Gerald POV
Entah mengapa aku sekarang berada si pinggir jalan di depan coffee shop yang tadi siang kami singgahi. Aku duduk dibalik kemudi sambil memainkan ponsel ku. Tak lama kemudian orang yang kutunggu keluar dan berdiri seolah menunggu sesuatu. Ia memakai baju kaos putih dengan jaket dan celana jeans berwarna biru muda, rambutnya ia biarkan tergerai. Namun ia sekarang mengangkat rambutnya dengan tangan ke atas,sepertinya ia akan mengikat rambutnya. Gerakan yang menurut ku sangat seksi. Baru saja aku ingin membuka pintu mobil ku, namun kulihat ia bergegas segera naik ke atas ojek online yang mungkin memang ditunggunya sejak tadi. Aku memperhatikannya dari dalam mobil. Ia tersenyum pada drivernya sambil meraih helm yang di berikan untuk ia pakai. Akupun ikut tersenyum melihatnya bahagia. Hal yang tidak pernah kulihat saat ia berada di dekat ku. Ia selalu terlihat gugup dan ketakutan di dekatku, bisa kulihat dari caranya menautkan kedua jemari telunjuknya dan menggigit bibirnya saat ia gugup. Ia tidak pernah tersenyum padaku, pandangannya selalu sendu bahkan dengan jelas memperlihatkan ketidaknyamanannya berada di dekatku. Mengingat itu membuatku kembali mengingat bagaimana tidak bahagianya ia jika bersamaku. Padahal untukku, aku selalu ingin berada di dekatnya. Aku selalu merasa bahagia jika ia ada di dekatku,bahkan di hotel pun, aku selalu memperhatikan gerak geriknya.
Anjani POV
Hari ini aku libur,namun aku tidak bisa bersantai atau bermalasan seperti orang lain karena mendapatkan tawaran untuk menggantikan waitress yang sedang sakit di sebuah acara pernikahan di salah satu resort terkenal. Setelah selesai dari coffee shop tempatku bekerja, aku segera bersiap untuk langsung ke tempat yang dimaksud.
Aku melayani para tamu yang datang dengan seragam yang telah disediakan. Sesekali aku menoleh pada pasangan mempelai yang sedang bahagia. Senyum dan tawa tidak pernah luput dari wajah mereka. Aku lalu membandingkan sewaktu aku dan Gerald pada posisi itu. Saat itu air mataku tidak hentinya mengalir. Aku bahkan tidak ingin tersenyum menyalami para tamu yang datang. Hanya Gerald yang menyambut mereka semua dengan ramah dengan sesekali menoleh dan tersenyum padaku,yang tentu saja kubalas dengan tatapan sinis.
Aku terkejut saat seorang tamu menepuk pundakku dan meminta minuman yang sedang kubawa dengan tray. Aku meminta maaf sambil tersenyum dan memberikannya segelas minuman. Lalu senyumku tiba-tiba terhenti ketika melihat tamu yang baru saja memasuki ruangan tersebut.
Seperti biasa ia terlihat gagah, berbeda dengan pria yang kutemui 5 tahun yang lalu. Yang selalu terlihat pemalu. Ia mengenakan setelan jas berwarna abu tua dengan kemeja putih yang tidak dapat menyembunyikan bisep di kedua lengannya. Dan jangan lupakan dasi berwarna senada dengan jasnya yang menambah sempurna penampilannya malam ini. Ia juga sepertinya baru saja merapihkan model rambutnya. Membuatnya terlihat sangat bersih dan segar,dan tentu saja sangat tampan. Tapi kekagumanku harus berhenti ketika melihat tiba-tiba ada jari-jari lentik dengan kuku berwarna pink salem yang melingkar pada lengannya. Seorang wanita cantik dengan gaun berwarna yang sama dengan cat kukunya, berbahan lace dengan model offshoulder selutut yang memamerkan bahu dan kaki mulusnya. Rambut coklat yang dengan gaya french braid ponytail yang membuatnya terlihat menawan. Satu kata yang terlintas begitu melihat mereka berdua yang berjalan bergandengan hanyalah kata "SERASI". Ada perasaan tidak suka melihat pemandangan yang kini ada dihadapanku.Si wanita tidak pernah berhenti tersenyum sambil berbicara pada pria yang digandengnya, dan sesekali Gerald akan tersenyum juga. Hal yang tidak dilakukannya padaku. Apa yang kupikirkan?mengapa aku harus membandingkan perlakuannya padaku? Segera ku enyahkan pikiran itu, lalu melanjutkan pekerjaan ku. Ketika aku berjalan ingin menawarkan minuman pada para tamu, seseorang kembali menepuk pundakku. Wanita yang tadi kulihat kini berdiri disamping ku yang tentu saja juga bersama Gerald yang kini menatapku tajam. Ia lalu mengambil dua gelas minuman dari tray yang kupegang lalu memberikan satu pada Gerald. Aku langsung meninggalkan mereka karena entah mengapa aku merasa keadaan saat ini sangat canggung. Well, kamu beridiri melayani mantan suamimu dengan kekasih barunya bukanlah hal yang cukup menyenangkan bukan?...Kekasih??tentu saja mereka sepasang kekasih...Aku melihat cara mereka saling memandang sangat berbeda dengan tatapan yang baru Gerald berikan padaku. Terserahlah...apapun hubungan mereka, itu bukan urusan ku.
Aku berusaha ingin mengacuhkannya dan berkeliling menawarkan minuman pada para tamu yang hadir, namun aku kembali terkejut dan pucat melihat pasangan paruh baya yang kulihat dan kini juga melihatku. Tante Arini dan Om Yan, orang tua Gerald. Aku lalu berjalan mundur berniat menghindari mereka. Aku memang selalu ingin bertemu mereka dan meminta maaf. Tapi untuk saat ini aku tidak siap, tidak dengan keadaan seperti ini,tidak dalam keadaan seperti ini.
Aku menyimpan tray yang ku pegang di meja yang ada di sudut ruangan. Aku bergegas meninggalkan ballroom ini menuju taman yang ada dibelakangnya. Mencoba mengatur napasku dan menenangkan keterkejutanku. Tapi saat ini sebuah tangan menarik pundakku,membuat ku terpaksa berbalik badan dan aku seketika merasakan panas di pipi kiri ku. Aku mengangkat wajahku sambil memegangi pipiku, dan tamparan itu kembali kurasakan. Kini air mataku jatuh entah sejak kapan. Tante Arini sekarang berdiri dihadapanku dengan mata yang memerah menahan amarah. Dibelakangnya ada Gerald yang memegangi pundak mamanya, menatapku dengan datar. Aku sungguh malu saat ini, sangat malu. Tapi mungkin ini bukan apa-apa dibandingkan apa yang mereka terima akibat perlakuanku dulu.
"Mah, sudah. Mama tenang dulu. Ngga enak nanti dilihat orang. Jangan kayak gini ma... Ayo, nanti kita bicarakan baik-baik.Mama temenin Cheryl aja ya". Bujuk Gerald pada mamanya yang malah mendapat tatapan sinis.
" Apa Ger? Kamu suruh mama tenang?suruh mama ngomong baik-baik?perempuan ini udah bikin kita malu Ger.Sangat malu. Kamu lupa apa yang sudah dia lakuin ke kamu?ke keluarga kita? Tamparan mama masih belum apa-apa Ger dibandingkan sakit hati kamu dan mama ke dia" Bantahnya pada Gerald. Membelakangiku yang mencoba menahan tangis dan tidak tahu harus berkata apa. Tapi sungguh aku tidak bisa menahan air mataku.
Tante Arini menoleh lagi padaku dan menunjuk pada wajahku
"Kamu, perempuan nggak tau diuntung. Jadi ini kehidupan yang sangat kamu banggakan itu? Jadi pelayan? Heh!!! Bangga kamu jadi pelayan?Kenapa? Pacar kamu tidak mau nerima kamu lagi?" Ucapnya padaku dengan sinis.
" Mama...Udah ma..Mama nanti dicariin papa. Udah ayo ma" Ajak Gerald pada tante Arini sambil memeluk pundaknya.
Sepeninggal mereka aku menangis sejadinya, aku tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar ku. Aku tertduduk di salah satu bangku taman yang ada. Kubuka cepolan rambut ku dengan asal. Sambil menangis dan memegangi pipiku yang ku yakin pasti merah saat ini.
Tak lama kemudian aku merasakan seseorang duduk di samping ku. Mengusap punggungku dengan lembut.
Ku angkat wajah ku dan langsung memeluknya. Menangis dalam pelukannya sepuasku. Nalandra, orang yang selalu ada disaat aku sedang kalut seperti saat ini.
Seperti biasa ia tidak akan bertanya apapun padaku. Ia hanya akan menungguku berhenti menangis,memelukku,mengusap lembut punggung ku. Hingga tangis ku mereda, aku lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Ia hanya memegang tangan ku,tersenyum hangat,
"It's okay Jani...Ada aku"
Ia lalu berdiri, menarik tanganku dan mengajakku meninggalkan tempat ini.
Nala memang selalu seperti ini, hanya menjadi pendengar yang baik, memberi pundak untuk bersandar. Tanpa pernah menghakimi ataupun bertanya apapun yang bukan haknya.
Gerald POV
Aku tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaan ku melihat Anjani memakai seragam pelayan dalam pesta ini. Ia sungguh tidak cocok. Aku tidak suka ia melayani orang-orang. Aku benar-benar tidak suka ia menjadi pesuruh orang lain. Aku sangat enggan menatapnya dalam keadaan seperti ini.
Setelah ia meninggalkanku dan Cheryl untuk menawarkan minuman pada tamu lain, aku seperti ingin menariknya dari ruangan ini. Membawanya pulang agar ia tidak lagi melakukan pekerjaan sebagai pelayan orang lain. Lalu aku tersadar kalau orangtua ku juga berada dalam pesta ini. Aku segera pamit pada Cheryl untuk ke toilet dan menyusuri para tamu mencarinya. Aku tidak sengaja melihat mama sedang berjalan tergesa-gesa menuju taman belakang ballroom ini. Aku berlari kecil mengikutinya. Dan aku sangat terkejut melihat mama ku menampar Anjani dengan cukup keras. Dua kali.Aku sangat ingin menghalanginya, namun itu pasti akan membuat mama semakin marah. Mama akan semakin membenci Anjani. Aku hanya bisa memegangi pundak mama dan mengajaknya kembali ke dalam ballroom. Aku melihat tubuh Anjani bergetar, wajahnya yang kini pucat memperjelas merah dan bengkak di pipi kirinya akibat tamparan mamaku. Air matanya mengalir deras. Hatiku sungguh teriris melihatnya. Aku sangat ingin memeluknya, aku sangat ingin menenangkannya.
Setelah mengantar mama memasuki ballroom, aku kembali menyusul Anjani. Aku tahu ia pasti sangat sedih saat ini. Aku akan mengatakan aku sudah memaafkannya, agar ia merasa sedikit lebih baik.
Namun baru saja beberapa langkah memasuki taman itu, langkahku terhenti saat melihatnya memeluk seorang pria. Memeluknya erat dengan tangis yang mungkin sedari tadi ditahannya. Tangisannya sungguh terdengar pilu. Salah satu tangan pria itu merangkul tubuhnya, sementara sebelah tangannya mengusap lembut kepala dan punggungnya dengan lembut. Hal yang selalu ingin kulakukan saat melihat Anjani menangis.
Tapi siapa pria itu? Mengapa Anjani terlihat nyaman dipelukannya. Aku yakin dia bukan pria yang dulu kutemui. Bukan kekasih Anjani 5 tahun lalu. Tapi siapa dia? Aku mengepalkan tanganku menahan amarahku. Ternyata Anjani tidak lebih baik dari apa yang kubayangkan.