Bab 1. Malam Yang Dingin
Julian memandang ke arah kota, matanya terfokus pada cahaya-cahaya yang berkelip di kejauhan. Angin malam membawa suara-suara kota yang familiar, tapi tidak bisa menghilangkan rasa dingin di tulang-tulangnya.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui dirinya. Tapi, kenangan itu tidak bisa dihilangkan.
Tiba-tiba terdengar suara benda yang pecah dari arah dapur, seketika perhatiannya pun teralihkan. Ia melangkah pelan, keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.
“Milea, apa yang terjadi?”
Seorang gadis dengan perawakan tinggi semampai dengan rambut panjang coklat madu itu menoleh. Milea namanya, wanita muda yang dinikahinya 1 tahun silam hasil dari perjodohan orang tua.
“Aku sedang belajar masak, tiba-tiba pancinya pecah,” sahutnya seraya merengut sebal.
Julian berdecak pelan kemudian menghampiri Milea. “Letakan saja, coba aku lihat apa terluka?” Diraihnya tangan Milea yang sibuk membereskan pecahan kaca.
“Aku tidak apa-apa.” Milea menjawab seadanya namun membiarkan tangan itu dicek oleh Julian. Ia justru menatap suaminya itu dengan seksama, sudah lama sekali ia tidak melihat Julian sedekat ini. “Apa kau akan kembali ke Camp?”
“Ehem, besok sore aku berangkat.”
Bibir Milea langsung manyun seketika. “Kau bahkan baru pulang, kenapa harus segera kembali?” gerutu Milea, ada nada manja pada suaranya.
“Kondisi di sana tidak memungkinkan. Kita sedang konflik dengan negara tetangga juga, harus waspada," sahut Julian seadanya.
Mendengar itu refleks Milea menarik tangannya kasar membuat Julian mengangkat pandang. Milea tidak menunjukkan reaksi apa pun tapi memilih nyelonong begitu saja meninggalkan pria itu.
Julian keheranan, merasa tak ada yang salah dari ucapannya kenapa Milea seperti sedang marah? Julian tidak ingin berpikir terlalu jauh, ia segera membersihkan pecahan panci itu kemudian membuatkan makan malam untuk Milea. Ia menganggap umur Milea yang masih muda sehingga emosinya suka meledak-ledak.
Di seberang sana, Milea menyalakan televisi setelah menghembuskan tubuhnya dengan kasar. Ia mengambil ponsel, menghubungi teman baiknya Sisi.
”Besok dia akan kembali, aku tidak akan datang,” ucapnya langsung begitu panggilan tersambung.
“Yah, katanya mau datang? Suamimu tidak mau?”
“Ya begitulah, sudah jangan membuatku semakin kesal. Aku akan tidur seharian selama liburan,” sergah Milea lagi.
“Alasan dia itu apa sih? Sepertinya dia sangat sibuk sekali.”
Mata Milea menyipit mendengar wejangan dari sahabat baiknya itu, ekor matanya melirik ke arah Julian yang begitu telaten memasak. Bola matanya bergerak-gerak menatap setiap gerakan kecil yang pria itu lakukan.
Damn it! Kenapa dia tampan sekali.
“Ah iya, dia memang jarang punya waktu. Mungkin dia lebih cinta dengan teman laki-lakinya yang di sana,” kata Milea, kali ini tatapan penuh kekaguman tadi berubah sinis.
“Kau tidak curiga? Kenapa dia jarang ada waktu, jangan-jangan dia Gay?”
“Hah? Mana ada!” Milea refleks berteriak begitu mendengar tuduhan yang diberikan Sisi. Sedetik kemudian ia menutup mulut syok, menatap Julian yang tengah memandangnya keheranan.
Sisi masih terus mengoceh di sana membuat Milea semakin syok, ia menggeleng mencoba menyangkal tapi ada benarnya juga apa yang sahabatnya itu katakan. Mereka sudah menikah selama 1 tahun, tidur pun sering satu ranjang tetapi Julian tak pernah menunjukkan reaksi berlebihan. Bahkan selama menikah, mereka hanya pernah bersentuhan fisik dengan bergandengan tangan.
“Gila, pernikahan macam apa ini," umpat Milea dalam hati.
“Lea ayo makan dulu!" panggil Julian.
Milea tersentak lalu buru-buru mengangguk, ia sempat mendengarkan apa yang Sisi katakan sebelum akhirnya beranjak ke meja makan. Lagi dan lagi Milea mencuri pandang pada suaminya itu, bukan malah tenang justru pikirannya ke mana-mana.
”Apa yang ingin kau tanyakan?” Julian melirik istrinya, sadar ada sesuatu yang menganggu wanita itu.
Milea menggeleng seraya mengulas senyum tipis, ia sibuk memakan nasi yang baru di masak. Tetapi diam-diam ia melirik ke bagian bawah celana suaminya, bulu kuduknya merinding sendiri karena pemikirannya.
“Tidak mungkin tidak bisa berdiri," gumam Milea sangat kecil.
“Hem?” Julian bertanya, merasa mendengar sesuatu.
“Ah tidak, tidak, itu sebenarnya. Aku sudah masuk waktu liburan, tahun ini kita belum bisa kembali ke tanah air 'kan? Hanya bosan jika di rumah,” kilah Milea dengan cepat, matanya terpejam singkat berusaha mengusir pikiran-pikiran kotor di otaknya.
Julian meletakkan sumpit yang dipegang, memusatkan perhatiannya pada Milea. “Merindukan seseorang?” tanya Julian, lembut suaranya dengan tatapan yang begitu teduh.
Milea mengangkat pandangannya kemudian mengangguk. “Udah lama nggak ketemu Papa sama Mama, terakhir sebelum kita menikah. Huh, sekarang kau benar-benar sibuk,” jawab Milea tersenyum getir.
“Akhir tahun ada cuti cukup panjang, kita akan pulang nanti.”
“Tahun kemarin kau juga bilang seperti itu.” Senyuman Milea semakin getir, nasi yang hendak ditelan tiba-tiba tersangkut di tenggorokan tanpa bisa ditelan. Ia menggenggam sumpit di tangannya kuat-kuat lalu memutuskan bangkit. “Aku sudah kenyang, mau tidur dulu," ucapnya yang kemudian berlalu.
“Lea," panggil Julian namun tidak digubris sama sekali.
Julian menarik napas panjang, merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya, membuatnya sulit untuk bernafas.
***
Milea pura-pura sibuk dengan ponselnya saat melihat Julian masuk kamar, tak ada niat menyapa, melirik pun malas. Namun tetap saja ia tidak bisa mengabaikan, diam-diam mengambil kesempatan menatap Julian yang membersihkan diri lalu bergabung di ranjang bersamanya.
Milea langsung membuang muka begitu bersitatap, biar saja. Pria itu harus punya inisiatif membujuk bukan? Tapi apa yang ia harapkan, Julian justru mengambil buku kesayangannya dan membaca tanpa peduli dengan kekesalan yang ia rasakan.
“b******k!” maki Milea.
“Tidurlah, besok pagi aku ajak jalan-jalan," ucap Julian dengan mata yang fokus dengan buku di tangannya.
Milea mencibir malas, tanpa mengucapkan sepatah kata ia langsung meletakkan ponsel dan merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, membuka satu mata melihat Julian yang tengah fokus.
“Ya, ini waktunya aku membuktikan," ucap Milea dalam hati.
Milea merasa seperti ada seribu butir jarum yang menusuk-nusuk di perutnya, membuatnya ingin berlari dan bersembunyi, tetapi diam-diam matanya melirik ke arah bawah celana Julian. Tangannya tiba-tiba gemetar tetapi juga penasaran akan tuduhan yang dilontarkan Sisi tadi.
“Ah haruskah aku melakukan ini? Bagaimana kalau dia marah?” batin Milea berperang sendiri, antara maju atau tidak sudah berhasil membuat nyanyinya sangat ciut.
Setelah banyak pertimbangan Milea segera menarik dirinya, ia merapatkan tubuhnya ke arah Julian, dadanya menyentuh lengan pria itu. Jantungnya berdetak kencang, seperti ingin meledak keluar dari dadanya. Ia mencoba untuk tidak bernafas terlalu keras, tapi napasnya terasa seperti tercekik.
"Aku... aku mau minum," katanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Julian menipiskan bibirnya, matanya masih fokus pada buku di tangannya. "Aku ambilkan," katanya, mengulurkan tangan untuk mengambil air di sampingnya.
Tapi Milea tidak membiarkan. Dengan gerakan yang cepat, dia meremas kuat-kuat bagian keramat milik Julian. Pria itu terkejut, matanya melebar, dan gelas yang dipegangnya jatuh ke lantai.
Milea sendiri merasa tangannya gemetar, tapi dia tidak bisa menahan rasa penasaran. Dia merasakan sesuatu yang berbeda, merasakan jika benda keramat itu sempat tuing-tuing.
Julian merasa seperti ada api yang membara di dalam dirinya, membuatnya ingin menghancurkan sesuatu. Ia melirik Milea sangat tajam membuat nyali wanita itu ciut.
"Aku... aku akan tidur di kamar sebelah!" katanya, melepaskan tangannya dan menjauhkan diri secepat mungkin.
Julian memanggilnya, suaranya berat dan penuh amarah. "Milea, kembali kau!"
Tapi Milea sudah tidak bisa mendengarnya. Dia sudah berlari ke kamar sebelah, jantungnya masih berdetak kencang.
Bersambung~