Siswa kelas 2 IPA 6 tengah dalam keadaan sangat tegang. Di depan kelas ada Pak Handoko, seorang guru Fisika paling kejam dan killer di muka bumi. Selama beliau mengajar, rasanya bernapas pun sulit. Sebab saat Pak Handoko melihat ada satu saja murid yang terlihat malas, maka ia akan menyuruhnya maju di depan kelas untuk menerangkan suatu rumus tertentu. Tidak peduli materi tersebut sudah dipelajari maupun belum.
Diva berusaha keras duduk tegak dan fokus memperhatikan apa yang sedang diterangkan oleh Pak Handoko mengenai gaya pegas, namun tiba-tiba Aaron muncul di samping Diva dan berbisik, “Mau tahu apa yang sedang dilakukan Samudra saat ini?”
Mendengar nama Samudra, Diva langsung menoleh. Mendapati wajah tengil Aaron yang dihiasi dengan senyum miring tipis.
“Lagi ngapain?” tanya Diva tanpa suara, berharap Aaron bisa membaca gerak bibirnya.
Tak kehabisan akal, Aaron balik menggunakan tangan sebagai bahasa isyarat, yang lantas membuat Diva mengernyit dalam-dalam.
“Ngomong apa sih? Jangan pakai bahasa isyarat!” ucap Diva setengah berbisik. Leni yang duduk di samping Diva menoleh.
“Lo ngomong sama gue, Div?”
“Nggak kok, bukan kamu!” cengir Diva.
Leni mengangguk kemudian kembali fokus menatap depan kelas.
Aaron mendekat pada Diva lalu kembali berbisik di telinganya.
“Kalau saya ngasih tau kamu, malam nanti kamu harus belikan saya wine.”
“Diva nggak tahu di mana belinya!” tangkas Diva. “Lagian nggak boleh minum wine. Bisa mabuk. Dan sesuatu yang dimulai dengan mabuk pasti ujung-ujungnya buruk.”
“Seorang Dewa nggak akan mabuk Diva.”
“Gimana kalau Diva traktir Boba saja? Lebih enak lho!”
“Boba? Apa itu?”
“Pokoknya minuman masa kini! Enak banget!”
Aaron nampak berpikir keras untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia menyetujui negosiasi dari Diva.
“Oke! Saya pegang janji kamu.”
“Jadi?”
Berdehem, Aaron menjawab. “Samudra lagi di bawah tiang bendera.”
“HAH?!”
Seruan Diva menyita perhatian seluruh kelas, termasuk juga Pak Handoko.
“Ada apa Diva? Ada yang tidak kamu mengerti dari penjelasan Bapak?” tanya pria berambut sedikit gondrong keriting tersebut dengan nada garang.
Diva meneguk saliva kasar. Matanya melirik arah papan tulis di mana tertulis beberapa penjelasan dan rumus materi hari ini. Lalu ia menunjuk secara random.
“I-iya, Pak. Diva masih belum paham rumus itu!” tunjuknya.
Satu kelemahan dari Pak Handoko adalah ia sangat senang jika ada murid yang bertanya. Jadi, suara yang tadi garang kini berubah menjadi lebih bersahabat, pun dengan kedua sudut mata yang naik ke atas, menatap Diva seolah-olah Diva adalah murid kesayangan di kelas.
Pak Handoko mulai menerangkan kembali rumus yang ada di depan kelas, sementara Diva menghela napas lega. Ia melirik Aaron lalu dengan hati-hati bertanya, “Ngapain Samudra di bawah tiang bendera?” dengan berbisik tentu saja.
Aaron menconndongkan tubuh, ikut berbisik. “Bobanya dua ya!”
Sungguh, Diva ingin sekali menggeplak kepala Aaron. Namun demi Samudra, ia akan memberikan apa saja.
“Oke. Mau lima juga bakal Diva beliin.”
Aaron tersenyum cerah. Ia berdiri, kali ini berbicara dengan suara normal. Toh, tidak ada manusia yang bisa mendengar suaranya kecuali Diva.
“Dia dihukum. Terlambat masuk.”
“Mustahil!” teriak Diva sambil menggebrak meja. Yang membuat lagi-lagi seisi kelas menoleh padanya.
“Apanya yang mustahil Diva?” Pak Handoko betanya sambil melirik tajam.
Diva mengerjab kemudian menjawab asal. “Itu, Pak. Rumus fisika yang Bapak terangkan merupakan sebuah ilmu yang mustahil alias tidak pasti. Jadi—“
“Jadi apa? Jadi kamu tidak mau memperlajari Fisika?”
“Bukan begitu, Pak!”
“Maju ke sini kamu!”
Diva meringis, lalu ia pun maju ke depan kelas.
“Coba jelaskan tentang definisi Fisika itu sendiri menurut kamu!” perintah Pak Handoko.
“Fisika adalah ... sains atau ilmu alam yang mempelajari materi beserta gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan waktu, bersamaan dengan konsep yang berkaitan seperti energi dan gaya. Sebagai salah satu ilmu sains paling dasar, tujuan utama fisika adalah memahami bagaimana alam semesta berkerja.”
Pak Handoko mengangguk-angguk, lalu kembali melontarkan pertanyaan.
“Lalu, apa yang dimaksud dengan energi dan gaya?”
“Dalam fisika, energi adalah properti fisika dari suatu objek, dapat berpindah melalui interaksi fundamental, yang dapat diubah bentuknya namun tak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Sedangkan gaya adalah interaksi apapun yang dapat menyebabkan sebuah benda bermassa mengalami perubahan gerak, baik dalam bentuk arah, maupun konstruksi geometris.”
Lagi-lagi Pak Handoko mengangguk-angguk puas, membuat Diva mengelus d**a lega sekali.
Diva pikir pertanyaan dari Pak Handoko sudah selesai dan ia mau kembali ke bangku namun Pak Handoko langsung mencegah.
“Siapa yang menyuruh kamu duduk?”
Diva tersenyum salah tingkah.
“Coba kamu kerjakan rumus ini!” perintah Pak Handoko sambil memberikan sebuah spidol papan tulis pada Diva.
Diva menerimanya dengan setengah hati. Ia memang pandai menghafal tapi ia tidak terlalu pandai dalam mengerjakan soal Fisika terutama soal-soal yang menggunakan rumus. Diva juga tidak tahu kenapa ia masuk ke kelas IPA alih-alih IPS sama seperti Bari.
Lihat, baru membaca soalnya saja Diva sudah pusing sendiri.
“Kenapa? Ayo kerjakan!” tukas Pak Handoko melihat Diva yang menoleh ke belakang untuk meminta bantuan dari teman.
Dengan penuh kepasrahan tinggi, Diva asal-asalan mengerjakan soal, membuat Pak Handoko menggelengkan kepala.
“Kamu tadi tidak mendengarkan penjelasan Bapak ya?”
“Dengar kok, Pak! Tapi emang Diva nggak paham aja,” bohongnya.
“Bagaimana bisa tidak paham? Penjelasan Bapak itu cukup mudah dipahami!”
Diva menunduk tak berani menjawab, sampai Pak Handoko menunjuk siswa lain untuk maju dan menyuruhnya menyelesaikan soal Fisika di papan tulis.
Namun, sama seperti Diva, siswa tersebut tidak bisa menjawab.
Tak berhenti sampai sana, Pak Handoko lagi-lagi menunjuk satu siswi lain dan berakhir sama. Tidak bisa menjawab soal tersebut. Rasanya Pak Handoko mulai darah tinggi.
“Dari 30 siswa di kelas ini ada tidak yang bisa mengerjakan soal di papan tulis?” tanya Pak Handoko dengan mimik muka serius.
Semua murid menunduk, tidak ada satu pun yang mengangkat tangan.
Pak Handoko menggebrak meja, bertanya sekali lagi. “BISA TIDAK?!”
“Belum paham, Pak ...,” jawab murid-murid serentak.
Pak Handoko menghela napas kasar. Lalu menyuruh yang di depan kelas untuk duduk kembali kecuali Diva.
“Bapak tau tadi kamu tidak mendengarkan Bapak, jadi kamu Bapak hukum!”
Kedua bola mata Diva terbelalak lebar, rasa-rasa ingin protes tapi jika ia protes pasti guru Fisikanya ini akan lebih marah lagi.
“Sana ke bawah tiang bendera! Dan terus berdiri di sana sampai jam pelajaran Bapak habis!”
“Baik, Pak,” jawab Diva lemas.
Ia pun keluar dari kelas. Masih terdengar samar dalam telinga Diva Pak Handoko kembali marah-marah. Diva menghela napas. Memang seperti itulah Pak Handoko. Kalau menurut gosip yang beredar, Pak Handoko berubah menjadi jahat sejak sang istri jatuh sakit. Tapi sampai sekarang Diva masih tidak paham apa hubungannya jahat dengan sakit.
Diva menuruni tangga dengan langkah santai. Lantas berjalan menuju lapangan untuk melaksanakan hukuman.
Matahari yang terik membuat Diva hampir saja berbalik menuju toilet atau kantin, namun saat iris matanya melihat sosok cowok yang selama ini ia impikan setiap malam, Diva mengurungkan niat. Ia langsung pergi ke bawah tiang bendera berdiri tepat di samping Samudra.
“Hai, Samudra!” sapa Diva dengan nada riang.
Samudra hanya milirik sekilas tanpa menjawab apapun. Tangannya masih dalam posisi hormat ke tiang bendera.
Diva mengikuti gaya Samudra, yakni dalam keadaan hormat. Meski Pak Handoko tadi hanya menyuruhnya berdiri saja di bawah tiang bendera.
Dari samping, Diva terus mengamati wajah Samudra. Sesekali ia mesam-mesem dan tersipu malu sampai pipinya memerah sebab mulai membayangkan yang tidak-tidak. Sementara yang dilirik merasa risih dan bergeser satu langkah lebih jauh. Namun semakin dia bergeser, Diva juga semakin mengikuti Samudra.
“Kenalin. Namaku Diva. Kelas 2 IPA 6.” Diva mengulurkan jabatan tangan kepada Samudra, namun lagi-lagi Samudra mengacuhkan Diva. Menganggap bahwa Diva adalah makhluk tak kasat mata.
“Nggak apa-apa kok kamu dingin kayak gini. Diva malah tambah suka hihihi,” kekeh Diva.
“Dasar kegenitan!” sindir Aaron tiba-tiba, mundul di samping Diva.
Diva hanya melotot sinis tapi berusaha mengabaikan Aaron. Ia tidak ingin Samudra menganggapnya gi-la karena berbicara sendiri.
“Oh, iya, Samudra. Boleh minta selfie berdua?” tanya Diva. Yang jelas saja Samudra tetap diam seperti menit-menit yang lalu.
Setelah memastikan tidak ada guru pengawas di sekitar lapangan upacara, Diva mengeluarkan ponsel dari saku. Ia membuka aplikasi kamera lalu dengan narsisnya berdiri di depan Samudra dan mengambil sebuah foto.
“Yah, kok jelek gini!” gerutu Diva melihat wajahnya yang besar. Ia menoleh ke belakang dan mendapatkan ide brilian.
Diva pindah ke sisi kiri Samudra, lalu tiba-tiba memeluk lengan Samudra dan mengambil foto.
Samudra yang sedari tadi mengabaikan Diva kini tidak bisa lagi tinggal diam. Ia menyentak tangan Diva sementara matanya menatap tajam gadis berponi itu.
“Jangan. Sentuh. Gue!” desisnya, lalu melangkah menjauhi Diva.
Diva merasa hatinya sedikit tercubit karena kalimat Samudra namun ketika melihat hasil foto yang ia ambil, rasa sakit tersebut hilang. Berganti dengan hati yang penuh bunga-bunga.
Di sana terlihat Diva menatap kamera sambil tersenyum bahagia sedangkan Samudra menunduk menatap Diva. Meski Diva tau sebenarnya saat itu Samudra menatapnya risih dan tidak suka namun dalam foto tersebut ekspresi Samudra tidak terlihat seperti itu. Malah lebih mirip mereka adalah sepasang couple yang sedang mengalami bucin akut.
“Samudra. Hasilnya bagus nih!” ucap Diva, menunjukkan hasil fotonya pada Samudra.
Samudra cuek.
“Ish! Dasar kulkas!” sindir Diva. Ia pun langsung menyetel fotonya dengan Samudra sebagai layar utama di ponsel. Diva tersenyum puas karenanya.
“Eum, Diva boleh minta nomor Samudra nggak?” tanya Diva lagi, membuat Samudra menarik napas panjang.
“Boleh dong, Samudra... Please ... please please, ya?” mohon Diva sambil menyatukan kedua tangan di depan da-da.
Kesal, Samudra menjawab dengan ketus.
“Gue nggak punya HP!”
“Hah? Nggak punya HP? Aduh, kalau gitu pakai HP-nya Diva aja! Nih!” Diva menyerahkan Hpnya ke tangan Samudra namun Samudra sama sekali tidak ingin menerimanya.
“Nggak apa-apa Samudra. Nanti Diva bisa beli lagi. Ini pakai aja biar Diva bisa hubungi Samudra. Hehe.”
“Sudah gue bilang jangan sentuh gue!”
“Ya makanya ini diterima dulu! Nanti jatuh loh!”
Samudra tetap menolak memegang HP Diva namun Diva terus memaksa. Sampai Aaron yang melihat di samping geleng-geleng kepala. Lantas dengan jahil, Aaron pun mendorong tubuh Diva, hingga membuat keseimbangan Diva tidak ada.
Ia jatuh menimpa Samudra, dan Samudra yang dalam keadaan tidak siap dibebani tubuh seorang cewek pun ikut terjatuh. Bo-kongnya mencium paving dengan keras.
“f**k*!” umpat Samudra secara refleks. Baru saja ia hendak mendorong Diva yang menimpa atas tubuhnya tapi sebuah suara melengking sudah menyapa terlebih dahulu.
“Samudra A Maxwell! Ibu menghukum kamu berdiri di bawah tiang bendera selama dua jam, bukan malah rebahan di atas tanah! Lagian kalian berdua ini sedang ngapain? Ini sekolah, bukan tempat untuk berbuat me-sum!”
Samudra mendorong tubuh Diva, membuat Diva meringis. Sebab lututnya sempat terantuk aspal dan sekarang berdarah.
“Maaf, Bu!” ucap Samudra. Ia berdiri lalu kembali hormat ke tiang bendera.
Bu Ambar melirik Diva yang berusaha berdiri lalu mengomeli gadis itu. “Kamu! Kenapa kamu ada di sini? Ibu tidak ingat tadi kamu juga terlambat!” sentaknya.
Dengan menahan ringis kesakitan, Diva menjawab. “Dihukum Pak Handoko, Bu.”
Baru saja Bu Ambar hendak membuka mulut dan mengomeli Diva lagi agar melaksanakan hukuman dengan benar ketika ia melihat lutut Diva yang berdarah.
“Lutut kamu berdarah!” tunjuknya. “Sana pergi ke UKS dulu!”
“Tapi nanti Diva dimarahin Pak Handoko, Bu,” protes Diva, padahal ia hanya tidak ingin berpisah dengan Samudra. Kapan lagi ia bisa berdiri berdua dengan sang pujaan hati?
“Halah, nanti Ibu yang bilang ke Pak Handoko kalau kamu dimarahin! Di sini murid adalah nomor satu! Kalau ada pemberitaan macam-macam di luar sana kan bisa jadi menyusahkan sekolah! Jadi sana pergi ke UKS!” usir Bu Ambar tegas.
Diva meringis. Ia tahu guru BK ini sangat sulit diajak kompromi. Beliau sangat tegas pada peraturan yang ada. Itulah kenapa hampir tidak pernah terjadi bullying di sekolah ini. Sebab para guru pun akan menindak tegas para pelaku.
Mengalah, Diva pun melangkah keluar dari lapangan. Namun seperti halnya saat kita baru jatuh pasti rasanya sangat sakit. Apalagi di daerah lutut, setiap berjalan pasti rasa sakit tersebut akan muncul.
Diva melangkah dengan kaki terpincang-pincang.
Bu Ambar menggelengkan kepala dan menghela napas, kemudian melirik Samudra yang nampak cuek dan tetap hormat di tiang bendera.
“Samudra!”
Samudra menoleh.
“Antar dia ke UKS!” perintah Bu Ambar kemudian.
“Hukuman saya masih 1 jam lagi, Bu. Nanggung.”
“Heh, kamu ini! Itu kasihan pincang-pincang kalau jalan!”
“Nanti juga sampai ke UKS kok Bu lama-lama.”
Bu Ambar gemas sendiri pada jawaban Samudra. Sebagai guru BK, Bu Ambar hampir hapal sifat tiap siswa di sekolah, entah itu karena pernah berhadapan langsung atau karena desas-desus dari mulut satu ke mulut yang lain.
Kini Bu Ambar tidak heran kenapa tersebar julukan di sekolah ini jika seorang Samudra A Maxwell adalah kulkas! Lha wong rasa empati saja tidak punya.
“Sudah-sudah! Hukumanmu Ibu ganti! Antar gadis itu ke UKS dan obati lukanya! Nggak ada protes Samudra! Kamu harus benar-benar mengobati lutut gadis itu! Nanti Ibu akan cek dan tanyakan langsung pada siswi yang piket di sana. Kalau kamu tidak melakukan hukuman kamu ini, besok kamu harus siap berurusan dengan Ibu lagi!”
Samudra menghela napas. Kemudian mengangguk kecil dan berjalan malas keluar dari lapangan. Menghampiri Diva yang masih berjalan beberapa meter lebih dulu.