6~ Teringat kembali

730 Kata
"Saya tidak tahu, Pak. Mungkin Bapak bisa tanyakan langsung pada orngnya." Adam mengangkat bahu. "Ngomong-ngomong, Bapak jangan lupa dengan surat-surat mobil ini. Mobil lama saya mau saya kasih ke orang tua saya." "Kamu urus aja," sahut Ervan kemudian turun dari kendaraan. Lebih tertarik untuk mengetahui tujuan kedatangan tamu yang sedang menunggu di teras rumah. "Aku pikir kamu sudah pergi jauh, Olivia," ujar dingin Ervan. Sang tamu yang merupakan seorang wanita, segera bangkit dari duduk. "Tadinya. Tapi aku ingat Sagara. Dia pasti butuh ASI." "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Lagi pula sudah terlambat. Sagara sudah mendapatkan apa yang dia butuhkan," balas Ervan. "Apa maksud kamu, Mas?" "Maaf, Pak. ASI-nya mau di simpan di mana?" Adam muncul dengan membawa tempat berisi ASI perah dari Aluna tadi. "Kasih mama saya aja." "Baik, Pak." Adam berlalu. "Apa itu, Mas? Kamu kasih anak kita ASI sembarangan. Bagaimana kalau—" "Aku tau apa yang aku lakukan," potong Ervan, "dan satu lagi. Anakku. Sagara adalah anakku. Bukan anak kita. Kamu lupa dengan perjanjian kita?" Olivia diam sesaat sebelum akhirnya kembali bicara. "Aku cuma khawatir. Selama satu bulan ini Sagara minum ASI-ku. Apa dia akan suka ASI orang lain? Belum tentu 'kan?" "Tidak perlu kamu pikirkan. Kalaupun dia gak cocok dengan ASI baru, aku bisa mencari donor yang lain. Pergilah. Semuanya sudah selesai dan kamu juga sudah mendapatkan apa yang kamu mau," usir Ervan kemudian berlalu meninggalkan Olivia di depan rumah. "Aku masih istri kamu, Mas! Aku cuma pengen ketemu Sagara sebelum aku pergi," teriak wanita itu. Ervan abai. Tetap meninggalkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut. Olivia menatap jengkel. Apa salahnya jika seorang ibu ingin bertemu anaknya? "Adam!" panggilnya ketika pemuda itu keluar. "Iya, Bu?" "Tadi itu yang kamu bawa ASI dari mana?" "Kalau soal itu, Pak Ervan yang lebih tahu." "Kamu juga pasti tahu. Tidak mungkin tidak tahu. Saya cuma mau tau dari mana ASI itu berasal biar saya bisa pastikan kualitas ASI-nya" balas Olivia. "Ibu bisa tanyakan langsung pada Pak Ervan. Permisi." Adam terlalu tanpa menunggu jawaban wanita itu "Argh! Mereka sama saja. Sebelas dua belas." Olivia mengerang kesal kemudian berlalu. Percuma tetap di sana. Tahu bagaimana keras kepalanya pria itu. Sementara itu, "Kamu dapat ASI ini dari mana?" tanya Yeni. Baru selesai menyimpan ASI perah di dalam lemari pendingin. "Aku dapat donor ASI, Ma," jawab Ervan, "Saga tidur?" "Enggak. Dia baru selesai minum.ASI terakhir ibunya. Tadi waktu mama tinggal, dia lagi main. Gimana dengan Oliv?" "Apanya yang gimana?" Ervan balik bertanya. "Apa kamu ketemu sama dia?" "Ketemu. Tapi udah aku suruh pergi." "Dia ibunya Saga." "Tapi dia sendiri yang gak mau mengakui bahkan memilih pergi dengan laki-laki itu. Untuk apa dia datang lagi ke sini?" balas Ervan, "aku mau lihat Saga." Berlalu kemudian. Yeni menghela napas panjang sambil menatap punggung putranya yang semakin menjauh. *** Aluna duduk sambil menatap foto dirinya bersama anak dan suami. Sudut matanya mulai berair mengingat dua orang terkasih yang tak bisa lagi ia dekap erat. Terisak seraya memeluk foto berbingkai itu. "Ibu kangen sama Nayla." Suara lirih Aluna terdengar berat. Rasa rindu begitu menyiksa. Membuatnya terperangkap dalam kesendirian. "Kenapa harus aku? Kenapa harus anak dan suamiku?" Rasa marah pada takdir kembali mendera. Perasaan tidak adil atas kehilangan yang datang mendadak, tanpa permisi, tanpa aba-aba. Dunianya jungkir balik dalam sekejap. "Luna!" Nina membuka pintu kamar dan langsung menghampiri. Aluna semakin terisak sambil memeluk erat figura foto. "Sudah ibu bilang, simpan dulu fotonya sampai kamu siap dan bisa menerima kehilangan. Jangan seperti ini, Nak." Nina lupa meninggalkan anaknya sendiri tadi, sementara ia menemui tamu yang masih berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Aluna masih saja menangis tersedu. Suaranya terdengar begitu menyayat hati. Nina mengusap punggung putrinya. Ia lengah, mengira sang anak sudah lebih baik, tetapi ternyata itu hanya topeng. "Sini, biar ibu simpan fotonya." Nina mengambil foto itu dari tangan sang anak. Aluna tidak membantah. Di satu sisi, ia ingin tetap mengingat anak dan suami. Tetapi di sisi lain, rasa kehilangan begitu menyakitkan hingga rasanya tidak sanggup ia hadapi. "Sudah, Sayang. Ikhlaskan. Jalan hidup kamu masih panjang. Jangan begini. Kamu punya anak lain yang harus kamu beri kehidupan meski dia bukan anak kamu sendiri." Aluna bergeming. Isak tangis masih terdengar. Haruskah ia peduli pada orang lain? Sementara waktu terus berjalan tanpa memperdulikan penderitaannya. Tok! Tok! Tok! "Boleh masuk?" Nina menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. "Masuklah. Temani Luna. Ibu mau ke depan dulu." Berlalu sambil membawa figura foto.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN