BAB 3 - Pramesti

1302 Kata
Anggana sedang duduk di balik mejanya, di sebuah ruangan tertutup yang hanya boleh di masuki olehnya dan Padmana. Ruangan kerja ayahanda yang digunakan untuk mencari inspirasi hingga bisa menciptakan sebuah mesin waktu. Informasi dalam kitab, mesin waktu itu terletak di ujung bumi, artinya mesin itu tersimpan di negara bagian Norwegia, negara yang mendapatkan julukan sebagai ujung bumi. Langkah pertama yang akan ia lakukan adalah meminta saran dari salah satu ahli yang di kenalnya, sosok profesor yang selalu membuatnya mencintai ilmu tekhnologi dan sains. Dia juga akan membawa Bima ke sana, laki-laki itu selalu memiliki saran yang diterima akal dan logika. Anggana masih menengadahkan kepalanya di kursi ketika pintu di ketuk dari luar. “Masuk,” ucap Anggana tanpa merubah posisinya duduk. Laki-laki itu duduk dengan kepala yang menengadah menatap atap rumahnya yang tinggi sedangkan kakinya ia naikkan ke atas meja dihadapannya. Pintu terbuka setelah Anggana mempersilahkan tamunya untuk masuk, dari luar muncul sosok Padmana diikuti seorang gadis muda yang Anggana kenal, Pramesti. Pramesti adalah anak Padmana yang dulu merupakan teman masa kecilnya, walaupun tidak terlalu dekat, tetapi Anggana masih mengingat Pramesti dengan baik. Gadis itu sekarang sudah tumbuh dewasa, dengan penampilan yang cenderung tomboy tetapi rambutnya tergerai panjang dan bergelombang indah. Dari sekian kelebihan yang dimiliki Pramesti, adalah mata Pramesti yang sangat disukai Gana. Di dalam mata Pramesti, Gana bisa menemukan keteduhan dan keberanian dalam waktu yang bersamaan. “Kanjeng Denayu meminta saya membawa Pramesti ke Tuan.” “Untuk?” “Sebagai calon ibu dari penerus Wisnukancana.” Anggana bisa melihat wanita itu sedikit terkejut, tetapi kembali menundukan pandangannya, karena haram bagi abdi dan keturunannya untuk menatap Tuan Raja langsung. Anggana tidak pernah sekalipun mengenal wanita, karena menurutnya wanita itu begitu berisik dan merepotkan. Mungkin jika di buatkan silsilah, Pramesti adalah satu-satunya teman wanita yang dekat dengan Anggana, tetapi itu waktu mereka masih kecil. Setelah tumbuh dewasa, Anggana dan Pramesti jarang bermain lagi, mereka sudah tidak satu frekuensi. “Apa tidak ada pilihan lain?” tanya Anggana. Laki-laki itu menatap Pramesti dari ujung kaki hingga ujung rambut, membayangkan anaknya yang akan lahir dari rahim perempuan itu. “Maafkan Tuanku, anda bisa langsung menyatakan keberatan dengan Kanjeng Denayu.” Anggana mendengus sebal, sebenarnya bukan dia keberatan, hanya saja dia terlalu aneh jika harus melakukan ‘itu’ dengan teman kecilnya. Anggana tidak pernah memiliki kriteria fisik bagaimana pasangannya kelak, tetapi yang jelas dia harus cerdas dan berpendidikan, dan syarat itu pasti sudah di miliki oleh Pramesti karena dia adalah pilihan Ibundanya. Tidak mungkin ibundanya memilih dengan cara asal. “Tidak perlu, aku menerima Pramesti.” “Baik Tuanku,” ucap Padmana. Padmana terlihat menarik tangan Pramesti untuk pergi, tetapi Anggana bisa melihat keengganan dari Pramesti yang masih berdiri dengan kaku. “Ada yang ingin kamu sampaikan Pramesti?” Wanita itu terlihat menatap ke arah Anggana lalu menunduk ketika menyadari kelancangannya. Ada penolakan dari Pramesti, terlihat dari gestur tubuh dan wajahnya yang kurang ikhlas dengan keputusan ini. “Sa ... saya -.“ “Padmana kamu bisa pergi, tinggalkan aku berdua hanya dengan Pramesti,” titah Anggana. Padmana mengangguk, langsung melakukan apa yang Anggana titahkan. Saat ini hanya tinggal mereka berdua di dalam ruangan ini. Ruangan yang cukup luas untuk bernafas lega, tetapi entah mengapa Anggana sedikit kesulitan untuk melakukan hal itu. Anggana mendekat ke arah Pramesti yang menunduk malu, ketika jarak semakin terkikis, tangan Anggana mengangkat dagu Pramesti untuk menatapnya langsung. “Katakan.” “Tuan bisa memilih wanita lain jika keberatan dengan saya.” “Aku tidak pernah mengatakan keberatanku.” Pramesti menatap Anggana dengan tatapan sinis, sangat berbeda dengan apa yang diperlihatkannya saat berada di hadapan Padmana. “Tetapi tadi Tuan menanyakan apakah ada pilihan lain? Selain saya.” “Menurutku, itu bukan merupakan kalimat keberatan,” jawab Anggana dengan wajah datar dan dingin. Senyum miring Anggana perlihatkan di hadapan wajah Pramesti yang terlihat memerah. “Saya mau di nikahi, sebagai istri.” Senyum tercetak jelas di wajah rupawan milik Anggana, yang Anggana yakini membuat Pramesti tersipu malu dan memaksa wanita itu kembali menunduk. “Aku sudah memintamu untuk menatapku, jangan menunduk.” “Maaf Tuan.” Anggana menjauhi Pramesti, berdiri di balik jendela kaca yang langsung mengarah ke taman. Pandangannya jauh menatap kosong ke arah taman, pikirannya mencoba mencari-cari jawaban untuk permintaan Pramesti. “Apa kamu bersiap untuk menjadi janda jika aku mati?” tanya Anggana tanpa mengalihkan pandangannya. “Saya akan selalu berdoa Paduka Raja sehat selalu dan diberikan keselamatan dimanapun Paduka berada.” “Kamu tidak menjawab pertanyaanku Pramesti.” “Saya siap, apapun yang akan terjadi kedepannya.” Senyum tipis kembali tercetak di wajah Anggana. Perasaan lega menyelimuti hatinya. Anggana yakin, Pramesti adalah wanita yang tepat untuk meneruskan keturunan Wisnukancana. “Aku harap kamu bisa menepti janjimu, berada di sisiku hingga aku mati, atau sampai aku sendiri yang memintamu untuk pergi.” Anggana yakin kalimat itu mungkin bisa melukai hati Pramesti, tetapi dia tetap harus menjelaskan beberapa batasan dan keputusan yang mungkin bisa saja di ambilnya suatu hari nanti. Pramesti hanyalah wanita yang dipilih ibunya untuk melahirkan keturunan Wisnukancana, bukan seseorang yang memiliki hati dan jiwa Anggana. Pramesti tidak punya pilihan, karena sebagai anak dari seorang Abdi yang memberikan hidupnya kepada turunan kerajaan, Pramesti memiliki porsi yang sama untuk memberikan hidupnya hanya untuk Paduka Raja. Sama seperti Anggana yang tidak bisa memilih garis keturunan yang sudah di takdirkan untuknya, Pramesti memiliki garis takdir yang tidak bisa ia putus begitu saja. Anggana kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Pramesti yang kembali menunduk. Kebisuannya menunjukkan protes dari keputusan sepihak Anggana, tetapi Anggana yakin wanita itu tidak akan pernah mengucapkan keberatannya. “Ba ... baik Tuan.” Anggana kembali membawa pandangan Pramesti ke arahnya. Lama mereka bersitatap lalu wanita itu memilih untuk memejamkan matanya. Kesempatan yang di manfaatkan Anggana untuk menelisik setiap garis wajah wanita yang akan menjadi istrinya sesegera mungkin. Lama menatap, Anggana semakin larut dalam pesona Pramesti yang lugu, bibir yang merah merona, wajah yang mulus terawat. Dengan penuh kepastian, Anggana mendekatkan wajahnya dan mempertemukan bibir mereka. Awalnya pertemuan bibir itu hanya sekilas, namun kemudian semakin menuntut ketika Anggana seperti sedang ingin mendapatkan lebih. Laki-laki itu menyecap, bahkan tangannya sengaja ia lilitkan ke tubuh Pramesti agar wanita itu tidak bergerak melawan. Ada dorongan kuat dari tangan Pramesti yang memaksa Anggana melepaskan tubuh wanita itu. Namun tentu kekuatan Pramesti tidak sebanding dengan kekuatan Anggana. Laki-laki itu menahan tangan Pramesti di belakang tubuhnya, lalu hendak kembali mencium bibir Pramesti. Pramesti masih menolak, kepala wanita itu menoleh, menolak setiap ciuman yang dituntut Anggana. Anggana menyerah, melepaskan belitan tangannya dan menatap Pramesti dengan tatapan marah. Di dalam hidupnya, tidak pernah ada yang menolak keinginannya terlebih itu datang dari keluarga seorang abdi. Pramesti duduk bersimpuh di hadapan Anggana dengan tatapan takut. “Saya minta maaf, hanya saja ini terlalu cepat.” Anggana tersenyum, mencoba memahami posisi Pramesti. Mungkin dirinya juga yang terlalu terburu-buru. Entah kenapa, Anggana merasa tertarik dengan bibir ranum milik Pramesti. “Baiklah, tetapi persiapkan dirimu untuk itu.” Anggana kembali duduk di kursi singgasananya, masih menatap Pramesti yang tidak mengubah posisinya. “Kamu bisa pergi Pramesti, dan persiapkan dirimu untuk pernikahan kita dan perjalanan kita ke Norwegia.” “Baik Tuan.” Seperti seorang tahanan yang di bebaskan, Pramesti langsung beranjak keluar dengan terburu-buru, seperti ingin sesegera mungkin keluar dari dalam ruangan ini. Hal yang mampu membuat Anggana kembali tersenyum dengan tingkah lucu Pramesti. Anggana kembali membuka kitab yang di berikan ayahandanya, dan menekuni tulisan-tulisan rapi yang menggambarkan kehidupan kerajaan Kalingga Danuwara. Sebelum ke masa itu, Anggana harus menyesuaikan beberapa kehidupan yang pasti sangat jauh berbeda dengan kehidupannya saat ini. Tentang silsilah kerajaan, tentang sumber kehidupan rakyatnya dan berbagai macam ketentuan-ketentuan di masa itu. Bait demi bait, lembar demi lembar Anggana habiskan dalam waktu yang cukup lama. Untuk saat ini ia merasa memiliki cukup bekal untuk kembali ke masa itu, Anggana sudah siap, sangat siap untuk memperjuangkan kehidupan baginya dan keturunannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN