Diva langsung pergi ke lapangan basket setelah membeli satu botol air minuman dingin. Rencananya ia akan memberikan minuman itu untuk Samudra. Diva tahu jika akhir-akhir ini Samudra sering latihan di lapangan sepulang sekolah untuk persiapan pertandingan basket antar SMA se pulau Jawa.
Sorak sorai para penonton siswi terdengar riuh membelah lapangan basket, memberi dukungan pada idola masing-masing di tim basket. Diva pun tak mau kalah, ia meneriakkan nama Samudra sekencang-kencangnya.
“Sampai sekarang aku masih heran sama kamu. Dibandingkan dengan laki-laki yang kamu taksir, sepertinya bocah yang bernomor punggung 5 lebih tampan dan punya sikap ramah.”
Aaron tiba-tiba muncul di samping Diva. Ia melipat kedua tangan di depan da-da sambil mengawasi jalannya pertandingan.
“Tristan maksud kamu?” tanya Diva sambil menggelengkan kepala. “Bukan tipe Diva.”
“Halah bilang bukan tipe, tapi kalau ditaksir juga bakal mau kan?”
“Lho, itu beda kasus!” sanggah Diva. Lalu ia meringis. “Tapi ya Tristan memang tampan, tapi gimana ya, hati Diva sudah terkunci sama Samudra.”
“Percaya sama aku, Div. Samudra itu bukan cowok baik.”
“Tahu dari mana dia bukan cowok baik?”
“Dari tampangnya lah!”
“Yeee ... bilang aja iri karena dia lebih tampan dari kamu!”
Aaron mendengus. “Lalu siapa ya perempuan yang tadi pagi terlalu terpesona pada ketampananku hingga lupa bagaimana cara bernapas?”
Kedua pipi Diva merona merah. Malu mengingat apa yang terjadi saat ia baru bangun.
Peluit tanda babak pertama telah berbunyi. Score antara kedua tim berbeda tipis; yakni 24 : 22.
Cepat-cepat Diva pun berlari ke arah Samudra yang tengah berjalan ke tepi lapangan. Dengan percaya diri ia menyodorkan air mineral dingin yang ia bawa namun Samudra hanya melewati Diva. Seolah-olah Diva tidak nampak.
Kecewa. Jelas!
Tapi Diva mengenal watak Samudra. Cowok itu memang mirip-mirip kulkas. Dingin sekali.
“Sudah aku bilang kan, dia nggak akan melirik kamu. Kamu itu terlalu culun buat dia,” sindir Aaron, lagi-lagi tiba-tiba muncul di samping Diva.
Baru saja Diva hendak membalas kalimat Aaron, tiba-tiba ada sebuah tangan yang mengambil airnya.
“Eh, makasih ya minumannya!” Tiba-tiba Rino berkata, mengambil botol di tangan Diva.
Rino adalah teman dekat Samudra. Pun dengan Farrel yang saat ini sedang meminta air dari Rino.
“Oh, bukannya lo cewek yang kemarin kesambet itu ya?” tanya Rino setelah mengamati wajah Diva. Ia jelas ingat Diva adalah siswi yang tidak sengaja bertabrakan dengan Diva kemarin.
Meski banyak sekali siswi yang menggunakan trik itu untuk mendapat perhatian Samudra, namun wajah Diva lebih mudah diingat dari pada siswi-siswi lain. Entah karena t**i lalat yang terletak di dekat mata, atau hanya karena kejadiannya baru kemarin.
Entahlah. Yang jelas Rino tidak terlalu pandai untuk mengingat sesuatu.
Dikatakan demikian oleh Rino, Diva mengernyit. “Hah?”
Rino hanya tertawa kecil, lalu menepuk bahu Diva. “Memang butuh ekstra kesabaran buat suka sama cowok model Samudra. Semangat ya!”
Diva mengerjab bengong tapi kemudian tersenyum dan mengangguk setelah berhasil mencerna kalimat Rino.
“Atau kalau lo suatu saat nanti udah lelah buat ngejar Samudra, lo bisa ganti ngejar gue. Tenang aja, gue nggak sekulkas dia. Gue lebih ramah, murah senyum dan yang jelas humoris. Gue juga sebenarnya nggak kalah ganteng dari Samudra. Yah, cuma perlu sedikit dioles aja ...”
“Di oles pakai apa, Rin?” celetuk Farrel mengganggu.
“Pakai ...,” Rino tiba-tiba membentuk dua jarinya membentuk tanda hati, lalu dengan gaya centil dia melanjutkan “ ... cinta.”
Farrel tertawa ngakak bercampur geli. Tak segan ia memukul kepala Rino dengan botol air yang sudah habis dia minum.
“Biarin aja, Rino emang gila. By the way, nama gue Farrel.” Farrel mengulurkan tangan pada Diva.
“Weeiiisshhh ... enak aja! Gue dulu dong yang harusnya ngenalin diri. Lo kan pendatang baru!”
Farrel dan Rino berdebat sedikit, sementara Diva hanya mengamati mereka aneh.
“Oke, lo pasti udah tau nama gue kan? Gue Rino, salah satu sahabat Samudra.” Sama seperti Farrel tadi, Rino juga mengulurkan tangan pada Diva.
Diva menjabat tangan Rino dan Farrel bergantian sambil menyebut namanya. “Diva.”
Bersamaan dengan itu peluit tanda bahwa babak baru akan dimulai berbunyi. Farrel langsung lari masuk ke dalam lapangan sementara Rino sempat berkata pada Diva, “Kalau lo butuh tips-tips tentang Samudra, apapun itu, lo bisa tanya sama gue. Eits, tapi nggak gratis ya! Hehe.”
Rino pun pergi menjauh sambil melambaikan tangannya pada Diva.
***
“Diva!” Diva menoleh kala seseorang memanggil namanya.
“Bari.”
“Lagi nunggu taksi?”
Diva mengangguk.
“Naik sini, aku antar kamu pulang.”
“Lah, rumah kita kan berlawanan arah. Kasihan kamu kepanasan di jalan nanti. Mana cukup jauh kan?” kata Diva, menatap Bari yang sedang bertengger di atas sepeda motornya.
“Udah nggak apa-apa! Ayo!”
Diva menggeleng. Ia tahu sedikit banyak tentang kehidupan keluarga Bari. Dulu saat Diva masih TK sampai SMP mungkin perekonomian keluarga Bari masih cukup baik, namun begitu masuk ke SMA ayah Bari jatuh sakit. Menyebabkan mereka harus menjual rumah besar dan pindah ke rumah yang lebih kecil. Menjual mobil-mobil dan beberapa properti untuk pengobatan beliau.
Jadi, bagaimana Diva bisa tega jika Bari harus mengeluarkan ongkos lebih untuk membeli bensin demi mengantarkannya pulang?
“Diva udah terlanjur pesan taksi. Nih!” tunjuk Diva pada ponselnya.
Ada sorot kekecewaan di mata Bari, sebab Diva hampir selalu menolak tawaran baiknya untuk mengantarkannya pulang. Terkadang ia bertanya-tanya apakah Diva mulai ilfeel dengan dirinya yang sudah tidak sekaya dulu? Sebab seingat Bari dulu Diva tidak pernah menolak dia antar pulang. Dulu sekali saat mereka masih SMP dan ada mobil yang mengantar jemput Bari ke sekolah.
Namun Bari menepis semua pikiran negatif tersebut. Tidak, Diva bukanlah gadis yang seperti itu. Justru Diva adalah tipe seorang gadis yang mau berteman dengan siapa saja tanpa memandang status. Diva adalah sosok perempuan paling humble yang pernah Bari temui.
Diva juga tidak pernah tertarik berteman dengan hanya orang kaya. Karena menurut Diva circle pertemanan yang memandang status sangatlah tidak baik dan terkesan tidak tulus. Karena itulah sampai sekarang Diva tidak punya gerombolan cewek-cewek. Diva cenderung ke mana-mana sendirian, tapi ia juga bisa tiba-tiba berbaur dengan teman-teman di sekolah.
Itu sebabnya juga Bari jatuh cinta pada Diva.
Mengukir senyum di bibir, Bari bertanya sekali lagi. “Beneran nggak mau? Bisa hemat ongkos taksi loh!”
Diva tertawa. “Seriusan nggak usah. Kamu pulang aja."
"Oke," jawab Bari setengah tidak rela. Namun ia tetap mengangguk dan langsung memutar gas meninggalkan Diva.