Samudra berjalan pelan di belakang Diva, mengamati gadis yang berjalan tertatih menyusuri lorong. Ia menoleh ke belakang dan masih mendapati Bu Ambar memberi isyarat agar Samudra segera menolong Diva.
“Merepotkan,” gumam Samudra, yang dengan separuh kesal dan sangat terpaksa, langsung membopong Diva tanpa peringatan lebih dulu.
Diva terpekik, refleks saja mengalungkan kedua tangan ke leher Samudra.
“Samudra ...,” kata Diva hampir menangis. Wajahnya bersemu merah saat tau yang menggendongnya adalah si pujaan hati.
Sementara Diva terus menatap wajah Samudra penuh puja, Samudra terus melihat ke arah depan. Wajah dinginnya sama sekali nampak tidak terusik dengan Diva yang seperti itu.
Sesampainya di UKS, seorang siswi yang sedang piket terkejut dengan kehadiran Samudra. Lebih-lebih cowok itu tengah menggendong seorang gadis. Apa kata para siswi penggemar Samudra jika melihat pangeran impian mereka melakukan hal ini?
Samudra masuk dan langsung mendudukkan Diva di tepi salah satu ranjang. Ia mendatangi siswi yang piket di mana siswi tersebut masih menganga tidak percaya.
“Gue butuh sesuatu yang bisa ngobatin lututnya!” tunjuk Samudra pada Diva.
Alih-alih langsung memberikan apa yang Samudra butuhkan, si siswi malah masih terus terperangah menatap Samudra. Betapa sempurnanya makhluk Tuhan yang satu ini.
Tok tok!
Samudra pun mulai mengetuk meja karena tidak sabar, membuat si siswi langsung terkejut dan gelagapan karena dipaksa keluar dari dunia imajinasi penuh dengan kekaguman.
“E-e-eh, iya? Butuh obat apa?” cicit si siswi, saking gugupnya suaranya jadi amat rendah dan mirip sebuah gumaman.
“Yang bisa obatin lutut dia,” jawab Samudra singkat.
Siswi piket itu mengamati Diva dan melihat lutut yang lecet berdarah. Ia pun berdiri dan mengambil apa saja yang dibutuhkan seperti kapas, alkohol, obat merah dan plester. Baru saja si siswi hendak berjalan mengobati Diva, Samudra sudah mencegah.
“Biar gue aja,” ucapnya, langsung mengambil barang-barang yang ada di tangan siswi tersebut.
Lagi-lagi siswi piket dibuat terbengong-bengong dengan tingkah Samudra. Sejak kapan seorang Samudra mau melakukan hal ini pada seorang perempuan?
Tak jauh berbeda dengan si siswi, Diva pun ikut tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Samudra. Dan ia bahkan hampir pingsan saat Samudra jongkok di depannya dan mulai mengoleskan alkohol pada lututnya ...
“Awh!” pekik Diva kesakitan.
Samudra melirik tajam dan dingin untuk sesaat, lantas terus mengoleskan kapas ke lutut Diva dengan sedikit kasar.
“Sakit, Samudra. Pelan-pelan saja, dong!” protes Diva, yang akhirnya menjauhkan lututnya dari Samudra.
“Nggak usah manja!”
“Ih, bukan masalah manja! Tapi emang sakit kalau kamunya kasar kayak gitu!” gerutu Diva dengan bibir cemberut. “Lagian nggak gitu caranya ngerayu hati Diva!”
Jika bukan demi perintah Bu Ambar dan Samudra tidak ingin berurusan lagi dengan beliau, Samudra pasti sudah meninggalkan UKS saat ini juga.
Menatap Diva cukup lama hingga membuat gadis itu salah tingkah, Samudra tau-tau menarik lutut Diva lagi agar kembali ke posisi semula.
Tubuh Diva sudah menegang takut ketika Samudra hendak membersihkan lukanya lagi, tapi Diva lega setelah merasa bahwa kali ini Samudra menyapukan kapas dengan lembut dari pada sebelumnya. Meskipun sesekali masih keluar ringisan sakit dari mulut Diva.
Setelah selesai, Samudra memberikan obat merah dan menyelesaikannya dengan menempelkan plester ke lutut Diva.
“Samudra mau ke mana?” cegah Diva pada Samudra yang sudah berdiri dan hendak pergi.
Tanpa menjawab, Samudra berusaha melepaskan tangannya dari Diva. Namun dia tidak menyangka jika genggaman Diva amat kuat.
“Lepas!” desis Samudra.
“Di sini aja temani Diva.”
Samudra menyipit sinis. “Gue bilang. Lepas!”
Cukup lama keduanya bersitatap keras kepala sampai akhirnya Diva mengalah. Ia melepas tangan Samudra dan membiarkan pujaan hatinya pergi.
Namun sebelum Samudra benar-benar keluar dari UKS, Diva berkata, “Lihat aja, dalam waktu satu tahun ini, Diva pasti bisa buat Samudra jatuh cinta sama Diva.”
Samudra mendengus kecil. Tentu saja menurutnya itu hanyalah omong kosong belaka.
Karena sampai kapan pun, Samudra akan terus membenci makhluk bernama perempuan. Mereka semua sama saja bagi seorang Samudra.
***
Diva sedang tidur nyenyak di UKS saat Aaron datang.
Pria beriris mata hitam itu melirik siswi piket yang juga tengah ketiduran di meja kemudian ia menggelengkan kepala pelan.
Mendekati ranjang Diva, Aaron iku naik bergabung. Ia membaringkan tubuh tepat di samping Diva, yang mana saat itu juga tubuh Diva bergerak dan langsung memeluk tubuh Aaron tanpa sadar.
Aaron sama sekali tidak keberatan atau grogi karena pelukan dari Diva. Ia justru balik merangkul Diva dan memejamkan mata, membiarkan kehangatan dan ketenangan mengalir dalam diri.
Sedang asik-asiknya demikian, tiba-tiba suara berisik mengganggu indera pendengarannya.
“Diva! Diva mana Diva?!”
Kegaduhan itu membuat tubuh Diva kembali bergerak. Ia mulai membuka mata perlahan dengan mengerjab pelan. Saat sadar ia sedang memeluk tubuh Aaron, refleks saja Diva berteriak. Ia mundur agak lebih jauh lalu menarik selimut menutupi tubuhnya sendiri.
“Ngapain kamu di sini?!” seru Diva.
Baru saja Aaron membuka mulut, tirai pembatas UKS dibuka dan menampilkan sosok Bari. Dengan wajah penuh kekhawatiran, ia langsung menghampiri Diva.
“Aduh, kamu udah nggak apa-apa, Div? Nggak demam, kan?” tanya Bari. “Waktu dengar dari teman-teman kamu kalau kamu ada di UKS, aku khawatir banget! Apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini?”
Diva tersenyum, lalu melirik Aaron tajam. Namun pria itu mengindikkan bahu acuh lalu tiba-tiba menghilang dari sana.
“Diva nggak kenapa-kenapa kok Bari. Cuma jatuh aja tadi,” jawab Diva. Ia membuka selimut dan menunjukkan lututnya yang sudah selesai diobati.
“Masih sakit?”
“Udah nggak.”
“Demam? Atau ngerasa nggak enak badan?”
“Diva baik-baik aja kok!”
“Terus kenapa di UKS selama 4 mata jam pelajaran?”
Diva meringis. “Hehe, habis Diva ngantuk. Jadi deh sekalian tidur di sini.”
Bari menarik napas panjang, lalu terkekeh geli mencubit pipi Diva gemas. “Tega ya kamu! Aku pikir kamu tadi demam atau bagaimana, taunya Cuma jatuh doang sakitnya?”
“Sakit, sakit, sakit, Bari! Lepasiiin,” ujar Diva.
Bari tertawa tapi langsung melepas cubitannya dari pipi Diva.
“Ya udah. Mau ke kantin? Kan pagi tadi aku janjiin buat traktir kamu,” tawar Bari.
“Oke!” angguk Diva penuh semangat. “Diva juga udah lapar nih! Tapi besok gantian Diva yang traktir ya!”
“Iyaaa,” suara Bari mengalah.
Turun dari ranjang, Diva meringis karena lututnya masih terasa sedikit nyeri. Hal itu tak luput dari perhatian Bari.
“Masih sakit ya? Sini aku gendong aja!”
“Nggak usah!” tawa Diva. “Cuma sakit dikit, nanti lama-lama jalan juga membaik.”
“Yakin?” tanya Bari khawatir.
“Iya!”
Diva langsung menggandeng tangan Bari keluar dari UKS. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada siswi penjaga UKS.
Selama perjalanan menuju kantin, Diva dan Bari terus bercanda. Bari memang selalu konyol dan bisa membuat Diva tertawa karena tingkah kocaknya.
“Nah, mau makan apa, Div? Biar aku yang pesanin,” ucap Bari. Mereka mengambil bangku yang sedikit di ujung agak jauh dari semua stan-stan makanan.
“Nasi goreng aja. Sama es teh ya!”
“Siap, Tuan Putri!” ucap Bari langsung melesat pergi.
Setelah itu Diva menunduk, mengamati lututnya sambil tersenyum. Dengan hati-hati ia menyentuh plester bergambar BT21 sambil membayangkan bagaimana wajah Samudra tadi saat mengobati lukanya. Diva senyum-senyum sendiri. Sampai satu bulan ke depan, ia tidak akan mencabut plester kenangan di kakinya!
“Eh, Diva! Sendirian aja?” Rino tiba-tiba duduk di samping Diva. Di sebelahnya berdiri Farrel dan Samudra yang sama sekali tidak tertarik dengan Diva. Pria itu sibuk menyapukan pandangan di area kantin, mencari-cari manakah bangku kosong yang masih tersedia.
“Rino,” sapa Diva. Ia tersenyum pada Farrel yang langsung ikut bergabung duduk di seberang meja Diva.
“Hai, Div! Kita boleh gabung di sini kan? Kayaknya udah nggak ada bangku kosong lagi,” kata Farrel.
“Boleh dong!” angguk Diva, mencuri-curi lirik pada Samudra.
“Udah duduk sini aja, Sam! Udah penuh juga!” Tanpa menunggu persetujuan dari Samudra, Farrel sudah menarik sahabatnya duduk di sampingnya.
Beberapa menit kemudian, Rino dan Farrel berdebat tentang siapa yang harus memesankan makanan. Setelah suit kertas gunting batu—sungguh Diva ingin tertawa melihat mereka bertiga berkelakuan seperti anak-anak kecil di depan mata—Farrel kalah suit. Itu berarti dialah yang harus pergi memesan makanan.
“Lo nitip juga nggak?” tanya Farrel.
“Giliran cewek aja langsung ditawarin. Kalau gue aja pake acara debat,” sindir Rino.
“Ya makanya lo pakai rok dong biar gue tawarin langsung!”
“Penja-hat kela-min lo!” seru Rino sambil ngakak.
“Jadi nitip?” tanya Farrel.
“Diva menggeleng. “Nggak. Aku udah ada teman tadi yang mesenin. Thanks ya!”
“Oh, oke sip!”
Farrel pun bergegas pergi. DI mana hanya berselang beberapa detik, Bari sudah kembali membawa dua buah piring nasi goreng. Di belakangnya ada Aldo yang mengikuti sambil membawa dua gelas es teh.
Awalnya Bari sedikit terkejut karena sekarang Diva tidak duduk sendiri. Perempuan itu sedang asik ngobrol dengan Rino yang membuat hati Bari sedikit panas.
“Ini nasi goreng buat Tuan Putri cantik!” ucap Bari, meletakkan satu piring di depan Diva. Karena Rino sudah duduk di samping Diva, maka Bari mengambil tempat duduk di seberang, tepat di samping Samudra.
Aldo menyerahkan dua es teh di tangannya kemudian berlalu pergi. Ia tidak bersama dengan Bari sebab tadi Bari mengatakan ia mau berduaan saja dengan Diva di kantin, meski Aldo sekarang hampir menertawakan bosnya karena rencana tersebut nampaknya gagal.
“Biar gue tebak. Nasi goreng adalah makanan favorit lo!” ucap Rino.
Diva mengangguk. “Kalau kamu sendiri, makanan favorit kamu apa?”
“Bakso,” ucap Rino. Tepat saat itu ia melihat Diva meirik Samudra, lalu ia melanjutkan kalimat. “Kalau Samudra mah sama. Dia juga suka banget sama nasi goreng kayak kamu!”
“Beneran?” tanya Diva.
Rino mengangguk, mengabaikan tatapan tajam dari Samudra.
“Iya!”
Diva pun tersenyum, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya.