Chapter 5 - Tips Pertama

1514 Kata
Tips pertama untuk mengambil hati cowok : tampil secantik dan seseksi mungkin. *** Setengah jam sudah Diva memelototi sebuah saluran channel YuTube sementara kedua tangannya sibuk mengikuti langkah demi langkah tutorial yang tengah dibagikan. Dengan penuh perhatian, fokus dan konsentrasi, Diva menyapukan kuas  ke wajah. Melakukan finishing akhir dari make-up yang sengaja dia pakai hari ini untuk terlihat cantik. Menyentakkan kepala menghadap cermin, Diva tersenyum. Ia bisa melihat wajahnya lebih cerah dan glowing karena pemakaian make-up yang benar. Hmmm, meski Diva tidak yakin eyeliner dan pensil alis yang ia gores seimbang antara kanan dan kiri. Tapi sungguh, Diva merasa wajahnya yang dengan make-up casual hari ini nampak lebih fresh dibandingkan hari-hari biasa saat ia hanya memakai bedak bayi dan lipbalm tanpa warna. Diva berdiri, mematut seluruh penampilannya di depan cermin. Seragam yang kemarin sudah ia museumkan di dalam almari, berganti dengan seragam yang membentuk pas di lekuk tubuh Diva. Kemeja putih yang biasanya masuk ke dalam rok kini Diva keluarkan menyesuaikan mode siswi-siswi populer, berikut dengan rok abu-abu milik Diva. Jika dulu itu sepanjang bawah lutut, kini rok yang dipakai Diva berubah menjadi setengah jengkal di atas lutut. “Very nice!” puji Aaron dari belakang. Mengamati penampilan Diva yang jauh lebih menarik menurutnya. Iris mata hitamnya mengawasi dengan cermat seluruh tubuh Diva melalui pantulan cermin. Sejak awal bertemu Aaron memang tidak salah menebak jika Diva memiliki bentuk badan yang cukup bagus untuk gadis berusia 17 tahun. Diva memiliki tinggi sekitar 159 cm, kulit putih, dan punggung tegak. Wajahnya sedikit oval dengan rambut hitam lurus mencapai punggung serta poni di bagian depan. Jika biasanya Diva menjepit poninya agar tidak mengganggu, kini Diva membiarkan poni tersebut tertata rapi di depan, menambah kecantikan wajah yang sudah dia make-up dengan tangan sendiri. Kemudian, Diva memiliki bo-kong yang cukup berisi, berikut juga bagian da-da. Meski tidak besar-besar amat tapi Aaron yakin itu masih bisa berkembang jika Diva mau men-treatment-nya dengan benar. Uh, oh, apakah Aaron juga harus mengajari Diva tentang hal itu? Rasanya sudah sejak lama sekali ia melihat da-da t*******g seorang perem— “Jangan berpikiran mesyum!” tegur Diva tanpa basa-basi. Ia memeluk tubuhnya sendiri agar Aaron tidak terus memperhatikan da-danya. “Sok tau! Siapa juga yang sedang berpikiran mesyum?” sanggah Aaron cepat. Diva memicingkan mata curiga lalu segera berbalik dan meraih tas di atas kursi. Ia sudah siap untuk berangkat. “Widiiihh ... anak Papa cantik sekali!” Itu suara Damian. Bersama dengan Dava mereka sedang berada di ruang makan untuk menyantap sarapan. Diva pun bergabung dengan mereka berdua. “Iya, dong! Diva!” bangga Diva sambil mengibaskan rambut hitamnya ke belakang bak iklan shampo di TV. Untuk beberapa saat lamanya Dava menatap sang adik perempuan cukup lama, sebelum bibirnya terbuka untuk memberikan pertanyaan serius. “Kamu lagi naksir cowok ya, dek?” tanya Dava yang hampir membuat Diva tersedak air putih yang sedang Diva minum. “Kok Kak Dava tau?!” seru Diva. Meletakkan gelas air putihnya di atas meja. “Ya iyalah. Seorang Diva yang biasanya cuek sama penampilan sekarang mulai memperhatikan penampilan. Dan apa itu? Kamu juga memakai make-up di wajah kamu! Ya jelas Kakak tahu. Kakak ini udah menjalani kehidupan SMA selama 3 tahun.” Diva tersenyum, matanya berbinar kagum. Jika saja Dava bukan kakaknya, mungkin Diva sudah naksir Dava. Karena menurut Diva, satu-satunya pria yang bisa mengalahkan ketampanan Samudra hanya Dava seorang. “Kalau gitu, Kak Dava pasti tau dong cowok itu tertariknya sama cewek yang gimana?” Dava mengangguk meski dahinya mengernyit. Ia nampak menimang-nimang apa yang ingin ia sampaikan pada satu-satunya adik perempuan yang ia miliki. Lantas ia pun mengelus rambut hitam Diva. “Untuk sekarang, nggak usah mikirin cowok dulu. Kamu nggak apa-apa suka sama cowok, naksir sama cowok, tapi kalau buat pacaran mendingan jangan dulu.” “Loh kenapa? Kak Dava aja dulu SMP udah punya pacar!” protes Diva. Damian yang mendengar sambil makan menahan tawa geli. Ia melirik Dava yang sedikit gelagapan. “Ya itu beda, Diva.” “Beda gimana?” “Kakak itu cowok baik-baik. Sedangkan cowok jaman sekarang itu semuanya buaya.” “Loh, Samudra ganteng kok dibilang buaya. Ngaco ah!” “Oh, jadi namanya Samudra?” celetuk Damian. Yang langsung diangguki Diva dengan polos. “Dia itu ya Pa. Udah ganteng, pintar, jago main basket lagi! Nih ya, Samudra itu juga populer banget di sekolah.” “Apalagi sama cowok populer Div. Kamu harus jauh lebih hati-hati!” sahut Dava. “Mereka lebih berbahaya. You know, playboy, punya banyak cewek, kalau pacaran pun isinya paling cuma mau pansos.” “Samudra nggak kayak gitu kok! Dia malah nggak punya cewek!” “Ah masa? Punya tapi kamu nggak tau kali!” Diva menggeleng tegas. “Dia itu dingin banget sama cewek, Kak. Bahkan sama cewek-cewek cantik di sekolah aja dia  kayak beruang kutub!” “Ya kan kamu nggak tau dia di luar sekolah,” ujar Dava masih tidak mau kalah. Membuat Diva cemberut kesal. Ia pun berdiri, tidak menyelesaikan sarapan yang baru dua sendok ia makan. “Tau ah! Kak Dava ngeselin! Diva berangkat dulu, Pa!” pamit Diva, bersalaman dengan Damian. “Makanan kamu belum habis lho, Div.” “Nanti Diva makan di sekolah lagi,” jawab Diva masih setengah kesal. Ia melirik sinis pada Dava yang masih memasang wajah tanpa dosa. Saat Diva menelonyor keluar dari ruang makan, barulah Dava berseru. “Loh, dek! Salim sama Kakak juga dong!” “Ogah!” seru Diva. Dava menghela napas sementara Damian terkekeh kecil. “Kamu itu, Dav. Jangan terlalu protektif sama Diva-lah. Dia kan sudah 17 tahun, wajar kalau mulai suka sama lawan jenis,” nasehat Damian pada sang putra. “Ya justru karena Diva umurnya udah 17 tahun Dava mulai khawatir, Pa. Dava nggak mau Diva ketemu sama cowok nggak baik, yang bisanya Cuma mainin hati perempuan. Terus kan Papa tau sendiri pergaulan anak muda jaman sekarang semiris apa. Dava nggak mau ah punya ponakan sekarang.” “Hush, kamu itu! Diva kan masih polos!” “Justru karena masih polos itu harus dilindungi seketat mungkin, Pa!” Damian hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sebab Damian percaya, siapapun laki-laki yang sedang Diva taksir pastilah ia sosok cowok yang cukup baik. *** “Diva?” Diva menoleh saat seseorang menyapa. Ia pun langsung mengukir senyum karena mengenal si penyapa. “Hai, Rino!” jawab Diva, yang membuat Rino terperangah. Astaga, apa yang terjadi kemarin? Kenapa Diva nampak lebih cantik dari sebelumnya? Batin Rino dalam hati. Melihat ekspresi Rino, Diva jadi mengernyit aneh. Ia pun melambaikan tangan di depan wajah salah satu sahabat Samudra itu. “Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Diva sedikit khawatir. “Hah? Oh nggak apa-apa kok. Hanya saja ... kamu cantik,” puji Rino jujur. Wajahnya seidkit memerah saat memuji Diva. Diva tersenyum malu-malu. “Makasih pujiannya.” Jeda sejenak. Membuat pikiran Rino jadi ke mana-mana. Apakah ia harus mulai PDKT sama Diva? Mengingat kencan buta kemarin gagal total karena ban motor Farrel malah kempes di tengah jalan. Semua ekspektasi yang dibangun oleh Rino hancur ketika sebuah pertanyaan meluncur di bibir mungil Diva. “Samudra mana? Belum datang?” Alamaaak. Benar juga! Kan Diva naksirnya sama Samudra! Batin Rino lagi. Sedikit mengutuk pada sahabat tertampannya itu. “Iya, belum datang,” jawab Rino setengah tidak ikhlas. Baru saja Diva mau bertanya kembali, lagi-lagi sebuah suara menyapa Diva. “Bariiii!” seru Diva senang. Bari berhenti tepat satu meter di depan Diva, menatap gadis itu setengah tak percaya dan setengah penuh puja. Lalu tiba-tiba ia berlutut di depan Diva. Ia merogoh saku belakang celananya lalu menyodorkannya pada Diva sambil berkata, “Mau aku traktir makan siang?” Diva tertawa, menyuruh Bari untuk bangun. “Kamu tuh, norak tau posisinya! Kayak mau lamar orang aja!” Bari cengar-cengir. Padahal dalam hati ia ingin melakukan hal itu. Namun ia ingat mereka masih SMA, belum saatnya menikah! Minimal nantilah lulus kuliah dan kalau dia sudah dapat kerja. Karena mau dikasih makan apa Diva nanti kalau dia belum bekerja tapi sudha menikahinya? “Tapi mau kan aku traktir?” “Hmmmm,” Diva mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuk, seolah ia memikirkan seseuatu yang serius. Lalu detik berikutnya ia tersenyum lebar, membuat hati Bari tidak kuat dan ingin pingsan saat itu juga. Addduh, kenapa sih Diva secantik ini? “Oke deh! Tapi besok ganti aku yang nraktir ya?” “Lah masa cewek nraktir cowok?” “Ih nggak apa-apa kali! Ini namanya emansipasi wanita!” Bari tertawa, mengacak rambut Diva. “Oke. Deal!” jawabnya kemudian. “Ya udah, Rin! Kita ke kelas dulu ya. Kalau nanti ada Samudra datang, kasih tahu aku!” Baru saja Diva berbalik, Rino sudah mencegah. “Kasih nomor kamu dulu, Div!” Diva menepuk jidat, berbalik. “Oh iya, lupa. Diva juga belum tau nomor kamu.” Sementara Diva dan Rino bertukar nomor ponsel, Bari merasaa agak sedikit sedih dan cemburu. Namun laki-laki itu berusaha nampak biasa saja. “Pokoknya kasih tahu aku ya Rino!” “Asiaaaapppp!” Diva pun pergi, meninggalkan Rino yang kegirangan sendiri karena mendapatkan nomor Diva. Dosa nggak sih nikung cewek yang naksir teman sendiri?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN