Ruangan yang tadi terasa ramai karena dihuni oleh lima orang itu kini berubah senyap saat hanya tersisa Gibran dan Tian saja.
Gibran terganggu dengan kediaman Tian sedari tadi. Walaupun keluarganya begitu heboh karena dirinya yang berhasil lepas dari maut setelah dua belas hari koma, tetap saja Tian hanya berdiri diam di pojok ruangan dan selalu menghindari tatapan matanya. Maka dari itu Gibran merasa perlu mempunyai waktu berdua dengan sahabatnya itu. Dan lagi, ada hal yang harus dia pastikan tentang sahabatnya ini.
"Gue engga tahu apa lo sariawan atau apa, tapi jujur aja gue sedikit--"
Gibran merapatkan bibirnya ketika Tian di depannya mendadak menundukkan kepalanya cukup dalam. Dia baru hendak meminta sahabatnya itu untuk mengangkat wajahnya ketika telinganya menangkap suara isakan samar.
Mata Gibran membulat, dengan pelan tangannya meraih pundak Tian, menepuknya pelan hingga sahabatnya itu kemudian mengangkat wajah. Dan Gibran benar-benar tidak menyangka saat melihat wajah basah Tian dan memerah. Sahabatnya yang selama ini kehilangan emosi dalam dirinya, hari ini menangis di depannya. Bukankah hal ini harus Gibran abadikan? Sayang sekali dirinya lupa dimana dia meletakan ponsel miliknya, atau malah jangan-jangan ponselnya sudah hancur karena kecelakaan itu.
"Lo kenapa? ngeliat lo yang nangis gini malah bikin gue jadi takut," tanya Gibran ngeri.
Ia melirik ke arah nakas kecil di samping tempat tidurnya, meraih tisu dengan susah payah dan memberikannya pada Tian.
Cukup lama keadaan di ruangan itu hanya terisi dengan isakan Tian dan juga Gibran yang hanya diam sambil menepuk pundak sahabatnya itu dengan pelan, berusaha menenangkan Tian yang benar-benar kacau.
"Maaf."
Gibran yang menunduk mulai mengangkat wajahnya ketika suara sengau Tian terdengar.
"Maaf, harusnya gue engga maksa lo buat datang ke acara itu. Kalau aja gue engga nyuruh lo datang, lo engga akan ngalamin kejadian kayak gini."
Tubuh Gibran langsung mematung setelah mendengar kalimat itu dari Tian. Bulu kuduknya bahkan langsung bergerak naik, membuat perasaan tidak nyaman muncul dalam dirinya.
Semua ini nyata, kejadian yang dia alami dengan apa yang dia mimpikan, sama persis. Bahkan ucapan yang baru saja Tian katakan benar-benar sama dengan apa yang dia dengar sebelumnya dalam mimpi saat dirinya tertidur.
Jika memang seperti itu, maka gadis dan juga anak lelaki itu, mereka siapa?
"Gi, lo engga mau maafin gue?"
Atensi Gibran teralih ke arah Tian yang menatapnya dengan wajah basah. Gibran menggeleng pelan, tangannya menepuk tangan Tian sekilas sambil memaksakan senyumnya.
"Itu bukan salah lo, juga bukan salah gue. Gue udah berkendara dengan baik, juga sengaja pakai earphones pas teleponan sama lo. Tapi gue juga engga bisa nyalahin pengemudi itu karena dia udah meninggal. Jadi anggap aja kalau ini memang murni kecelakaan, dan jelas bukan salah lo," tukasnya.
"Tapi..." Tian tampak hendak membantah, mulutnya sudah terbuka namun tidak ada kata yang keluar untuk melanjutkan kalimatnya yang tadi.
Gibran tersenyum kecil. Jika saja keadaan tubuhnya sedang baik dan juga kepalanya tidak sedang berdenyut hebat karena kejadian yang tidak bisa ditangkap dengan nalarnya, pastilah dirinya sudah meledek Tian habis-habisan karena pria itu menangis hanya karena rasa bersalah. Sayangnya Gibran tidak dalam mood untuk melakukan itu.
Kepalanya penuh dengan segala dugaan yang tidak masuk akal terkait mimpi miliknya. dann itu semakin membuat kepalanya terasa seperti mau pecah.
"Tolong cepat sembuh, Gi. Seenggaknya dengan begitu gue akan merasa leih baik dan engga ngerasa bersalah lagi," ujar Tian.
Gibran mendengus tertawa, "Egois banget sih, sialan!" sungutnya.
Beruntungnya, Tian juga ikut menertawai ucapannya sendiri. Hingga keadaan menggelikan yang sejak tadi membuat Gibran bertambah merinding itu akhirnya lenyap.
Jika ditanyai lagi, sepertinya Gibran lebih suka wajah Tian yang tanpa ekspresi daripada yang menangis seperti tadi.
°°
Di note kecil yang lembarannya berwarna kuning itu, Gibran mencoba menuliskan tentang apa yang dia ingat dari mimpinya itu.
Tentang kejadian dimana keluarganya yang menangis saat dirinya baru sadar dari koma, tentang Tian yang mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang dia ingat dari mimpi itu, juga tentang wanita yang dirinya panggil dengan nama Pelita, dan wanita yang memanggilnya dengan panggilan Mas.
Anak kecil lelaki yang wajahnya tidak terlihat jelas karena berada cukup jauh, namun berteriak dengan memanggilnya Ayah, juga ucapan wanita itu yang menyebut jika si anak memiliki wajah yang mirip dengannya.
Gibran terdiam, berusaha mencari kesimpulan yang paling masuk akal dari situasi ini. Bisa jadi ini memang dejavu, namun dirinya sendiri meragukan kesimpulan itu karena setahunya Dejavu tidak akan sejelas ini. Dan lagi, Gibran bahkan mengingat dengan jelas wajah wanita yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Jika ini hanya sekedar mimpi, biasanya kita akan melupakan wajah atau bahkan nama orang yang kita lihat di mimpi. Tapi yang satu ini tidak, Gibran masih ingat jelas seperti apa wajahnya dan siapa nama wanita itu. Pelita.
Bunyi pintu yang terbuka, membuyarkan kerumitan yang terjadi dalam kepalanya. Di ujung pintu berdiri Tian yang datang dengan setelan kerja dan membawa dua buah box bento jika dilihat dari plastik transparan yang dibawa asisten nya itu.
"Katanya lo bosan sama makanan rumah sakit, jadi habis rapat tadi gue beliin ini buat makan siang," ujar Tian.
Gibran menyengir lebar, merasa senang dengan inisiatif sahabatnya itu. Tubuhnya bergerak ke depan, menaruh kertas yang tadi dia pegang ke dalam laci nakas sebelum kemudian duduk dengan sikap sempurna, siap menyantap makan siangnya.
"Kertas apa tadi?" tanya Tian.
Nampaknya mata pria satu ini cukup awas sehingga bisa menangkap gerakan tangan Gibran yang cepat saat menaruh note miliknya.
"Bukan apa-apa, cuma nulis ide kasar tentang program terbaru GA," kilahnya.
Bisa ia lihat bagaimana Tian mengerutkan kening. Tangan pria itu bekerja dengan baik membuka tutup dari box bento dan menyerahkan salah satunya pada Gibran, lebih tepatnya meletakan di sebuah meja kecil yang menyatu dengan tempat tidur yang ditempati Gibran.
"Lo masih sakit, jangan mikirin kerjaan dulu," tegur Tian datar.
Gerakan tangan Gibran yang sedang mengambil chiken katsu menggunakan sumpit langsung terhenti. Dia memundurkan wajahnya dengan tatapan ngeri.
"Lo waras? Ini sebenarnya yang kecelakaan itu gue atau lo sih? Kok lo jadi baik banget sama gue?" tanyanya heran.
Tian mendengus kasar, memilih mengabaikan ucapan sahabatnya itu dan fokus menghabiskan makan siang miliknya.
Sedangkan Gibran kemudian tersenyum, wajahnya menunduk mengambil lauk yang dia sukai dan memasukannya ke mulut.
"Gue udah bilang, jangan merasa bersalah. Ini sama sekali bukan salah lo, gue datang ke acara itu karena memang udah seharusnya gue datang. Kalaupun waktu itu lo engga nyuruh gue datang, atas dasar pertimbangan perusahaan gue pasti akan tetap datang," ujar Gibran santai.
Dia melirik sekilas dimana Tian tampak berwajah sendu dan mengunyah makanannya lamat-lamat. Seperti dugaannya, Tian masih saja merasa bersalah hanya karena Gibran mengalami kecelakaan seusai menghadiri acara yang disarankan oleh Tian.
Padahal itu memang sama sekali bukan salah Tian.
"Gue cuma mikir, mungkin aja kalau gue nganggap serius ucapan lo yang nolak datang ke acara itu, lo engga akan terlibat kecelakaan itu. Dua belas hari lo engga sadar, rasanya gue bahkan takut buat bangun pagi. Atau gue takut setiap dengar nada dering HP pribadi gue, takut gue dapat kabar buruk soal lo. Gue...gue rasanya bukan cuma merasa bersalah, tapi lebih dari itu." Tian mengangkat wajah, tersenyum tulus ke arah Gibran yang menatapnya dengan serius. Dia yakin mungkin Gibran merasa geli dengan apa yang dia katakan, namun Tian merasa jika dirinya perlu mengatakan hal ini. "Gue takut kehilangan lo. Sahabat terbaik yang gue punya seumur hidup gue. Rasanya gue engga akan siap kalau suatu saat denger kabar lo pergi," akunya.
Gibran menunduk, senyum kecil muncul di wajahnya. Dia malu, entah kenapa dirinya merasa malu mendengar ucapan Tian. Rasanya seperti menerima pertanyaan cinta dari seseorang.
Namun di lain sisi, dirinya juga merasa senang. Walaupun mereka lebih banyak berbeda pendapat, walaupun dulu di SMP hingga SMA mereka hanya sekedar saling kenal dan baru akrab ketika kuliah, namun kini Gibran merasa lega karena bukan hanya dirinya saja yang menganggap hubungan persahabatan ini penting. Ternyata walaupun Tian tampak cuek, tapi pria itu bisa mengatakan hal cheesy yang seperti tadi.
"Its okay, gue tahu kalau gue memang terlalu berharga. Bukan cuma lo yang akan ngerasa kehilangan kalau gue kenapa-kenapa, tapi semua orang akan turut bersedih," selorohnya. Dia memilih kalimat itu hanya agar keadaan tidak menjadi canggung diantara dirinya dan Tian.
Dan setelahnya dia terbahak kemudian menyesal karena dadanya sakit, saat tiba-tiba Tian melempar satu chiken katsu hingga masuk ke dalam pakaian rumah sakitnya.
Tian mendengus, lalu bersungut-sungut menghabiskan makan siangnya. Terlihat kesal karena ucapan yang susah payah dia katakan, hanya dianggap sebagai candaan oleh Gibran.
Gibran hanya bisa tertawa kecil sebelum kemudian tawanya terhenti. Di kepalanya, muncul sebuah pikiran yang mengganggunya.
Hubungannya dengan Tian bukan hanya sekadar atasan dan bawahan, seperti apa yang dikatakan oleh Tian tadi bahwa semuanya lebih dari itu. Maka Gibran mulai berpikir, kalaupun orang lain akan memandangnya sebagai orang gila jika dirinya menceritakan soal mimpi yang tidak masuk akal itu, tapi dia yakin jika Tian tidak akan melakukannya.
"Yan.." panggilnya.
"Hm?"
Tian tidak mengangkat wajah atau menatapnya. Namun ketika dirinya tidak membuka suara untuk beberapa saat, Tian akhirnya mengangkat wajah dengan alis terangkat.
"Kenapa?" tanya pria itu lagi.
Gibran tersenyum penuh arti, tangannya membuka laci dimana tadi dirinya menaruh note miliknya kemudian menyodorkan tepat di depan Tian duduk.
"Gue punya sesuatu yang engga masuk akal. Dan gue butuh bantuan lo buat buktiin hal engga masuk akal ini beneran ada atau engga, jadi apa lo bersedia jadi gila untuk sementara bareng gue?" tanyanya serius.
°°