5. I Love You, Hana

1139 Kata
Suara kicauan burung di pagi hari membangunkan Damian dari tidur pulasnya. Ia menggeliat di atas ranjang sembari mengerjap beberapa kali lalu duduk di tepi ranjang. Ia mengambil ponselnya yang dayanya sudah terisi penuh, mencabut charger, dan menekan tombol power. Sambil menunggu ponselnya menyala, ia memutuskan untuk membersihkan dirinya. Lima belas menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh lebih segar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecilnya sambil membuka lemari dan mengambil seragam sekolahnya serta pakaian dalamnya. Setelah itu, ia menjemur handuk kecil yang sudah ia gunakan di tiang jemuran yang ada di balkon kamarnya. Setelah berpakaian, ia duduk sejenak di tepi ranjang dan membuka password ponselnya. Ia melihat beberapa pesan yang masuk, akan tetapi tak ada satu pun balasan dari Hana. Ia menghela napas. Namun, ia kembali bertekad untuk mengejar cinta gadis itu. "Damian, sarapan dulu, Nak!" Suara lembut sang ibu disertai ketukan pintu menyadarkannya. "Oke, Bunda!" sahutnya. *** Hana menikmati sarapannya dalam keadaan diam. Zayn, Evita, dan Marshal dibuat bingung dengan perubahan sikap gadis itu. "Putus sama pacar, ya?" celetuk Marshal. "Putus apaan? Jadian aja kagak!" sahut Hana. "Hah? Jadi anak cantik Mami ini mulai naksir cowok, ya?" goda Evita. Seketika wajah Hana merona. Matanya melirik tajam pada sang kakak yang kini puas menertawakannya. Sementara sang ayah hanya diam saja sembari menyeruput sisa kopi hitamnya. Hana segera menghabiskan roti bakarnya dan meminum s**u coklatnya yang tinggal setengah gelas. Setelah itu, ia mencuci piring dan gelasnya lalu menyimpannya di rak. "Mami, Papi, aku berangkat dulu, ya!" Hana berpamitan seraya mengecup punggung tangan mereka bergantian. "Tunggu Kakak bentar, Dek!" seru Marshal. "Aku naik ojek aja, Kak. Soalnya hari ini giliranku piket di kelas," timpal Hana. "Oh, gitu. Hati-hati aja, Dek!" Hana mengangguk lalu mengecup pipi kanan Marshal. Saat Hana membuka pintu, ia melihat Damian sudah menunggu di teras rumahnya dengan seulas senyuman hangat. "Hai!" "Eh, ha-hai!" jawab Hana gugup. "Ke-kenapa Kak Dami ada di sini pagi-pagi?" Hana menatap tak percaya pada Damian. "Kenapa? Rumahku kan searah sama rumahmu. Gak ada salahnya kan kalau aku jemput kamu," ungkap Damian. "Ta-tapi ... aku kan-" "Eh, Hana! Kirain kamu udah berangkat," sela Evita. Wanita paruh baya itu kemudian tersenyum ramah pada Damian. "Pagi, Tante! Saya Damian, seniornya Hana di sekolah," sapanya seraya mengulurkan tangannya. Evita menyambut tangan Damian. "Saya Evita, ibunya Hana. Ada apa ke mari?" tanyanya, ramah. "Saya mau jemput Hana, Tante." "Oh, jadi tukang ojek yang dimaksud Hana cowok ganteng ini?" goda Evita seraya menunjuk Damian. "Mami, aku malah gak tahu Kak Dami ada di sini!" ujar Hana apa adanya. Evita hanya menjawab dengan senyuman. "Ya sudah. Buruan ke sekolah sana!" "Iya, Tante. Kami pergi dulu. Assalamu 'alaikum!" ucap Damian. "Wa 'alaikumussalam." *** Hana menghela napas lega. Kelasnya sudah bersih karena ia dan tiga teman sekelasnya telah membersihkannya. Sembari menunggu jam pelajaran dimulai, Hana menyalakan pendingin udara lalu meneguk air mineral dingin yang diberikan oleh Gracia. "Thanks, Gracia!" ucap Hana. "Aku paham keadaanmu yang capek banget!" sahut Gracia. Tak lama gadis itu tersenyum menggoda. "Kamu jadian sama Kak Dami?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir tipis Gracia membuatnya tersedak. Mata mendelik pada gadis itu. "Kenapa? Perasaan pertanyaanku gak salah!" ucap Gracia, santai. "Situasinya yang salah. Kamu bertanya di saat aku lagi minum!" sahut Hana, geram. Bagaimana ia tak geram, sahabat cantiknya ini malah tersenyum seolah ia tak berucap apa pun. Suara bel berbunyi menghentikan aktivitas santai mereka. Beberapa siswa yang tadinya masih berada di luar kelas berbondong-bondong masuk ke dalam kelas disusul seorang wanita berusia tiga puluhan tahun dengan tinggi semampai serta kacamata yang ia gunakan. Guru Bahasa Inggris itu bersiap memulai pelajaran. "Na, kamu berutang penjelasan sama aku!" bisik Gracia. Hana tak menghiraukan Gracia yang kini mendengus kesal karenanya. *** Damian menghampiri Hana yang sedang asyik membaca buku sambil berdiri di samping salah satu rak buku. Karena terlalu fokus, gadis itu tak menyadari kehadirannya. "Dor!" "Astagfirullah!" pekik Hana. Ia menoleh ke belakang, melihat Damian yang tertawa. Untung saja buku yang ia pegang tidak terjatuh dan mengundang perhatian siswa lainnya. "Apaan sih, Kak! Bikin kaget orang aja!" Akhirnya Damian meredakan tawanya lalu mengacak gemas rambut Hana. "Maaf, ya! Kamu serius banget soalnya." Hana mendengus sebal dan kembali fokus pada buku yang ia pegang. Damian yang gemas dengan tingkah laku gadis itu mengecup pipi kirinya. Mata Hana membelalak. "Apa yang Kak Dami lakukan?" "Kenapa?" tanya Damian sembari tersenyum penuh arti. "Tadi itu-" "Anggap saja itu ciuman dari kekasihmu!" "A-apa! Sepertinya aku salah dengar," gumam Hana. "Kamu gak salah dengar, Hana." Damian menghela napas panjang seraya menggenggam tangan Hana yang tak memegang apa pun. Matanya menatap lekat kedua mata gadis itu. "Aku tahu kalau aku pengecut selama ini, Hana. Aku terlalu lama bersikap acuh tak acuh padahal hatiku menginginkan lebih. I love you, Hana. Aku mencintaimu," ucapnya, lirih. Tubuh Hana membeku, akan tetapi berbeda dengan hatinya yang seketika menghangat. Mungkin begini rasanya bila cinta kita terbalas. "Kak Dami, a-aku ... aku gak tahu harus bilang apa." Hana tertunduk. Matanya masih menatap tangannya yang digenggam erat oleh sang ketua OSIS. "Aku tahu kamu terkejut. Aku juga gak minta kamu membalas perasaanku. Yang penting kamu tahu kalau aku cinta sama kamu." Damian tersenyum. Hana menggeleng. "Aku juga cinta sama Kak Dami," cicitnya. Mata Damian terbelalak. Kedua tangannya menangkup wajah cantik Hana. "Kamu gak bercanda, kan?" Hana kembali menggeleng seraya tersenyum. "Aku gak bercanda, Kak." Damian memeluk erat Hana sembari tersenyum bahagia. "Terima kasih, Hana. Aku sayang kamu," bisiknya. "Kak, ini perpustakaan." Hana tak ingin membuat pengunjung lain merasa risih karena tingkah mereka. "Ups, maaf!" Damian terkekeh seraya melepaskan pelukannya dengan tak rela. "Mau ke kantin?" tanya Damian. Hana mengangguk. "Sebentar, aku melapor dulu ke Pak Raihan. Mau pinjam ini soalnya." "Oke, aku tunggu di luar, ya!" "Sip!" Damian meninggalkan Hana yang tengah menyerahkan kartu anggota perpustakaan. *** "Cie ... ada yang jadian nih!" celetuk Gracia yang duduk di samping Nino. "Apa sih!" sangkal Hana, akan tetapi wajahnya yang merona menunjukkan sebaliknya. "Eh, Dami malah ikutan salah tingkah nih!" Nino ikut menggoda sahabatnya. "Mana yang lain?" Damian mengalihkan pembicaraan karena tak ingin membuat Hana merasa tak nyaman. "Lagi di markas futsal. Mereka kan harus bimbing junior* kita," jawab Nino. Damian mengangguk lalu duduk di hadapan sepasang kekasih itu diikuti Hana. "Mau makan apa, Na?" tanya Damian. "Seperti biasanya aja, Kak." "Oke. Tunggu aku di sini, ya!" Hana menjawab dengan senyumannya. "Serius nih kalian jadian?" tanya Gracia. "Baru beberapa menit yang lalu," jawab Hana malu-malu. "Ah, Hana! Aku bahagia tahu gak!" Gracia bersorak seraya memegang kedua tangan sahabatnya. "Jangan berlebihan, Cia!" "Ah, gak sama sekali kok! Kalian tuh cocok. Pokoknya jangan hiraukan suara-suara sumbang yang bakal terdengar nanti! Mereka tuh iri karena yang Kak Dami pilih cuma kamu." "Apa yang Cia bilang benar, Hana. Dami orang yang gak pernah jatuh cinta sebelumnya. Dia tuh jomlo dari lahir. Jangan ragukan dia, ya!" Hana hanya bisa mengangguk, kemudian matanya melirik Damian yang membawa nampan dengan wajah tersenyum hanya untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN