6. Perlakuan Manis

1009 Kata
Hana tengah sibuk mencatat materi yang dijelaskan oleh guru bidang studi Biologi. Wajahnya terlihat serius karena fokus mendengarkan penjelasan guru tersebut. Sesekali ia harus meringis ketika ia menoleh pada Gracia yang terlelap dengan kepala berbantalkan kedua lengannya di atas meja. Sudah beberapa kali ia mencoba membangunkan sahabatnya itu, tetapi Gracia tetap tak bergeming. "Cia, bangun! Sebelum Ibu Rika ke sini dan membangunkanmu secara paksa!" bisiknya. "Apaan sih!" Gracia berteriak secara tiba-tiba dengan mata terpejam. "Gracia Angelista! Berdiri di depan kelas sekarang juga!" Suara itu membuat mata Gracia melotot seketika. Ia meringis begitu melihat mata wanita berambut coklat seakan menghunus tepat di matanya. "Ibu Rika," cicit Gracia. "Tunggu apa lagi, Gracia? Berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran selesai!" Gracia mendengus lalu menatap Hana seakan meminta belas kasihan. Namun, Hana hanya diam sembari mengedikkan kepalanya ke arah gurunya. Gracia harus pasrah menerima hukuman dari guru cantik, tetapi sayangnya dijuluki Suzanna karena tatapan tajamnya pada siswa yang melanggar aturan sekolah. Hana menatap prihatin sembari geleng-geleng kepala. Gadis berkacamata itu kembali fokus pada materi hingga bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi. Saat Hana sedang membereskan buku-bukunya, Gracia masuk dengan wajah mendung. "Hana, kok kamu biarin Ibu Rika hukum aku?" rengek Gracia. Hana menghela napas kasar. "Kamu memang harus dihukum. Kamu gak bisa kayak gitu. Guru udah ikhlas ngajarin ilmu yang bermanfaat ke kita, eh kita malah bersikap gak terpuji sama mereka. Aku cuma diam biar kamu sadar kalau apa yang kamu lakukan itu salah." Gracia bungkam. Sementara wajah datar Hana berubah dengan lengkungan indah dari kedua sudut bibirnya. "Nih, kamu pinjam aja catatanku! Pasti catatan Biologimu gak lengkap." Gracia pun mengambil buku catatan milik Hana dengan wajah tersenyum malu-malu. "Thanks, ya! Lusa aku balikin." Hana mengangguk sambil menarik resleting tas ransel merah miliknya. "Pulang bareng?" Mereka pun keluar dari kelas. "Aku mau tungguin Nino. Bentar lagi dia keluar kok." "Oh, oke! Aku balik duluan. Bye!" Gracia menjawab dengan lambaian tangannya. Saat Hana berjalan sendirian, tiba-tiba seseorang merangkul pundaknya. "Honey, kok main pergi aja?" Tubuh Hana mendadak kaku karena mendengar suara Damian. "Eh, Kak Dami! Aku-" "Mau pulang? Bareng, yuk!" sela Damian. Hana hanya bisa mengangguk pasrah. Sembari berjalan, mata Hana fokus memperhatikan tangan mungilnya yang digenggam erat oleh Damian. "Honey, kenapa diam aja?" tanya Damian. Ia menatap lekat wajah Hana yang terlihat merona, membuatnya tersenyum lembut. Ia beranikan diri mengecup kening gadis itu beberapa saat. Tubuh Hana menegang. Wajahnya pun semakin merona. "Kenapa, Honey?" "A-aku ... aku gak terbiasa dengan semua ini," ujar Hana terbata. "Apa itu berarti aku adalah orang pertama yang melakukannya?" Hana mengangguk. Seketika Damian memeluknya dengan erat disertai usapan lembut di sepanjang rambutnya. "Sama, ini juga pertama kalinya aku melakukannya dan itu aku lakukan pada gadis yang aku cinta." "Kak!" "Hm?" "Apa ini mimpi?" Damian tertawa geli. "Tentu saja tidak, Honey. Kita lagi sama-sama sadar saat ini." Damian mengurai pelukannya lalu mengecup singkat kening gadis itu. "Kita pulang. Aku gak mau membiarkan Tante Evita menunggu anak gadisnya terlalu lama." Damian segera menaiki motornya disusul Hana di belakangnya. Dengan kecepatan sedang, motor itu melaju meninggalkan sekolah. *** "Damian orang yang sopan, ya!" Hana tersentak kaget. Sang ibu tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya yang sedang membaca buku. "Mami bikin kaget aja, deh!" Evita menertawakan putrinya yang kini merengut. Ia usap lembut rambut Hana penuh kasih. "Anak gadis Mami ternyata udah besar, ya. Udah mulai jatuh cinta soalnya." "Si-siapa yang jatuh cinta sih?" "Ya anak Mami yang lagi gugup ini dong. Masa Marshal. Hah ... Mami ini udah pengen banget gendong cucu, eh kakakmu itu masih betah sendiri. Sekali-sekali mikirin diri sendiri kek, ini malah sibuk mulu sama pasiennya," keluh Evita. "Sabar, Mami. Kak Marshal pasti gak mau asal pilih wanita yang bakal dijadikan istri." "Kata-katamu sama persis dengan Papi. Yang beda dikit dong, Nak!" rajuk Evita. Hana terkekeh seraya menggeleng. "Ya habisnya aku mesti bilang apa, Mami?" "Hana, kamu baik-baik, ya sama Damian!" "Eh, kenapa bawa-bawa Damian lagi sih?" protes Hana. "Kan dia pacar kamu!" celetuk Evita seraya keluar dari kamar putrinya sebelum akhirnya ia mendengar pekikan Hana. "Mami!" Wanita paruh baya itu pun tertawa seraya berjalan menuruni tangga menuju kamarnya di lantai bawah. Sementara Hana berulang kali berteriak karena kesal atas tingkah sang ibu yang membuatnya malu setengah mati. Tiba-tiba ponselnya yang ada di atas meja belajarnya berdering. Nama kontak Damian tertera jelas di sana. "Kak!" "Honey, kok belum tidur?" "Lho, Kak Dami juga belum tidur." "Mau dengar suara pacarku sebelum tidur." Jantung Hana berdebar kencang. "Honey, kok diam?" "Eh, gak! Aku kaget aja, Kak." "Padahal sebelum-sebelumnya aku biasa telepon kamu, kenapa sekarang kamu kayak gugup begitu? Karena status kita yang udah beda, ya?" "Kak Dami, ini gak ada kerjaan lain, ya?" "Ada." "Apa?" "Memikirkan kekasihku." "Kak Dami kurang tidur, ya? Kok ngomongnya ngelantur?" Gelak tawa Damian terdengar dari seberang sana. "Aku sedang merindukanmu. Wajar, kan? Kamu lagi apa? Udah mulai larut malam gini kok malah belum tidur?" "Tadi aku lagi baca aja. Terus Mami tiba-tiba ngajak ngobrol sebentar." "Mami kamu cantik, ya. Pantas aja anak gadisnya cantik!" "Apa sih, Kak! Udah, aku mau tidur!" "Iya. Beneran tidur, ya!" "Iya, Kak!" "Have a nice dream, Honey. Aku sayang kamu, Hana." "Aku juga sayang sama kamu, Kak." *** Damian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Setelah menelepon Hana untuk bercerita sejenak dan saling mengungkapkan rasa, hatinya merasa lega. Ia tak bisa untuk berhenti tersenyum setelah mendengarkan suara kekasihnya yang masih malu-malu ketika berbicara dengannya. "Hana, aku sayang kamu. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku," gumamnya. Namun, ia kembali memikirkan rencananya setelah lulus SMA. Minggu lalu, ia mengikuti tes program beasiswa untuk kuliah bisnis di Jerman dan ia dinyatakan lulus. Ia tinggal mengikuti tes kemampuan bahasa asing dan wawancara sebelum benar-benar berangkat ke Jerman. Matanya terpejam. Pikirannya kembali kalut. Baru saja ia merajut kasih dengan gadis yang ia cintai sejak dulu, ia harus menghadapi pilihan berat di depannya. Antara cita-cita dan cintanya. "Aku harap kamu gak ninggalin aku, Hana," lirih Damian. Ia melihat foto Hana yang tersenyum dari samping. Foto itu ia jadikan wallpaper di ponselnya. "Kamu cinta pertamaku, Hana. Aku akan berusaha untuk menjadikanmu sebagai istriku suatu hari nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN