Raka baru saja selesai bersiap untuk ke sekolah. Semalam dia terpaksa kembali ke rumahnya untuk mengambil seragam bersama Arlan yang setia mengantarnya. Tidak lupa dia juga mengambilkan seragam adiknya yang sudah bawel karena tidak ingin ikut, tapi ingin mengambil seragam.
Raka merapikan bajunya sebentar dan melihat dirinya di pantulan cermin. Pintu kamarnya sudah diketuk dari depan, sudah pasti itu adiknya. Gadis kecil paling bawel yang sangat dia sayang. Teriakan And membuat Raka segera keluar dari kamarnya.
“Adik, Yangti sakit. Kok teriak-teriak sih?” keluh Raka.
“Kakak lama,” kata Ana membuat Raka menghela napas panjangnya.
Tidak hanya Raka yang keluar dari kamar, Arlan pun langsung keluar saat bersiap ke kantor. Dia melihat gadis kecilnya mengerucut di depan Raka. Arlan pun menyuruh Raka menyelesaikan kegiatannya dan dia membawa Ana ke bawah.
“Adik tahu enggak, kenapa kita ada di rumah Yangti?” tanya Arlan.
“Karena Yangti sakit,” jawab Ana.
“Kalau tahu Yangti sakit, kenapa Adik teriak-teriak? Eum?” tanya Arlan.
“Aku enggak punya teman. Icam ikut Mama belanja sebentar, padahal sudah ganti baju sama aku. Papa tadi masih mandi, Kak Lani sama Kakak juga belum selesai. Yangti enggak boleh diganggu, aku jadi sendirian, Papa.” Ana mengatakan alasan dirinya berteriak pagi ini.
“Harusnya Adik masuk aja ke kamar Kakak, enggak usah teriak-teriak.” Raka mengatakannya saat turun dan membawa tasnya.
“Kenapa Adik enggak ikut Mama? Paling juga cuma ke warung sebelah, Dik.” Arlan tanya pada anaknya.
“Mama sudah bilang, enggak boleh beli jajan. Jadi, nanti aku enggak bisa beli jajan, Papa.” Ana mengerucut di depan ayahnya yang duduk di sofa.
“Ya sudah, Adik tasnya mana?” tanya Arlan yang tidak melihat anaknya membawa tas kesayangannya.
“Itu, sama tas Icam.” Ana menunjuk dua tas yang sudah ada di sofa terlebih dahulu.
“Oke, Adik di sini sama Kakak dulu ya. Papa mau pakai sepatu dulu. Enggak boleh teriak-teriak lagi ya?” Arlan berpesan pada anaknya.
Ana menganggukkan kepalanya dan duduk di samping Raka yang yang mengambil cookies yang sudah diisi ulang oleh Farin. Dia menghidupkan TV sembari menunggu ayahnya siap dan sarapan bersama. Ana ikut menonton kartun yang Raka pilih.
Icam pulang bersama dengan Farin dan menyapa Ana yang ada di ruang keluarga bersama dengan Raka. Icam menyodorkan kue basah untuk Ana dan Raka. Melihat itu Raka langsung menerimanya dan mengucap terima kasih, tapi Ana tidak menerimanya.
“Kamu enggak mau?” tanya Icam.
“Kamu kok beli jajan? Kata Mama tadi, enggak boleh beli jajan.” Ana menahan tangisnya.
“Aku enggak beli, ini dikasih. Cuma tiga, ini punya kamu, itu punya Kakak, satunya punya Kak Lani,” kata Icam meluruskan tuduhan Ana.
“Kalau gitu punya kamu mana?” tanya Raka.
“Enggak ada. Aku sudah ikut Mama, jadi enggak usah,” kata Icam.
“Adik enggak lihat Icam? Dia enggak mau jajannya loh, padahal Adik sudah tuduh Icam beli jajan. Itu jajannya dikasih buat Adik,” ucap Raka pada Ana.
“Aku taruh ya. Dimakan, nanti dimakan semut kalau kamu enggak makan.” Icam menaruhnya ke meja.
“Kamu mau ke mana?” tanya Raka.
“Kak Lani. Ini ‘kan punya Kak Lani,” kata Icam.
Raka melihat adik laki-lakinya yang lebih mudah mengalah dan tidak banyak menuntut. Raka yang mengingat bagaimana masa kecil Icam yang lebih sering bersamanya membuat dirinya menjadi bangga melihat adiknya itu. Raka pernah memperjuangkan kasih sayang ayahnya untuk Icam, dia bahkan rela perang dingin dengan ayahnya demi Icam juga merasakan dekat dengan ayahnya.
“Langsung turun ya,” kata Raka yang langsung diangguki oleh Icam.
Icam berjalan ke tangga dan Raka menoleh ke adik perempuannya yang mencuri pandang ke arah kue basah yang saudara kembarnya tinggalkan. Ana menyembunyikan wajahnya saat melihat Raka menatap setiap aktivitasnya. Raka terkekeh melihat adiknya yang malu karena ketahuan menginginkan kue basah itu.
“Ambil aja, Icam sudah kasih buat kamu kok.” Raka membuka suaranya dan meminta adiknya mengambil kue yang sedari tadi ada di meja.
Tanpa diminta lagi, Ana turun dan mengambil kue yang ditinggalkan oleh Icam. Ana mulai membuka dan memakan kue basah yang ditinggalkan Icam. Raka menggelengkan kepalanya melihat Ana langsung memakannya.
“Enak?” tanya Icam yang berjalan turun sendiri. Icam melihat Ana yang hanya berdeham menjawabnya.
“Nih,” kata Raka memberikan kue yang Icam berikan padanya tadi.
“Kakak enggak mau?” tanya Icam pada Raka.
“Buat kamu aja, Kakak mau sarapan aja.” Raka menyodorkan kue basah pada Icam.
“Itu punya Kakak. Aku sudah kasih ke Kakak, enggak boleh diminta lagi tahu,” kata Icam.
“Ya sudah, bagi dua sini. Biar kamu juga merasakan apa yang Kakak makan,” kata Raka yang langsung membagi dua kue yang diberikan oleh Icam. “Kakak enggak terima penolakan,” lanjut Raka.
“Terima kasih,” balas Icam begitu menerimanya. Icam ikut duduk di samping Ana dan memakan kue yang Raka bagi dengannya.
***
Setelah selesai jam sekolah bagi anak kelas tiga yang berakhir lebih cepat, Raka, Welly dan Aldo masih berada di sekolah bersama dengan seorang gadis yang sibuk dengan laptop yang ada di pangkuannya. Sedangkan tiga pria yang ada dengannya malah bermain game seolah tidak memiliki dosa.
“Ini kamu suruh aku cepat buat revisi naskah, tapi kalian main terus,” kata gadis itu dengan wajah kesalnya.
“Kita juga berpikir tahu,” sahut Aldo.
“Mikir apa?” tanya gadis itu.
“Strategi buat menang dong, Neni.” Aldo membalas dengan diikuti tawa tengilnya.
“Ka, enggak ada niat bantu gitu?” tanya Neni pada Raka.
“Iya, maaf. Mana yang mau dibantu?” balas Raka yang menaruh HPnya.
Baru saja Raka pindah ke samping Neni, HPnya berbunyi dan panggilan dari ibunya masuk. Raka meraih HPnya dan segera mengangkatnya.
“Halo, Ma. Kenapa?” tanya Raka pada ibunya.
“Belum pulang, Kak?” balas Farin.
“Mama jemput aku?” bingung Raka yang tidak suka membuat ibunya menunggu.
“Enggak. Mama cuma mau ingatkan kamu, nanti pulangnya telepon Om Gilang aja ya. Papa ada lembur, Kak. Kamu pulang jam berapa?” Farin menanyakan jam pulang anaknya.
“Sebentar ya, Ma. Aku kerjakan naskah drama dulu sama anak-anak. Aku bisa pulang agak sore ya, Ma.” Raka pamit pada ibunya.
“Jangan sore-sore, Kak. Perjalanan sekolah Kakak ke rumah Yangti lumayan loh, nanti malah sampai waktu gelap.” Farin mengingatkan anaknya.
“Iya, Ma. Aku kerjakan dulu ya, biar cepat selesai dan bisa cepat pulang.” Raka mengatakannya sambil mengambil alih laptop Neni yang ada di pangkuan gadis itu.
Raka mematikan sambungan setelah mendengar ibunya pamit. Raka pun tidak lupa mengucapkan salam untuk Farin dan kembali menaruh HPnya. Dia menaruh laptop Neni ke lantai.
“Radiasi laptop enggak baik kalau terlalu lama kamu pangku, mending kamu taruh di lantai atau kalau mau kamu pangku, kasih bawahan.” Raka memberitahu Neni.
“Thank you, Ka.” Neni mengucap terima kasih atas informasi dari Raka.
Raka mulai membaca dan memeriksa tulisan Neni yang akan mereka jadikan naskah drama mereka. Raka memberikan laptop tersebut untuk kembali dilanjutkan oleh Neni.
“Sudah bagus, tinggal kamu pertajam konflik kita. Jangan sampai ada yang janggal di alurnya. Kita enggak akan totally ke pengucapan kita, jadi seenggaknya cerita dan penampilan kita yang visa jadi added value dari teman dan guru.” Raka mengomentari apa yang sudah dia baca.
Neni segera melakukan apa yang Raka bicarakan dan pria itu pamit ke kamar mandi. Suasana di area kelas mereka memang sepi, karena anak kelas tiga sudah langsung pulang saat diperbolehkan pulang. Raka yang ingin pulang, malah dilarang oleh Welly yang malah asyik sendiri.
Setelah cukup lama mereka tinggal di sekolah dan para adik kelas sedang bersiap untuk pulang, akhirnya Neni menyelesaikan semua. Raka membacanya kembali bersama dengan Aldo. Welly sendiri mendengarkan musik yang ingin dia jadikan backsound.
“Kirimkan ke emailku ya. Ini emailku, mumpung ada wifi sekolah,” kata Raka.
Neni segera mengirimnya dan Raka mengeceknya dari HP. Semua karena ajaran orang tuanya yang paling anti berbagi flashdisk yang akan membuat berbagai virus masuk dan membuat Farin akan mengomel karena ada virus di laptopnya atau laptop Raka sendiri.
“Oke, sudah masuk. Pulang aja deh. Sudah semakin sore,” kata Raka.
“Aku ke rumahmu,” kata Welly.
“Jam berapa?” balas Raka.
“Habis maghrib ya.” Welly mengatakannya dan Raka menganggukkan kepalanya.
“Aku di rumah Yangti. Nanti aku share location, ya.” Raka mengingatkan sahabatnya itu.
“Oke,”
Bersambung …