Louis sedang memeriksa dokumennya yang menumpuk dikantor. Kepalanya pusing, belum satu dokumen selesai, dokumen lainnya berdatanganan. Pria itu memijat pangkal hidungnya, kemudian menghela nafas.
Tok tok
"Masuk!"
Sekretaris Louis, Andara masuk dengan wajah panik. Louis menatapnya heran, belum sempat membuka mulut Andara lebih dulu bersuara dengan nada yang panik.
"Pak Louis, itu.."
"Ada apa?" tanyanya.
"Itu-"
Saat Andara mau berbicara, pintu sudah lebih dulu dibuka paksa dan menimbulkan suara keras.
Brak
Seorang pria imasuk dengan berang dan menatap tajam Louis. Kemudian pria itu melemparkan koran diatas meja Louis.
"Lihat ini!"
Louis meraih koran yang pria tadi lempar dan membacanya. Di koran, terdapat namanya yang terpampang jelas besar dihalaman utama koran.
Putra pengusaha terkenal, Diego Kaggen terlihat bersama seorang wanita di Hotel Starplus.
Disana juga ada foto dirinya saat merangkul Silla memasuki lift. Mata Louis mengerjap melihatnya.
"Berita apa - apaan ini," gumamnya.
"Liat kecerobohanmu! Kamu itu anak bodoh, selalu saja ceroboh tanpa berfikir panjang!" omelnya sambil berkacak pinggang.
Pria yang sedang marah itu adalah Diego Kaggen, Papah dari Louis. Pria baya itu sangat pusing dengan tingkah putra tunggalnya yang selalu membuat dia naik darah setiap harinya.
"Sudah Papah bilang, hilangkan kebiasaan kamu bermain wanita. Bentuklah citra yang baik sebagai keluarga Kaggen, bukan malah memperburuk citra keluarga kita seperti ini!!"
Louis memberi kode supaya Andara pergi, setelah wanita itu pergi Louis bangkit dan mendekati Papahnya.
"Louis mana tau ada paparazzi," kata Louis santai.
"Kamu harusnya sadar jika keluarga kita selalu berhubungan dengan media. Papah tidak mau tau, kamu bereskan masalah ini sebelum berita ini semakin menyebar. Jika masalah ini mempengaruhi saham perusahaan, maka bersiap akan Papah bunuh kamu saat itu juga!!"
Setelah itu Diego pergi begitu saja. Louis mengusap wajahnya kasar dan pergi untuk menemui seseorang. Dia harus cepat mengurus kekacauan yang dia buat. Jika tidak, maka Diego akan membunuhnya hidup - hidup.
Mobil yang dikendarai oleh Louis berhenti disebuah kantor yang lumayan cukup luas. Louis pergi menemui salah satu lawyer keluarganya, Doni. Dia kemudian masuk ke dalam kantor, dan menuju ruangannya.
Doni yang sedang membaca berkas terkejut dengan kedatangan Louis dikantornya. Dia hanya menatap heran, kenapa pria itu mengunjungi kantornya sepagi ini.
"Don, bereskan kekacauanku," ucap Louis santai.
Pria itu kelewat santainya duduk disofa sambil menaikan kakinya dimeja. Doni yang sedang membaca berdecak menatap Louis dan menurunkan kacamatanya.
"Masalahnya ini tak semudah membalik telapak tangan besarmu," kata Doni santai.
"Apa maksudmu? Kamu pengacara handal yang dipercayai keluargaku, bagaimana kamu tidak bisa menyelesaikannya?" tanya Louis tidak percaya.
Doni berdiri dan mendekat ke arah Louis. Dia berkacak pinggang, dan menatap jengah.
"Perempuan yang berada dihotel bersama kamu merupakan putri bungsu tuan Elden."
Louis menaikan alisnya menatap Doni. Tangannya berada didepan bibir sambil sejenak berfikir.
"Elden?" gumamnya.
"Ya, dia pengusaha terkenal hampir seperti paman Diego. Tapi, sangat berat Lou.. aku jamin kita tidak akan mudah lolos begitu saja."
"Lalu masalahnya apa?"
"Elden Rutheger adalah seorang mafia. Dan dia akan membunuh siapapun yang mengusik putri kecilnya."
"Seorang mafia? sangat menarik," kata Louis sambil tersenyum simpul.
"Apanya yang menarik bodoh! Dia bisa menghabisimu sewaktu - waktu. Secandal itu sudah menyebar luas, astaga kenapa kamu begitu bodoh sekali," Doni merasa frustasi bicara dengan pria bodoh seperti Louis.
Louis tak menanggapi ucapan Doni dan pergi begitu saja. Sementara Doni memegang kacamatanya dan menatap kepergian Louis dengab menggelengkan kepala.
"Dasar, berandalan itu main pergi saja, cih," decih Doni.
***
Louis keluar dari kantor Doni, kemudian Louis menghubungi seseorang.
"Berikan informasi lengkap mengenai Elden Rutheger sekarang!" gumamnya.
Kemudian pria itu menuju mobilnya yang terparkir didepan kantor pengacaranya. Saat dia memakai sabuk pengaman, tiba - tiba ponselnya berbunyi.
Ting!
Louis memarkirkan mobilnya dipinggir jalan dan kemudian membuka ponselnya. Bibirnya menyungging senyuman melihat isi pesan diponselnya.
"I got you Rutheger," gumam Louis tersenyum menyeringai.
Pria itu menutup ponselnya dan menjalankan mobilnya menuju ke sebuah mansion besar. Dia turun dengan santai dan memasuki mansion. Pria itu menekan bell dan menunggu pintu terbuka.
Ceklek
"Pak Louis?!" tanyanya terkejut.
Silla menutup kembali pintu mansion nya dan menarik Louis menjauh dari mansion nya. Louis santai saja melihat wanita itu menatapnya kesal.
"Ih, ngapain sih Bapak kesini?Saya nggak ada urusan sama Bapak lagi!"
"Saya ada urusan dengan kamu!"
"Ngapain sih? Nggak penting," ucap Silla memutarkan bola matanya jengah.
"Penting," Louis ngotot tetap ingin bicara namun wanita didepannya seolah enggan.
"Nggak!"
"Penting!"
"Nggakkkkkkkkk!!!"
"Penting!!!"
"Ihh kok Bapak ngotot?!"
"Kenapa juga kamu ngotot dengan saya?!"
"Ya saya nggak mau!"
"Harus mau, karena ulah kamu, saya mengalami kerugian," Louis melotot ke arah Silla.
Silla meneguk salivanya dan menundukan langkahnya perlahan. Louis semakin memajukan langkah saat wanita itu memundurkan langkahnya.
"Apasih nggak jelas banget," Silla mendorong d**a bidang pria itu.
"Silla.. yang datang siapa?" teriak seorang wanita dari dalam.
Silla panik mendengar Mamahnya, dan tiba - tiba menjadi gugup.
"Enggak Mah, bukan siapa - siapa!" teriak Silla.
Silla langsung melotot ke arah Louis tajam, dia menarik pria itu untuk pergi dari mansionnya, tapi terlambat, karena Elden sudah menangkap basah mereka berdua.
"Pradita!" suara bariton terdengar. Begitu pelan namun mengintimidasi siapapun yang mendengar.
"Pa-pah?" Silla mematung melihat Elden berdiri dengan menatap datar arahnya.
Tapi Louis malah dengan santai menemui Elden dan tersenyum ramah.
"Selamat siang Om.."
Louis menyelonong masuk begitu saja dan berhadapan dengan Papah Silla, Elden.
"Kamu siapa?" tanya Elden.
"Saya kekasihnya Silla Om," bohong Louis.
Silla melongo tak percaya. Drama apalagi ini yang pria itu lakukan didepan Papahnya. Rasanya dia ingin membunuh pria itu dan melemparnya ke pluto sekalian.
Kemudian Silla menghampiri Papahnya dan menjelaskan semuanya. Wanita itu tidak ingin Elden berfikiran macam - macam, apalagi sampai berfikir dia memiliki hubungan spesial dengan Louis.
"Bukan Pah!" teriak Silla.
"Sayang.." Louis melotot ke arah Silla. Silla yang dipelototi tak takut balik melotot. Dia sudah muak sekali melihat drama si dosen yang bikin pusing setiap saat.
Mereka sedang sibuk bertengkar sendiri. Tiba - tiba teriakan Elden membuat mereka terkejut dan berhenti.
"Kamu!" teriak Elden.
Wajah pria itu terlihat tegas dan serius. Silla memejamkan matanya dan memilin bajunya karena takut.
"Mati gue, demi neptunus dan seluruh planet, help me..." batin Silla.
Elden menarik kerah baju Louis dan menatap tajam pria itu. Louis yang terangkat menjadi gugup, Elden berubah semenakutkan ini.
"Kamu b******n yang membawa putriku ke hotel!"
"Omm.. tunggu dulu Om.." Louis berusaha menjelaskan kepada Elden baik - baik. Tapi sepertinya Elden sudah terlalu murka dan tak ingin mendengarkannya.
"Berani sekali kamu merusak putri saya!"
"Pahh.." Silla mencoba untuk melunakan Papahnya. Tapi, Elden seakan tidak ingin mendengar penjelasan putrinya.
"Diam kamu Dita!"
Silla yang melihat kemurkaan Papahnya tak berani bicara lagi. Walau dia benci pria resek seperti Louis, tapi wanita itu harus selamatkan Louis dari kemarahan Papahnya, tapi bagaimana caranya??
Silla kemudian masuk meninggalkan Elden yang masih menindas Louis. Pria itu melongo melihat wanita itu malah pergi saat ia sedang dalam keadaan genting terancam dibunuh oleh Elden.
Silla kemudian menemui Mamahnya, Aegis. Dia mendekat dengan wajah yang khawatir.
"Mah..."
"Kamu kenapa? Ngos - ngosan begitu?" tanya Aegis ikut panik.
"Papah Mah.. dia ngamuk sama Louis diluar."
"Tunggu, Louis siapa yang kamu maksud Dit?" tanya Aegis.
"Pokoknya nanti aku jelasin, sekarang ayo Mah... Keburu Louis habis dihajar sama Papah!" kata Silla sambil menarik tangan Aegis ke luar.
Setelah sampai diluar mansion, Aegis melihat suaminya sedang mencengkram kerah pemuda itu sambil menghajar wajahnya. Wajah Louis babak belur bukan main, darah keluar dari sudut bibir dan juga hidungnya.
"Aiden stop!" teriak Aegis.
Berhasil, cengkraman pada pemuda itu terlepas. Elden menatap tajam Aegis. Dia melepaskan pemuda itu dan bangkit sambil berkacak pinggang.
"Apa yang kamu lakukan, dia anak orang. Bagaimana bisa teganya kamu ingin menghabisi anak orang seperti itu?" tanya Aegis tak suka.
Aegis tipe orang yang benci kekerasan. Ia benci, sangat benci. Apalagi suaminya sendiri yang melakukan kekerasan dengan orang lain. Hatinya menjadi berdenyut menyaksikan.
Silla menghampiri Louis dan membantunya berdiri. Sungguh keadaan Louis mengenaskan sekali, tak ada wajah tampan seperti sebelumnya.
"Tapi b******n ini membuat kesalahan!" kata Elden geram.
"Kesalahan apapun itu, semua bisa dibicaraakan secara baik - baik. Kamu bukan Tuhan, jadi kamu tidak bisa mengadili setiap manusia sekalipun!" kata Aegis tajam.
"s**t!"
Jika sudah Aegis berbicara dengan nada yang lebih tinggi, itu artinya Elden tidak bisa berkutip lagi. Pria itu mengepalkan tangan masuk ke dalam meninggalkan mereka sendiri.
Aegis kemudian mendekati Louis dan putrinya.
"Silla, ambil obat untuk nak Louis."
Silla mengangguk dan pergi mengambil kotak obat. Sementara Aegis menatap khawatir dengan keadaan Louis yang tidak baik - baik saja.
"Nak Louis, kamu tidak papa?" tanya Aegis memastikan keadaan Louis.
"Tidak, saya tidak papa tante. Ini bukan masalah yang besar."
Aegis tersenyum hangat. Kemudian menuntun Louis masuk ke dalam mansion mereka.
"Maafkan Papahnya Silla, dia pria tua yang memang tegas, tapi sebetulnya dia adalah pria yang sangat baik."
Louis hanya menjawabnya dengan senyum simpul. Kemudian, Silla datang membawa kotak obat dan mengobati memar diwajah Louis.
"Shhh.." ringis Louis.
"Diem deh! Siapa suruh Bapak tadi ngeyel pake sok kecakepan didepan Papah saya, nggak mempankan!" omel Silla.
"Jangan ditekan, orang sakit juga.." adunya.
"Udah tau aku suruh pergi tadi malah ngeyel masuk. Sukurin!"
Silla menekan keras luka milik Louis membuat pria itu meringis kesakitan.
"Aww shh."
"Rasain tuh!!"
Silla melempar kompresan dan berdiri berkacak pinggang. Dia bingung bagaimana menangani amukan Papahnya nanti. Walau Aegis berhenti melerai pertengkaran, bukan berarti wanita itu aman setelah ini. Dia bisa digantung di menara setan kalau gini caranya.
"Dita, masuk!" suara Elden tiba - tiba memerintah.
"I-iya Pah.."
Silla masuk dan naik. Dia berharap setidaknya Louis bisa hidup - hidup keluar dari rumahnya. Kemudian, Elden duduk begitu juga Aegis yang duduk disampingnya.
"Kedatangan saya kemari untuk bertanggung jawab," kata Louis menunduk. Dia merendah serendah - rendahnya didepan Elden dan juga Aegis.
"Maksud nak Louis?" Aegis bertanya.
"Saya telah meniduri putri kalian, Sisillia Pradita. Saya mohon maaf, karena kesalahan saya membuat kalian marah."
Elden mengepalkan tangannya hendak berdiri menghajar Louis namun ditahan Aegis.
"Tanggung jawab bagaimana maksud nak Louis?"
"Saya akan menikahi Silla," kata Louis.
"Tidak, tidak setuju!"
Bukan Elden melainkan Silla yang teriak mematung ditangga. Silla melempar sandalnya ke arah Louis. Dia mendekat ke arah kedua orangtuanya.
"Enak aja kalau ngomong! Silla nggak mau nikah sama dia Pah.." rengek Silla.
Elden hanya menatap keduanya datar. Silla berlutut didepan Papahnya. Dia tidak mau menikah dengan Louis.
"Pahh.. Silla bakal jadi anak yang berbakti untuk Papah, kalau perlu nusa dan bangsa. Silla janji nggak sering bolos kuliah, nggak ke klub lagi, nggak makan permen terus.. tapi Silla nggak mau nikah sama tempe orek ini Pahh," Silla melirik Louis tajam. Ingin rasanya dia sumpal mulut Louis pake t*i ayam.
"Jadi selama Papah pergi kamu sering seperti itu?"
Mati, ia keceplosan. Double sudah kesialannya. Ia merutuki mulut sialannya ini.
"Nggak gitu Pah.. ya-"
"Bulan depan," Elden bicara tegas.
"Bulan depan? Maksudnya?" Jawab Silla membeo.
"Pernikahan kalian."
"Haa?!!"
"Bawa orang tua kamu kemari," tunjuk Elden pada Louis.
"Pah, tapi-"
Elden mengangkat tangan tak ingin dibantah. Sementara Silla frustasi setengah mati. Elden berdiri dan masuk begitu saja menyisakan Silla yang ingin menangis mendengar keputusan Elden.
"Mah..." Silla merengek kepada Aegis.
"Maaf, kali ini Mamah tidak bisa membantu kamu," kata Aegis lembut. Wanita itu kemudian masuk kedalam menyusul suaminya.
"Arghhh sialan! Semua gara - gara Bapak tau!"
Silla memukul Louis tak henti - hentinya. Louis hanya diam menyunggingkan senyum mendengar keputusan tadi.
"Nggak boleh begitu sama calon suami sendiri.." godanya.
"Diem ya jijik!"
"Jangan gitu calon istri.."
"Diem atau gue santet tau rasa lo!!"
Louis tertawa melihat kemarahan Silla. Dia gemas bukan main, dia merasa suka semakin menjahili wanita itu.
"Calon istri.."
"Shut up your mouth j****k!"
***
Louis pulang ke mansion dengan wajah yang lebam. Amanda yang melihatnya khawatir.
"Ini wajah kamu kenapa?"
Louis duduk disofa menadahkan kepalanya ke atas.
"Tanda bukti karena Louis udah direstui calon mertua Maahh..."
Amanda tidak paham dengan ucapan putranya itu. Tunggu, calon mertua? Artinya...
Amanda mau bertanya, tapi putranya sudah lebih dahulu nyelonong ke kamarnya.
Diam - diam Amanda tersenyum kemudian menemui suaminya, Diego.
"Pah!"
Diego yang sedang membaca berkas kantornya menoleh melihat istrinya yang berlari kecil ke arahnya.
"Papah tau, Louis mau menikah?"
"Tau," jawab Diego santai.
"Loh, kok Mamah yang tidak tau sendiri."
Diego menurunkan kacamatanya dan menatap istrinya dan tersenyum.
"Itu anak kalau bukan Papah yang suruh, nggak bakal jalan otaknya. Harus dipaksa dulu, baru dia jalan."
"Calonnya Papah tau nggak gimana? Cantikkah? Manis, Mamah penasaran.."
"Nanti Mamah tau sendiri kok. Yaudah Papah mau lanjut kerja dulu,"
Amanda mendengus sebal melihat suami dan putranya yang main rahasia - rahasia dengan dirinya. Kemudian dia menelpon seseorang untuk mengupas habis rasa penasarannya.
"Andara, apa putra saya kamu dengar akan menikah atau semacamnya?" tanya Amanda.
Mendengar jawaban Andara disebrang sana, membuat senyumnya melebar sekali.
"Ah, terimakasih. Saya akan naikan gaji kamu dua kali lipat bulan depan."
Kemudian, Amanda menutup panggilannya. Dia menuju kamar putranya, mengintip apa yang sedang dilakukan putranya. Saat dia mengintip putranya sedang mengompres wajahnya dengan kompresan. Wanita baya itu berdecih.
"Yang mau nikah main rahasia - rahasiaan, Mamah udah tau. Semoga lancar... Udah nggak sabar Mamah punya mantu lagi."