BAB 2 - Fakta

1153 Kata
Anggana masih tertegun menatap ke arah asal, sedangkan ibunya masih tetap mempertahankan kebisuannya. Mereka berdua hanyut dalam pikiran masing-masing. Denayu pun sebenarnya sedang memberikan waktu untuk buah hatinya menerima takdir yang sudah di gariskan dalam hidupnya. “Apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan kutukan itu?” “Kutukan akan hilang ketika kalimat itu dicabut dari sang empunya. Sedangkan kita tahu sendiri bahwa kutukan itu terjadi di masa silam saat Maharaja masih hidup, dan sekarang ini Maharaja sudah tidak ada di dunia,” jelas Denayu. “Tidak ada yang bisa menghentikan kutukan itu kecuali jika kita bisa pergi ke masa lalu dan menghentikan perang saudara waktu itu.” “...” “Artinya, kita tidak mungkin mengubah takdir Anggana.” Anggana menatap nanar ke arah ibundanya yang tentu merasakan sakit yang sama. Sebagai wanita, ibunda harus rela kehilangan waktu bersama ayahanda karena kematiannya, sedangkan saat ini ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa anaknya akan ikut meninggalkannya di usia yang sama. Terlalu cepat, dan terlalu tidak adil untuk dirinya dan ibundanya. “Jadi selama ini, tidak ada yang berniat mencari tahu cara menghentikan kutukannya bu?” “Semua sudah dilakukan, sejak dulu, tetapi hasilnya nihil.” Denayu menyerahkan kitab yang sebelumnya terletak di meja, kitab yang cukup tebal berwarna coklat dan terlihat usang. Tangannya menyodorkan kitab itu untuk mendapatkan perhatian dari Anaknya yang terlihat muram. Tentu kenyataannya ini begitu menyakitkan untuk diterima dengan lapang d**a. “Ini apa?” “Kitab yang berisi catatan dari nenek moyangmu, tentang apa yang sudah mereka lakukan, tentang beberapa sains yang coba mereka gunakan,” jelas Denayu. “Di akhir kitab, itu adalah catatan ayahandamu, disana tertulis bahwa ayahanda sedang mengembangkan sebuah mesin waktu untuk bisa membawa manusia kembali ke masa lampau.” “Ayahanda yang membuat?” Denayu mengangguk, “Tetapi belum sempurna, oleh karena itu ayahanda berpesan untuk memfokuskan Anggana belajar tentang sains, fisika dan cahaya, karena ayahanda yakin dengan foton kecepatan cahaya, dia bisa membawa sebuah objek ke masa lampau, termasuk manusia.” Anggana mengambil kitab yang terletak di meja, membawanya ke pangkuan. Kitab yang cukup berat jika harus dipelajari dalam satu hari, tetapi Anggana yakin dia masih memiliki banyak waktu untuk membaca kitab itu hingga selesai. Dia harus melanjutkan mimpi sang ayah untuk menggugurkan kutukan Maharaja Kanugara. Tak perlu menunggu waktu lama, Anggara berpamitan kepada ibundanya. Dia harus pergi menemui seseorang. Anggana mengendarai mobil sendiri membelah kota Jakarta yang terasa panas siang ini. Melajukan mobil cukup kencang karena inginnya melawan suratan takdir yang di tuliskan untuknya. Dia membawa mobilnya ke arah sebuah kos-kosan kecil yang terletak di salah satu gang kumuh di kawasan Jakarta. Tangannya mengambil handphone yang berada di sakunya, lalu menghubungi seseorang. “Bim, aku ada di depan.” Tak menunggu waktu lama, sahabatnya Bima sudah berada di dalam mobil yang sama dengan dirinya. Dengan wajah yang kesal karena dia baru saja tidur setelah semalam menghabiskan waktunya untuk membaca buku. “Kenapa to? Ganggu orang tidur saja.” Anggana mengabaikan wajah mawah sahabatnya, dia langsung memberikan kitab yang sebelumnya di berikan ibunya di pangkuan Bima. “Apa ini?” “Kitab.” “Ya aku tahu, tetapi kitab tentang apa?” “Tentang nenek moyangku, tentang garis keturunan yang mengalir di dalam darahku.” “Bisa kamu jelaskan lebih?” tanya Bima tidak mengerti. Laki-laki itu terlihat membenahi kacamatanya yang sedikit melorot, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke arah Anggana. “Hari ini aku ulang tahun, dan ibundaku memberikan kado yang begitu luar biasa hebat yaitu tentang informasi darah yang mengalir dalam darahku, darah kutukan Wisnukancana.” “Kutukannya?” “Aku ndak akan hidup sampai jadi kakek, saat usiaku 30 tahun nadiku akan berhenti alias mati! Aku akan mati muda Bima, sialan memang.” Bima mulai memahami arah pembicaraan sahabatnya, walaupun masih ada beberapa informasi yang menurutnya di luar akal logikanya. Tetapi sebagai seorang indigo, memang hal itu sangat terbiasa terjadi di kehidupan nyata. Ada beberapa hal yang tidak bisa di tangkap akal manusia yang terbatas, karena ilmu dan dunia itu begitu luas. Ada berbagai macam makhluk dan ilmu yang hidup berdampingan sesuai porosnya masing-masing. Memang benar sulit diterima akal manusia, termasuk dirinya.. “Kamu inget ga Gan? Waktu pertama kali kita berkenalan? Itu karena aku ga bisa melihat masa depanmu.” Anggana mengangguk, pertemuannya dengan Bima sebelum menjadi sahabat memang di sengaja, atau lebih tepatnya Bima yang memang mendekat untuk mengenal Anggana lebih jauh. Setelah mereka cukup dekat, baru Bima menjelaskan itu semua karena Bima yang tidak bisa melihat masa depan Anggana yang buram. Semenjak itu Anggana juga menjelaskan tentang silsilah dirinya, siapa dirinya sebenarnya yang merupakan seorang keturunan Paduka Raja. Sosok yang tentunya memiliki jiwa murni, tak bisa di samakan dengan manusia biasa. “Itu artinya, masa depanmu masih buram, tak terlihat, itu artinya masih bisa dirubah.” Anggana menoleh ke arah Bima yang terlihat antusias dengan tatapan sebal. “Buram bukan karena belum jelas, tetapi bisa jadi karena aku tidak memiliki masa depan Bim! Kan aku mati tanpa bisa merasakan masa depan.” Bima menggeleng, “kalau mati itu hitam dan gelap, tetapi kamu buram, beda Gan.” Anggana mulai tertarik dengan apa yang diucapkan sahabatnya, ada harapan yang menyusupi hatinya, meskipun kecil Anggana akan menerima setiap harapan yang kemungkinan bisa terjadi. Harapanlah yang membuat manusia bisa tumbuh, harapan juga yang membuat manusia itu hidup. “Kamu tahu? Ayahandaku sebelum meninggal, mewariskan sebuah mesin waktu yang bisa membawa sebuah objek ke masa lampau, termasuk manusia.” “Waow.” “Kita bisa menemukannya disini,” ucap Anggana sambil menunjuk ke arah kitab yang berada di pangkuan Bima. “Rencanamu sekarang apa, Gan?” “Kita cari mesin waktu itu, dan kita sempurnakan, bagaimana?” “Dengan pasti aku akan bilang ‘Ya’, selain karena ini seperti sebuah tantangan tetapi di sisi lain aku juga tidak ingin melihat kamu mati muda, Gan! Masa kamu ga mau ngerasain apemnya perempuan?” “Sial kamu, ngeres aja,” ucap Anggana dengan marah tetapi justru mendapatkan kekehan dari Bima yang tak kunjung berhenti. “Oh ya satu lagi.” “Apa?” “Aku juga harus segera memberikan keturunan Wisnukancana sebelum mencoba misi bunuh diri masuk ke dalam mesin waktu.” “Kamu mau nikah?” “Ga perlu nikah untuk dapat keturunan, yang terpenting adalah melakukan ‘itu’, dan yang jelas harus ada perempuannya.” “Minta cariin ibumu saja, kalau masalah perempuan kita noob kawan.” Anggana mengangguk. Dia setuju dengan pendapat Bima, untuk urusan perempuan dia dan Bima sama sekali tidak berpengalaman. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama untuk membahas tentang penelitian dan ilmu pengetahuan, serta hal-hal ghoib yang sering di kait-kaitkan Bima. Selain itu, selama di kampus, Bima dan Anggana lebih sering menjadi orang yang tidak terlihat. Bahkan dulu Anggana tidak hadir saat wisuda Sarjana karena tidak mau menjadi perhatian. “Kira-kira kriteria fisik yang kamu cari gimana, Gan?” celetuk Bima. Anggana terlihat berfikir, lalu tersenyum aneh. “Yang jelas punya apem dan melon,” jawabnya dengan tawa yang renyah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN