Tian menutup laci meja kerjanya setelah berhasil meletakan sebuah map yang sifatnya rahasia dan penting.
Dua hari yang lalu, atasan sekaligus sahabatnya yang baru sadar dari koma selama dua belas hari, tiba-tiba saja menceritakan sesuatu hal yang benar-benar tidak masuk akal.
Awalnya Tian mengira Gibran bercanda saat meminta dirinya untuk menjadi gila sementara waktu, namun setelah dia mendengar cerita aneh yang diceritakan oleh Gibran, Tian merasa bahwa dirinya benar-benar akan gila jika sampai mempercayai hal itu.
Sayangnya, sepertinya Tian benar-benar sudah menjadi gila karena selanjutnya dia bahkan mendengarkan permintaan yang lebih gila dari Gibran.
Gibran meminta dirinya untuk mecari tahu detektif canggih dan handal untuk menjalankan misinya. Dan misi yang diberikan oleh Gibran adalah mencari tahu dimana keberadaan wanita bernama Pelita yang muncul di mimpi Gibran saat pria itu koma.
Tian bahkan nyaris tertawa, menganggap bahwa Gibran mengalami rusak otak pasca kecelakaan dan kemudian menjadi aneh. Karena baginya hanya itu saja yang paling masuk akal untuk menjelaskan sikap tidak masuk akal dari atasannya itu. Lagipula, di Indonesia berapa banyak wanita dengan nama Pelita seperti yang muncul dalam mimpi Gibran.
Namun ketika dia menyuarakan pemikiran itu, Gibran dengan gampang menyuruhnya untuk mencari pelukis jenius yang bertujuan untuk melukis wajah Pelita berdasarkan deskripsi yang akan pria itu jabarkan.
Dan sebagai jawabannya adalah, map putih yang barusan Tian taruh ke dalam lacinya adalah hasil dari pelukis itu yang menurut Gibran sudah melukis wajah Pelita dengan sangat jelas.
Selanjutnya lukisan itu akan diserahkan pada detektif yang sudah Gibran sewa untuk bisa menemukan sosok Pelita yang persis seperti dalam mimpinya. Itupun jika gadis itu benar-benar ada di dunia nyata.
Tian menghela napas, tubuhnya bangkit dari duduk dengan tangan yang mengambil ponsel miliknya. Ada satu pesan yang ia temukan, pesan yang dikirim oleh Gibran berisi peringatan agar Tian benar-benar menyerahkan berkas lukisan itu dengan selamat kepada detektif yang sudah ia sewa.
Pesan itu berakhir dengan diabaikan karena Tian sama sekali tidak berniat untuk membalas omong kosong dari atasannya yang kini masih terbaring di rumah sakit itu.
Sebuah ketukan terdengar, mengambil atensi Tian yang sejak tadi hanya memandangi buku yang terpajang dalam ruangannya. Kakinya bergerak ke tengah ruangan, dimana ada sepasang kursi kayu yang berhadapan, menunggu hingga tamunya masuk ke dalam ruangan miliknya.
Seorang pria yang lebih muda darinya, mengenakan pakaian serba hitam dan sebuah tas ransel yang tampak berat tergantung di punggungnya.
Pria itu tersenyum ramah, kemudian mengambil duduk berhadapan dengan Tian.
Dari pengamatannya, Tian meragukan jika pria ini benar-benar orang yang kompeten karena terlihat masih muda dan juga lumayan tampan. Namun dirinya tidak berkewajiban untuk mengkritik pilihan Gibran, karena biasanya atasannya itu memiliki insting yang kuat untuk menilai seseorang.
"Mungkin kamu sudah dengar dari Pak Gibran tentang apa yang menjadi tugas kamu," buka Tian. Ia melipat kedua tangannya di atas pangkuan, matanya menatap lurus ke arah pria yang dia ketahui bernama Dean, hanya itu.
Dean mengangguk, kembali tersenyum ke arah Tian.
"Pak Gibran bilang kalau saya harus menemukan seseorang berdasarkan lukisan yang sudah dibuat. Bisa saya lihat lukisannya?"
Diingatkan tentang lukisan itu, Tian bergerak bangun dan berjalan ke arah laci meja kerjanya. Diambilnya kembali map yang baru beberapa saat lalu ia letakan di sana, kemudian saat dirinya sudah duduk, tangannya mendorong map itu pelan hingga berhadapan dengan Dean.
Dean dengan hati-hati membuka map itu, mengeluarkan selembar kertas tebal dari dalamnya. Untuk beberapa saat, alisnya terangkat naik sebelum kemudian tersenyum lebar.
"Sepertinya perempuan ini orang yang istimewa, sampai-sampai Pak Gibran menyewa seseorang untuk melukis nya dengan baik," simpulnya. Namun kemudian keningnya berkerut. "Tapi kenapa Pak Gibran engga punya foto perempuan ini?" tanyanya heran.
Tian mendesah pelan, "karena perempuan itu cuma dia lihat di mimpinya," batinnya.
"Saya kurang tahu karena Pak Gibran engga menjelaskan secara detail, tapi beliau hanya menegaskan agar kamu bisa menemukan wanita itu walaupun cuma berbekal lukisan ini," ujar Tian selanjutnya.
Dean mengangguk, "Jadi saya akan bawa lukisan ini bersama sama," katanya. Ketika ia melihat Tian mengangguk, tangannya langsung memasukan kertas itu kembali ke dalam map dan kemudian memasukannya ke dalam tas ransel yang dia bawa setelah dia menuliskan beberapa campuran abjad dan juga angka di atas map itu.
Tian menduga, itu semacam kode untuk membedakan pekerjaan yang harus dia selesaikan karena menurut Gibran, Dean adalah detektif dari dunia bawah yang cukup laris. Entah darimana bosnya itu mendapatkan info tentang seseorang seperti Dean yang katanya berasal dari dunia bawah.
Sedikit percakapan basa-basi lagi sebelum kemudian Dean pamit undur diri dari ruangan Tian. Sebelum pemuda itu pergi, Tian kembali mengingatkan untuk mengabari jika ada info sekecil apapun tentang perempuan bernama Pelita itu padanya, bukan hanya pada Gibran.
°°
"Gue udah ketemu sama detektif yang lo sewa," lapor Tian.
"Gue tahu," jawab Gibran tanpa menoleh.
Pria itu sedang sibuk menghabiskan dimsum yang siang ini dibawakan oleh Tian untuknya. Sejak dirinya mengeluh bosan dengan makanan rumah sakit, Tian selalu datang membawa makanan enak setiap kali menjenguknya.
Tian mengangguk pelan, kemudian dia berjalan ke arah kursi putar kecil yang terletak di ujung ruangan. Tangannya menggeret kursi itu hingga kini berada di sebelah ranjang Gibran.
"Dia masih kelihatan muda," ucap Tian.
Gibran melirik dari ekor matanya.
"Umur engga menjamin ketangkasan seseorang," balasnya. Mengerti dengan maksud dari ucapan Tian.
Tian menghela napas pelan kemudian mengambil satu dimsum dari hadapan Gibran.
"Gimana kalau seandainya perempuan itu memang cuma ada di mimpi lo? Kita bahkan ngabisin uang buat nyewa pelukis dan juta detektif dalam jumlah yang engga sedikit," tanyanya sangsi.
Gibran tidak langsung menjawab, pria itu sibuk mengunyah dimsum terakhirnya dan menutup mika yang sudah kosong itu. Menjatuhkannya ke arah tempat sampah yang terletak di samping tempat tidurnya.
"Anggap aja itu amal, seenggaknya kalau memang engga ada tapi udah sempat dicari, gue jadi engga penasaran dan engga kepikiran lagi," jawabnya santai.
Harusnya Tian sudah tahu bahwa Gibran akan menjawab seperti itu. Toh bagi Gibran uang yang sudah dia keluarkan untuk menyewa pelukis dan juga detektif itu bukan apa-apa dan tidak akan mempengaruhi kekayaannya walaupun bagi Tian itu termasuk tindakan pemborosan.
Di detik yang sama saat Tian hendak kembali berbicara, suara pintu terbuka mengambil perhatian mereka.
Tian nyaris tertawa ketika mendapati seseorang yang baru saja masuk dan juga wajah malas Gibran di depannya. Dengan sengaja, dirinya bangkit dari duduknya dan tersenyum ramah pada Gibran.
"Saya mau ke kafetaria dulu, Pak," ujarnya.
Ia mengangguk sekilas ke arah Ellea yang datang membawa plastik besar yang entah isinya apa dan bergegas keluar.
°°
"Aku baru dengar kabarnya, maaf karena aku baru sempat kesini."
Gibran hanya bisa mengangguk pelan sebagai jawaban dari ucapan penuh perhatian yang ditunjukan oleh Ellea. Sesungguhnya dirinya sama sekali tidak mengharapkan kedatangan wanita ini kesini namun pasti kabar tentang dirinya yang kecelakaan sudah termuat di media sehingga banyak kolega yang selanjutnya akan datang dan menunjukan perhatian mereka walaupun itu tidak tulus.
"Aku bawain buah sama makanan ringan, aku tahu makanan rumah sakit akan membosankan, makanya buat menyiasati itu aku bawain kamu beberapa cemilan," ujar wanita itu lagi.
"Makasih, harusnya lo engga usah repot-repot buat jenguk kesini," balas Gibran. Dia sengaja menggunakan cara bicara informal agar tidak perlu berpura-pura senang karena kedatangan wanita itu.
Ellea masih tersenyum lebar saat menggeleng, tangan cantiknya mengibaskan rambut terawat miliknya ke belakang tubuh dengan gaya anggun.
"Kamu ngomong apa sih? Sudah seharusnya aku datang pas temen lamaku terlibat kecelakaan kan? Aku bahkan sedih pas tahu kabarnya dan ternyata kamu bahkan koma selama dua belas hari."
Gibran mengerutkan keningnya dalam. Kalaupun berita tentang kecelakaannya tersebar, tidak mungkin Tian membiarkan publik tahu bahwa dirinya sempat mengalami koma selama dua belas hari. Ini aneh, pikirnya.
"Darimana lo tahu soal gue yang sempat koma?" tanya Gibran langsung.
Di depannya, Ellea berpura-pura terkejut sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
"Oh maaf, apakah itu hal yang seharusnya aku engga tahu?" tanyanya dramatis.
Gibran melengos, tangannya menarik selimut hingga menutupi dadanya saat dirinya berbaring.
"Engga juga, itu bukan hal penting selama gue selamat," balasnya acuh.
Kemudian dia melirik dengan ekor matanya, "Lo udah jenguk gue kan? Sekarang lo boleh pulang, gue mau istirahat," usirnya secara tidak langsung.
Ia yakin saat ini Ellea sedang menatapnya dengan tajam karena dia bisa merasakan hawa panas dari belakang tubuhnya karena saat ini dirinya membelakangi Ellea. Tapi dirinya tidak perduli, karena kehadiran Ellea disini hanya akan membuat kepalanya kembali terasa sakit dan emosinya mudah tersulut.
Tak berselang lama, terdengar langkah kaki dari sepatu hak tinggi yang menjauh disusul dengan pintu yang terbuka dan tertutup.
Gibran menghela napas lega, kembali berbalik badan dan nyaris berteriak saat mendapati Tian yang berdiri dengan wajah datarnya itu.
"Sejak kapan lo disitu?" tanyanya kesal.
Tian sempat menoleh ke arah pintu dan kemudian kembali menatap dirinya dengan bahu yang terangkat.
"Gue masuk pas Ellea keluar," jawabnya. Langkahnya bergerak duduk di sisi ranjang. "Dia kelihatan kesal kayak biasanya," lanjutnya.
Gibran mendengus, kemudian menendang selimutnya bahkan hingga jatuh ke lantai.
"Gue engga berharap dia datang, dan dia bodoh karena dia datang. Dia tahu kalau bakal kesal kalau ketemu gue, tapi masih aja datang," balasnya sambil lalu.
Tian berdecak, menyesap kopi yang tadi dibelinya. Moodnya sedikit terbantu tadi saat melihat wajah malas Gibran ketika Ellea datang, tapi kini dirinya jadi ikut merasa kesal saat melihat Ellea yang justru berwajah suram ketika meninggalkan ruangan ini. Padahal tadi Tian sedikit berharap bisa melihat Gibran dibuat kesal oleh Ellea sekali saja.
°°