."
"Maaf." Juan kembali meminta maaf.
"Hanya berciuman, Kak," bisik Anna tepat di depan bibir Juan.
"Hanya berciuman." Ulang Juan memperjelas.
Anna mengangguk. "Iya, hanya berciuman. Tidak boleh lebih dari itu."
Juan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Anna berikan. Juan kembali mencium Anna, kali ini hanya menciumnya.
***
Seperti janji Juan pada Anton dan Sean sebelumnya, Juan mengantarkan Anna pulang sebelum pukul 8 malam.
Sebelum mengantar Anna pulang, Juan terlebih dulu mengajak Anna makan malam romantis di sebuah restoran bintang ternama.
Tak tanggung-tanggung, Juan membooking 1 restoran, jadi tidak ada pengunjung lain selain Juan dan Anna.
Anna sangat shock, begitu tahu Juan membooking restoran tersebut hanya untuk makan malam bersamanya, dan di saat yang sama, Anna juga merasa luar biasa bahagia.
Selesai makan malam, Juan langsung mengantar Anna pulang.
Mobil Juan sudah terparkir tepat di depan pintu utama kediaman kedua orang tua Anna.
Kening Juan mengkerut, bingung ketika melihat mimik wajah Anna yang terlihat gelisah juga ketakutan.
"Kenapa, Anna?" Juan mengikuti arah pandangan Anna, terkekeh saat tahu apa yang Anna lihat.
Juan pikir, Anna baru saja melihat hantu, tapi ternyata ia salah karena yang Anna lihat bukan hantu, melainkan Sean.
Sean berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan bersedekap. Jangan lupakan raut wajahnya yang terlihat sama sekali tidak bersahabat.
Juan yakin, Sean pasti bergegas keluar begitu mendengar suara mobilnya.
Juan kembali menatap Anna, sambil meraih tangan kanan Anna. "Kamu takut sama Kak Sean, hm?"
"Tidak!" Anna membantah dengan tegas tuduhan Juan.
Juan terkekeh. "Lain di mulut lain di wajah. Wajah kamu tidak bisa berbohong, kamu jelas takut sama Kak Sean."
Anna merenggut, lalu menunjuk Sean menggunakan dagunya. "Lihatlah, tatapan mata Kak Sean sangat tajam."
Juan kembali tertawa. "Tenanglah Anna, Kak Sean tidak menggigit kamu."
"Kak Sean memang tidak akan menggigit aku, Kak, ta-"
"Tenanglah Anna, Kak Sean tidak akan memarahi kamu kalau memang itu yang kamu takutkan." Juan menyela, langsung menenangkan perasaan Anna.
"Baiklah," lirih Anna pasrah.
"Jangan keluar dulu, biar Kakak yang bukain pintunya."
"Eng-"
"Jangan menolak karena ini perintah!" Juan bergegas keluar dari mobil, lalu membuka pintu mobil bagian Anna sambil mengulurkan tangan kanannya.
Kali ini, Anna menerima uluran tangan Juan. Anna bahkan tersenyum dengan sangat lebar.
Setiap gerak-gerik Juan dan Anna, tak lepas dari pengamatan Sean, termasuk ketika Anna tersenyum dengan begitu lebarnya, senyum yang sudah lama tidak Sean lihat.
"Hai, Kak." Juan terlebih dulu menyapa Sean begitu sudah berdiri tepat di hadapan Sean.
Sean mengabaikan sapaan yang Juan berikan. Sean menatap Anna yang terlihat sekali sangat resah juga gelisah. "Apa dia melakukan sesuatu yang buruk sama kamu?" tanyanya sambil menunjuk Juan dengan dagunya. "Seperti mengancam kamu, mungkin."
"Enggak kok, Kak." Anna menjawab tenang pertanyaan Sean.
Anna tidak mungkin menjawab dengan jujur pertanyaan Sean, mengatakan pada Sean kalau tadi dirinya dan Juan berciuman. Sean pasti akan marah, bukan hanya padanya, tapi juga pada Juan. Hal yang paling Anna takutkan adalah, Sean akan menghajar Juan.
"Baguslah. Kamu masuk duluan, Kakak mau bicara 4 mata sama Juan."
"Ta-"
"Tidak ada tapi-tapian, Anna. Kakak bilang masuk!" Titah tegas Sean sambil menatap tajam Anna.
Raut wajah Anna berubah ketus. Anna menatap Juan, saat itulah Juan mengangguk sebagai isyarat agar Anna menuruti perintah Sean.
Juan tidak mau melihat Sean dan Anna bertengkar hanya karena dirinya.
Anna kembali menatap Sean, dan Sean masih menatap Anna dengan raut wajah datar serta tatapan matanya yang begitu tajam.
Tanpa berkata-kata lagi, Anna pergi meninggalkan Sean dan Juan. Sesekali Anna menoleh, menghela nafas gusar ketika tahu kalau Sean terus memperhatikannya.
Sean terus memperhatikan Anna, memastikan jika Anna benar-benar memasuki lift untuk pergi menuju kamarnya. Setelah yakin jika Anna memasuki lift, atensi Sean kembali tertuju pada Juan.
"Masuklah, kita bicara di belakang." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Sean memasuki rumah, diikuti oleh Juan yang berjalan tepat di belakangnya.
Sean sama sekali tidak bertanya, apa Juan keberatan atau tidak untuk berbicara dengannya.
Juan sendiri sadar, kalau dirinya tidak bisa menolak ajakan Sean karena memang ada banyak sekali hal yang harus ia bicarakan dengan Sean.
Suasana rumah dalam keadaan sepi, itu karena Anton dan Sein sudah ada di kamar, sedangkan para pelayan sudah istirahat di kamarnya masing-masing.