bc

TIME

book_age18+
116
IKUTI
1K
BACA
friends to lovers
CEO
drama
sweet
humorous
genius
campus
highschool
coming of age
first love
like
intro-logo
Uraian

Waktu memang bisa menjadi obat dan bisa menjadi luka di satu kondisi tertentu. Seperti yang Raka rasakan, dia terluka dan diobati oleh waktu, namun hal itu tidak membuat dia terus merasa waktu adalah obat untuknya. Luka hatinya yang terbuka lebar sembuh dengan seiring berjalannya waktu, namun dia juga kembali terluka di saat waktu sudah menyembuhkannya. Permainan hati dan waktu tidak pernah membuat Raka terlihat sangat mudah menjalaninya, batu terjal selalu mengelilingi jalannya. Lahir dan besar dengan keluarga yang terpandang pun tidak membuat dia merasa mudah menjalani hidupnya. Selalu ada luka yang datang dan terobati oleh waktu. Terlebih saat dia mulai mengenal cinta, yah mencintai dan disakiti seolah menjadi hal biasa yang harus dihadapi Raka. Akankah Raka bisa menjalaninya? Akankan Raka bisa mengobati luka hati yang silih berganti mengganggu jalan hidupnya?

Cover by: Noisa_art

IG: lamiace_v

FB: Lavendulaaa

All Account: Lavendulaaa

chap-preview
Pratinjau gratis
Mau Lanjut ke Mana?
Raka da Costa, pria muda tampan yang cukup terkenal sejak dia kecil. Kepintarannya mampu membuat dia sangat terkenal seantero sekolah. Sama halnya dengan saat ini, pria itu tengah mengikuti olimpiade. Saat menunggu pengumuman, Raka menghampiri kedua orang tuanya yang setia memberi dukungan bersama adik kembarnya. Setiap ada olimpiade yang dia ikuti, kedua orang tuanya, terlebih ayahnya selalu mengambil cuti untuk menemani dirinya dan memberikan dukungan secara langsung. Raka tersenyum saat adik perempuannya memanggilnya dan berlari ke arahnya. Perbedaan umur tujuh tahun tidak membuat jarak mereka jauh, mereka justru saling sayang dan adiknya itu jauh lebih manja padanya. “Kakak, Kakak sudah selesai ujiannya?” tanya Niana da Costa, anak perempuan satu-satunya di keluarga da Costa. “Sudah, tapi harus tunggu pengumuman dulu. Adik kenapa?” balas Raka yang menggenggam tangannya dan mengajak kembali ke tempat kedua orang tuanya menunggu bersama kembaran Ana, Nizam da Costa. “Ana mau main sama Kakak di mal. Papa sama Mama kasih izin, tapi kalau Kakak sudah selesai ujiannya,” kata Ana pada kakaknya itu. “Lancar, Kak?” tanya ibunya saat Raka duduk di samping wanita yang melahirkannya itu. “Alhamdulillah, Ma. Lancar. Tinggal tunggu pengumuman. Mama capek?” balas Raka yang memeluk pinggang ibunya. “Enggak, Mama sama Papa sudah deg-degan tunggu kamu, Kak.” Sebagai orang tua jelas baik ibu atau ayahnya ikut berdebar saat anaknya menjalani masa yang mendebarkan. Farina Azzalea dan Arlan da Costa, mereka adalah pasangan suami istri yang memang sangat terlihat harmonis hingga usia pernikahan mereka yang saat ini berjalan enam belas tahun. Bukan hal mudah untuk keduanya, terlebih untuk Raka yang sudah tahu beratnya kedua orang tuanya melalui hari-hari yang dilihat orang sangat romantis, nyatanya sempat ikut menyakiti hatinya. “Mama mau ketemu sama Tante Reyna, apa kamu mau ikut besok, Kak?” tanya Arlan saat anaknya melepaskan letihnya dengan bersandar pada bahu Farin. “Apa Tante Rey akan baik-baik aja lihat aku? Tante Rey sering mengingat anaknya kalau lihat aku. Pasti sedih jadi Tante Rey yang kehilangan anak pertamanya,” jawab Raka. “Enggak ada perpisahan yang tidak menyakitkan, Kak. Terlebih beda alam. Kamu sendiri sudah tahu tentang Mama dan Papa, jadi kamu tahu bagaimana sakitnya kehilangan,” sahut Farin. “Karena itu, Mama sama Papa jangan capek-capek ya. Mama juga di rumah jangan buat apa-apa. Aku enggak masalah makan apapun yang Mama masak, sekalipun itu cuma telor atau nugget, Ma.” Raka memeluk erat pinggang ibunya dengan limpahan kasih sayang yang sangat besar. “Papa, lihat Ana!” kata Icam saat melihat saudara kembarnya yang berjalan sendiri menjauh membuat Raka melepaskan pelukannya pada Farin dan mengejar adiknya yang mengikuti seekor kucing. “Kakak buang kamu, kalau pergi enggak pamit,” kata Raka yang membawa adiknya kembali ke tempat kedua orang tuanya. “Papa, Kakak mau buang aku!” keluh Ana memeluk ayahnya. “Biar. Kamu yang salah kok. Kakak itu sudah capek, jadi jangan dibuat kejar-kejar kamu,” kata Arlan yang membalas pelukan Ana dengan erat. “Kakak mau lanjut SMA di mana?” tanya Farin yang ingin mendengar keputusan akhir anaknya yang sering mereka bicarakan. Tahun ini merupakan tahun terakhir Raka di SMP. Raka selalu memiliki kebebasan untuk memilih sekolah mana yang akan dia masuki dengan pertimbangan yang sangat mantap dari dirinya sendiri. Dia hanya tinggal mengatakan kepada kedua orang tuanya dan mendengar masukan dari kedua orang tuanya tentang pilihannya. “Aku belum tahu, Ma. Aku sangat bingung. Aku mau masuk yang Internasional, tapi apa aku bisa ya, Ma? Aku mau kuliah di luar negeri, Ma.” Raka menghela napas panjang saat mengatakannya. “Papa bantu cari referensi buat kamu pilih sekolah di mana. Papa enggak masalah kamu sekolah manapun, selama itu sesuai sama niat dan minat kamu, Papa yakin kamu akan menjalaninya dengan benar,” sahut Arlan. “Papa enggak masalah kalau aku mau lanjut ke luar negeri?” tanya Raka. “Sejak dulu Papa sering bilang bukan, kalau kamu mau kaya Mama yang lanjut di luar negeri, Papa enggak masalah, selama kamu serius sama mimpimu dan bisa mewujudkan satu persatu mimpimu. Papa sama Mama akan kasih kamu dukungan penuh,” jawab Arlan. “Kalau sejak SMA?” tanya Raka. “Boleh, tapi kamu mantapkan. Yakin mau sejak SMA di luar negeri? Usia SMA masih berada di tahap pendewasaan, Kak. Papa bisa lepaskan kamu, kalau niat kamu memang untuk pendidikan kamu. Tapi, yang Papa khawatirkan adalah pertumbuhan kamu di sana. Pergaulan kamu di sana, Papa dan Mama enggak akan se-intens di sini menjelaskan apa yang yang menjadi hal yang kadang buat kamu penasaran,” jawab Arlan. “Ya sudah, aku mau berpikir dulu lanjut di mana,” kata Raka. *** Teriakan Ana di depan kamar Raka mampu membuat pria itu menggeliat dan mendengkus kesal, meski dia tidak benar-benar mengumpat karena adik perempuannya itu. Tidurnya terganggu karena adiknya itu sudah membangunkannya di depan pintu. Keluarga Raka selalu membiasakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk, namun Ana berbeda. Jika dia mengetuk pintu tidak ada jawaban, dia akan berteriak, bukannya masuk perlahan seperti Icam dan kedua orang tuanya. “Ada apa, Ana? Kakak masih capek, kemarin Kakak habis try out,” kata Raka yang membuka pintu kamarnya. “Mama panggil di bawah. Ditunggu buat sarapan, Kakak suruh mandi dulu, kalau bangun tidur,” kata Ana seolah tidak memiliki salah. “Iya, Kakak turun habis ini. Kakak mandi dulu,” balas Raka sebelum masuk kembali ke kamarnya. “Kakak!” Suara Ana membuatnya mengurungkan niat untuk membalikkan badannya. “Kakak enggak cium pipi Ana dulu,” ucap Ana mengerucutkan bibirnya. “Selamat pagi, Ana.” Raka mengucapkannya dan mengecup pipi adiknya dengan gemas. “Selamat pagi, Kakak. Ana tunggu di bawah ya. Dadah!” Ana meninggalkan kamar Raka dan pria itu hanya menggelengkan kepalanya melihat adiknya yang sangat lucu meski kini usianya sudah menginjak delapan tahun. Raka kembali masuk dan melakukan apa yang diminta adiknya sebelum keluarganya menunggu semakin lama. Dirinya segera mengganti baju dan turun ke bawah melihat adiknya yang sedang saling mengadu tentang kebiasaan masing-masing di sekolah. Sementara mereka ribut dengan saling mengadu, Arlan dan Farin malah mendengarkan dengan saksama di mana dua anaknya tidak ingin menerima kesalahan masing-masing. “Selamat pagi, Mama,” sapa Raka yang mengecup pipi Farin dengan lembut. Kebiasaan yang tidak pernah hilang sejak dulu dan mengakibatkan menurun ke Ana. “Selamat pagi, Kak. Duduk, Kak,” balas Farin yang juga menyuruh anaknya untuk duduk di sampingnya. Raka juga menyapa Icam dan Arlan bergantian. Dua anak kecil itu diam saat Arlan mengatakan untuk diam sejenak dan makan. Bibir Ana masih mengerucut imut di samping Icam yang memasang wajah datarnya. Farin membagikan satu persatu makanan ke anggota keluarganya. Semua selalu mengucap terima kasih saat menerima makanan dari Farin. “Mereka kenapa, Pa?” tanya Raka yang melihat dua adiknya saling mendiamkan. “Biasa, Kak. Menurut Ana, Icam enggak mau kasih ajar dia apa yang dia enggak tahu, tapi Icam menolak dan bilang kalau Ana enggak pernah minta ajar sama dia,” jawab Arlan. “Kalian bertengkar?” tanya Raka pada dua adiknya. “Iya/Enggak” Ana dan Icam menjawab bersamaan dengan dua jawaban yang berbeda. Kedua saling menoleh dan Ana melotot garang pada Icam. “Ana itu marah sama Icam!” keluh Ana. “Oh!” Icam mengalihkan pandangannya dan melihat kakaknya kembali. “Berarti bertengkar,” kata Icam meralat jawabannya. Raka mengerjapkan matanya dan tidak bisa berkata-kata dengan tingkah adik-adiknya. Farin pun menyuruh anak-anaknya untuk makan terlebih dahulu daripada harus bertengkar tidak jelas. Semua menurut dan kembali diam. Bersambung ...

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.3K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.4K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.0K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
38.1K
bc

My Secret Little Wife

read
131.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook