Diva sedang tidur nyenyak ketika ia merasa nyaman masuk dalam pelukan seseorang. Kedua sudut bibirnya terangkat naik, karena dalam benak Diva, wajah Samudra-lah yang sedang terbayang. Memeluk tubuhnya, mengelus punggungnya dan mencium puncak kepalanya ....
Diva melingkarkan tangannya guna memeluk bayangan itu lebih erat. Namun semakin erat pelukan Diva, Diva jadi merasa jika sentuhan fisik yang sedang terjadi terlalu nyata bahkan untuk sekedar sebuah mimpi atau bayangan belaka.
Perlahan, gadis berusia 17 tahun itu membuka mata dan langsung ingin pingsan melihat wajah pria tampan tepat di depan mata.
Astaga dragooon... Sugaaaaa...
Saking membeku seorang Diva, sampai-sampai ia lupa cara bernapas.
Aaron yang berada tepat di depan wajah Diva sedari tadi pun mengernyit, semakin mendekatkan wajah karena tidak merasakan ada hembusan napas dari hidung Diva.
“Kamu nggak mati kan, Div?” Spontan Aaron bertanya.
Namun yang ditanya masih tak menunjukkan tanda-tanda pergerakan sama sekali. Hingga akhirnya Aaron menggerakkan kepala menjauh, ke kanan dan ke kiri, menggeser ke bawah dan ke atas.
Iris mata Diva terus mengikuti ke mana wajah Aaron pergi, tapi begitu Aaron mendekatkan jari ke hidung Diva masih sama. Perempuan itu tidak bernapas.
Menghirup napas panjang, Aaron mendekatkan wajah kembali ke wajah Diva. Lalu tanpa peringatan ia meniup wajah Diva dengan keras.
“HUFT HUFT! HUUUUUUFFFFTTTTTTT!”
Mengerjab, Diva langsung beringsut duduk gelagapan. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengisi rongga paru-paru yang sudah terasa kosong oleh oksigen.
“Nice girl! Napas yang dalam Diva! Yang banyak biar kamu nggak mati. Ya, terus, teruuusss, tarik napas dalam-dalaaaam... Keluarkan...” Aaron mencoba memberi arahan pada Diva, bergaya seolah ia juga tengah menarik napas dan mengeluarkannya.
Setelah berhasil bernapas dengan baik, Diva meraih bantal dan langsung memukuli badan Aaron, membuat pria itu mengaduh dan langsung turun dari ranjang.
“Kamu ngapain ada di kamar Diva? Kamu mau aneh-aneh ya? Iiiih, dasar cowok mesyum!!” seru Diva tetap malayangkan bantalnya di tubuh Aaron.
“Adu-duh, sakit Div! Berhenti woi!”
“Nggak mau! Cowok mesyum kayak kamu harus dikash pelajaran kayak gini!”
BUGH! BUAGH! BUGH!
Diva terus saja memukuli Aaron, mengabaikan teriakannya yang meminta Diva untuk berhenti.
Kegaduhan di kamar Diva pun terdengar sampai ke telinga dua pria yang satu atap dengannya. Siapa lagi jika bukan kakak laki-laki dan ayah Diva?
“Itu suara Diva kan, Bang?” tanya Damian pada putra pertamanya.
“Kayaknya iya deh, Pa,” jawab Dava sambil meletakkan tas kerjanya di atas sofa. Mereka berdua memang lebih berpusat tinggal di lantai satu, sementara Diva menguasai seluruh lantai dua. Hal itu sudah terjadi sejak Diva kelas 3 SMP, sejak ibunya meninggal karena sakit, sementara ayah dan kakak lelakinya sibuk dengan pekerjaan mereka mengurus proyek arsitektur sebuah perusahaan besar.
Saling berpandangan sejenak, keduanya pun langsung memutuskan naik ke lantai dua. Mereka ingin mengecek apa yang terjadi dengan satu-satunya perempuan yang mereka sayangi. Sampai suara Bi Inah dari bawah tangga terdengar.
“Lho, Tuan Damian sama Den Dava nggak sarapan? Ini Bibi udah masakin capcay goreng kesukaan kalian berdua!”
“Bentar, Bi! Kita cek atas dulu.”
“Oh, oke!” Bi Inah mengacungkan dua jempol ke atas, kemudian kembali ke dapur.
Sesampainya di lantai dua, Dava dan Damian membuka kamar Diva perlahan, mata mereka mengintip dengan hati-hati pada apa yang sedang dilakukan oleh Diva. Lantas keduanya berpandangan heran sebab melihat Diva berbicara sendiri sambil melayangkan bantal berkali-kali di udara.
“Diva kenapa, Pa?” tanya Dava pada sang ayah.
“Lha, kalau kamu tanya Papa, Papa tanya ke siapa?” balas Damian tanpa dosa.
Lagi, keduanya mengintip kamar Diva. Kali ini Diva menunjuk-nunjuk ke meja rias, seolah ia sedang berbicara dengan seseorang. Tapi baik Dava maupun Damian sudah memastikan tidak ada seseorang di depan Diva saat itu.
“Itu adek kamu, nggak lagi kesambet kan, Bang?”
“Ih, Papa! Nggak boleh ngomong kayak gitu, ah!” jawab Dava langsung sebab ia paling anti dengan cerita-cerita mistis.
Tak sabar, Dava pun membuka pintu Diva lebar. Diva menoleh dan terkejut melihat kemunculan kakak lelaki dan ayahnya.
“Abang? Papa? Ngapain ke sini?” tanya Diva.
Alih-alih menjawab, Dava langsung menyentuh kening Diva. Ia ingin mengecek apakah suhu tubuh adiknya sedang tinggi hingga menyebabkan halusinasi? Tapi rasanya suhu tubuh Diva normal-normal saja.
“Kamu pasti sakit. Sini istirahat aja, nggak usah ke sekolah dulu.” Dava langsung mendorong tubuh Diva ke atas kasur, memaksa adik perempuannya untuk kembali tidur.
“Diva nggak sakit, kok!” tolak Diva. “Lagian Abang sama Papa tumben belum berangkat.” Diva menoleh ke jam weker di atas nakas. “Udah jam setengah 7 loh!”
“Iya ini tadi udah mau sarapan langsung berangkat. Tapi Abang sama Papa dengar Diva teriak-teriak sendiri,” sahut Damian. Ia meraih tangan mungil Diva. “Adek serius nggak lagi sakit?”
“Enggak lah, Pa! Diva sehat banget malah!”
“Terus kenapa tadi ngomong-ngomong sendiri?”
“Diva nggak ngomong sendiri. Diva lagi ngomong sama—“ kalimat Diva terhenti begitu saja saat iris matanya bertemu dengan iris mata milik Aaron yang sedang duduk santai di atas kursi meja rias. Sejak tadi pria itu hanya diam memperhatikan interaksi Diva dengan keluarganya. Saat itu juga Diva ingat jika tidak ada satu pun yang bisa melihat Aaron kecuali dirinya.
Diva meringis, langsung memutar otak untuk mencari alasan yang lain. “—Ma-maksudnya itu tadi Diva lagi ngomong sama itu ... Diva lagi latihan drama, Pa! Buat pelajaran Bahasa Indonesia, hehe. Ada penilaian pagi ini jadi Diva lagi ngehafalin skript.”
“Owalah... Papa kira Adek tadi kesambet!” kekeh Damian. Sedangkan Dava menghela napas lega. Untung saja tidak ada hal-hal mistis terjadi.
“Kalau gitu, cepat mandi gih! Nanti terlambat ke sekolah lho!” kata Dava.
“Siap, Kapten!” seru Diva sambil memasang tangan hormat di kepala.
Damian dan Dava tersenyum geli kemudian pergi dari kamar Diva.
“Wow! Bravo! Alasan yang bagus!” puji Aaron. Ia berdiri, mengerlingkan mata, mengecup bibir di udara, membentuk dua jarinya menjadi tanda cinta sambil berjalan keluar dari kamar. “Selamat mandi, Diva! Atau kamu mau aku temani kamu? Aku nggak keberatan walau hanya melihatmu tanpa bisa menyentuh tubuhmu. Lagi pula sudah sejak lamaaa sekali aku nggak lihat perempuan telanjang.”
“Aarooooonnn!!!” teriak Diva. Gadis itu ingin mengejar Aaron lagi dan memukulinya tapi Aaron sudah keluar dari kamar dan menutup pintu.
***
“Pantes aja Samudra nggak tertarik sama kamu. Jangankan tertarik, melirik saja nggak.”
Aaron memulai ceramahnya begitu Diva masuk ke ruang makan untuk sarapan pagi. Pria itu sepertinya sudah sejak tadi ada di sana, duduk sambil mengamati makanan di meja makan yang tidak bisa ia nikmati. Aaron butuh ijin dari pemilik untuk bisa menyentuh dan makan makanan manusia. Sebuah peraturan konyol yang dibuat oleh para petinggi di dunia dewa dengan alasan agar para dewa yang bertugas di bumi tidak mencuri dan asal comot barnag-barang milik manusia yang mereka inginkan.
Diva hanya melirik sekilas pada Aaron lantas duduk di meja makan. Ia membalik piring dan menyendok nasi, begitu pun dengan lauk pauk yang sudah tertata di meja makan.
“Aku serius, Diva. Maksudku, lihat penampilanmu! Rok panjang sampai menutup lutut, seragam kebesaran di tubuh kamu, terus kenapa kamu kuncir rambut kamu ekor kuda sih? DI biarkan terurai akan terlihat lebih cantik. Atau disanggul tinggi-tinggi saja biar leher jenjangmu yang mulus itu terlihat.”
“Penampilan Diva baik-baik saja. Dan kamu harus ingat kalau Diva itu anak sekolahan. Pe. La. Jar! Jadi nggak boleh pakai seragam yang kelihatan sexy,” sahut Diva.
“Halah! Kemarin aku sempat keliling sekolahan kamu banyak tuh yang pakai seragam seksi. Thalita misalnya, atau Lala, atau Chika. Yola juga cukup seksi seragamnya. Dan Farida—“
“Baru keliling sehari kamu udah tau aja nama cewek-cewek populer!” potong Diva. “Emang dasarnya kamu cowok mesyum!”
Aaron diam saja, sama sekali tidak membantah Diva. Justru iris mata hitamnya tengah fokus menatap sendok yang akan masuk ke mulut Diva.
Dia meneguk saliva yang ingin keluar dari mulut. Aroma masakan Bi Inah sungguh luar biasa. Aaron bisa membayangkan bagaimana rasa makanan tersebut melalui bau. Dan sekarang itu membuatnya sangat lapar.
“Kamu nggak mempersilakan aku makan juga?” tanya Aaron, tak henti menatap Diva yang sedang mengunyah udah goreng cryspy dengan oseng sayur.
“Emangnya seorang dewa makan makanan manusia?”
“Ya, selama kita tinggal di dunia manusia. Kalau nggak, matilah! Kan semua makhluk hidup butuh makan.”
“Tapi kemarin kamu nggak makan.”
“Seorang Dewa memang butuh makan tapi nggak sesering manusia. Kira-kira satu piring bisa untuk bertahan hidup selama 1 sampai dua hari.”
“Oh,” jawab Diva manggut-manggut.
“Jadi, dikasih ijin nggak?”
“Ada syaratnya.”
“Apa?”
“Pertama, nggak boleh masuk kamar Diva sembarangan!” tegas Diva.
“Oke,” jawab Aaron. Karena saat ini ayam goreng lebih menggoda.
“Kedua, panggil Diva Nona!”
Kali ini Aaron menatap Diva setengah melongo. Apa baru saja Diva mengerjainya? Lihatlah senyum jahil yang sedang gadis berusia 17 tahun itu tahun!
“Tidak masalah,” tukas Aaron kemudian. “Sekarang boleh aku makan Nona Diva?”
Diva mengangguk polos sedangkan Aaron bersorak gembira untuk dirinya sendiri.
Tanpa repot-repot membalik piring di depan meja, Aaron sudah mencomot sebuah ayam goreng dan udang cryspy, berikut dengan tempe goreng.
“Nggak pakai nasi makannya?”
“Enggak. Diet.”
“Diet kok makan ayam sama udang! Diet itu makan sayur-sayuran!”
Aaron tidak peduli. Karena pertama ia benci sayur dan kedua ia tidak suka nasi.
Menyembul dari balik pintu dapur, Bi Inah mengelus da-da melihat Diva tengah mengoceh sendiri di meja makan. Hatinya miris dan sedih karena memikirkan Diva yang sekarang. Apakah anak majikannya itu menjadi gi-la karena stress yang berlebih? Padahal Bi Inah sudah bilang berkali-kali pada Damian dan Dava jika Diva butuh mereka di rumah. Selama ini Diva terlalu kesepian sering ditinggal sendiri.
Bi Inah pun mengeluarkan ponsel dari dalam saku, memotret Diva diam-diam dengan wajah yang sengaja tidak ia tampakkan.
Lantas di dalam sana, Bi Inah menulis caption : “Ay, kalau nanti kita menikah dan punya anak, janji ya jangan sering ninggalin dia sendirian di rumah. Aku nggak mau dia kesepian sampai stress kayak gini. Masa ngomong sama udara? Aduuuh, kasihan ay!”
Dan satu buah update-an terbaru dari Innah_so_cute pun terunggah di i********: dan langsung mendapatkan komentar lebih dari 200 dari pengikutnya yang berjumlah 5 ribu.
***
“Aku serius, Diva. Kalau kamu mau menarik perhatian Samudra, hal pertama yang harus kamu ubah itu penampilan kamu!” saran Aaron. Mereka sudah berada dalam mobil untuk menuju ke sekolah.
Diva diantar oleh tetangganya yang sengaja disewa Damian untuk mengantar Diva ke sekolah setiap hari. Sementara saat pulang nanti Diva biasa naik taksi online atau bus. Sengaja Damian melakukannya sebab Diva belum punya SIM dan belum bisa menyetir mobil sendiri.
“Emangnya kalau mau narik perhatian Samudra harus pakai seragam seksi?” tanya Diva. Tepat saat itu matanya bersibobrok dengan Pak Umang lewat kaca spion.
Tidak mau dianggap aneh karena berbicara sendiri, Diva mengeluarkan ponsel dan pura-pura sedang berbicara di telepon.
“Ya iyalah! Kamu nggak tau watak seorang laki-laki dalam memilih perempuan? Pertama : penampilan. Kedua : Seksi. Ketiga : Cantik. Kalau kamu aja cupu gini, gimana Samudra mau lirik kamu?”
“Samudra nggak lihat orang dari penampilan yang seksi dan wajah cantik! Buktinya dia dingin sama semua siswi!” sanggah Diva.
“Ya kamu belum tau aja, Diva. Sekarang aku tanya sama kamu, diantara kita siapa yang berjenis kelamin sama dengan Samudra?”
“Kamu.”
“Jadi, yang bisa memahami apa isi otak Samudra siapa?”
“Ya Samudra sendirilah lah!”
“Ya aku dong, Div! Pikiran cowok itu relatif sama. It’s a fact. Memang sih ada beberapa laki-laki yang bilang penampilan itu nggak penting, tapi apa nyatanya? Itu hanya keluar dari mulut mereka. Nyatanya tiap malam mereka nonton bo-kep di mana si cewek punya payu-dara montok, pinggang ramping dan—“
Aaron tidak melanjutkan kalimatnya sebab Diva sudah memukulinya. Ia mengaduh, tubuhnya mundur hingga menabrak pintu mobil.
“Emang dasar ya! Sekali me-sum tetap me-summm!! Jauh-jauh sana dari Diva! Balik ke dunia kamu sana!!” Diva terus memukuli tubuh Aaron, membuat Pak Umang mendelik melalui pantulan cermin tengah.
Lantas, sebuah gumaman lembut meluncur dari bibir pria sopan santun dan arif bijaksana itu.
“Astaghfirullah Neng, nyebut atuh Neng! Nyebut biar nggak diganggu se-tan ...”
“Aaarggghhh! s****n! Sudah aku bilang aku bukan se-tan! Aku ini Dewa! DEWAAAA!” teriak Aaron frustasi.
Diva tidak peduli. Ia tetap memukuli Aaron dan memaksanya untuk pergi jauh-jauh darinya. Sebelum Aaron berhasil meracuni otaknya yang masih polos ini.