Diva terbatuk-batuk hebat saat mencium aroma sambal digoreng. Ia mengibaskan tangan di depan muka sementara sudut matanya mengeluarkan air mata.
“Bibi, kok baunya gini!” seru Diva.
“Harum kok, Non!” sahut Bi Inah sambil nyengir. Tidak heran jika Diva terbatuk hebat mencium bau sambal yang digoreng sebab baru pertama kali selama belasan tahun ini, Diva memasak.
Setelah mencuci muka di wastafel dan memastikan hidungnya tidak gatal lagi, Diva mendekati Bi Inah kembali, mengamati sambal merah yang kini mulai berubah menjadi kecokelatan. Bi Inah benar, lama-kelamaan bau sambal ini memang tercium harum.
“Nah, kalau sambalnya sudah berubah warna dan tercium aroma harum kayak gini, baru deh kita campur sama sosis. Telur juga boleh atau apapun toping yang Non suka!” ucap Bi Inah menjelaskan, sementara tangannya dengan gesit menuangkan potongan sosis ke dalam wajan.
“Setelah itu, baru deh kita masukkan nasi secukupnya. Ingat ya, Non! Nasinya harus sesuai sama sambal yang dibuat. Jangan terlalu sedikit atau terlalu banyak. Kalau terlalu sedikit nanti nasi gorengnya bisa terlalu pedas, kalau terlalu banyak nanti nasi gorengnya kurang nendang rasa sambalnya!”
Diva mengangguk-angguk saja, padahal ia sedang berusaha menahan air liurnya yang ingin menetes. Maklum saja, Diva sudah teramat lapar.
Bi Inah mengaduk-aduk nasi tersebut hingga rata dengan bumbu, barulah ia menaburi garam secara merata. “Ingat juga, Non! Garamnya jangan kebanyakan, juga jangan terlalu sedikit. Kalau Non nggak yakin, Non bisa incip rasa tiap setengah sendok garam.”
“Nggak dikasih gula Bi?”
“Nasi goreng nggak perlu dikasih gula, Non!” tukas Bi Inah.
Beberapa menit kemudian, nasi goreng sudah matang. Bi Inah mengambil sebuah teflon dan meletakkannya di atas kompor.
“Buat apa, Bi?” tanya Diva.
“Ya kan nasi goreng lebih nikmat kalau dimakan sama lauk telur ceplok mata sapi, Non!” kekeh Bi Inah. Ia membuka kulkas dan mengambil dua butir telur dari sana.
“Ini, coba Non Diva buka ini telur. Bisa nggak?” kata Bi Inah sambil menyerahkannya satu pada Diva. “Karena ini pertama kali buat Non Diva, coba dulu ditaruh di mangkuk ini.”
Diva mengamati telur di tangan. Lalu tanpa banyak basa-basi, dia membenturkannya di tepi mangkuk sesuai dengan apa yang pernah dia lihat di TV. Hal itu pasti membuat isi telur pecah berantakan.
Bi Inah tertawa. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Bukan gitu caranya, Non!” tukas Bi Inah. Ia mengambil lap untuk membersihkan cairan telur yang berceceran di atas meja pantries.
“Sini, Bibi ajarin caranya!” lanjut Bi Inah dengan nada bangga. Jelas saja sebab dulu ia pernah punya cita-cita menjadi guru tata boga. Tapi apa daya saat dunia mengatakan bahwa kekurangan uang memaksanya untuk banting setir menjadi asisten rumah tangga?
“Saat Non membenturkan kulit telur, jangan terlalu pelan tapi jangan juga terlalu kencang Non!” Bi Inah pun mempraktekkannya langsung, membiarkan Diva melihat bagaimana proses itu terjadi. “Kalau sudah, baru kita buka pelan-pelan, isinya kita tuang ke dalam mangkuk! Begini ....”
Merasa mengerti, Diva mengangguk paham. Ia pergi ke kulkas lagi dan mengambil satu buah telur. Tak lupa dengan mangkuk kecil sebagai wadah.
Bi Inah dengan sabar mengajari Diva. Dan Diva senang karena pada percobaan keduanya ia berhasil. Yah, meski pada awalnya kulitnya kurang retak dan kedua kalinya sedikit berceceran. Namun menurut Bi Inah, itu sudah cukup baik dari pada yang pertama.
“Sekarang Non Diva belajar menggoreng telur sini.”
Kurang lebih 10 menit kemudian dua buah telur ceplok telah masak. Diva mengambil dua buah piring dan menuangkan nasi goreng dalam piring. Berikut dengan telur mata sapi buatannya.
Diva makan malam dengan Bi Inah. Sesekali Bi Inah menceritakan masa kecilnya di mana saat ia tidak bisa memasak, ibu Bi Inah sering mencubitnya.
“Yah kalau di desa mah, apa lagi orang jaman dulu Non, tuntutan anak perawan harus bisa masak sedini mungkin. Sama kayak menikah. Jangankan di jaman sekarang yang umur 24 atau 25 baru menikah, jaman dulu lulus SD saja sudah nerima lamaran.”
Diva terkekeh geli. Tidak bisa membayangkan bocah baru lulus SD tapi sudah dilamar.
Selesai makan, Diva pun mulai bereksperimen. Bi Inah sudah memberitahu berapa kira-kira bawang merah, bawang putih dan cabai yang diperlukan Diva untuk membuat satu piring nasi goreng, sementara wanita yang sudah menyandung status janda itu pergi ke kamar untuk mandi dulu.
“Demi Samudra!” semangat Diva pada diri sendiri.
Ia mulai mengupas semua bumbu kemudian dengan penuh perjuangan dan mengalirkan keringat juga air mata, Diva menguleg semuanya hingga menjadi bumbu halus.
Aaron yang entah sejak kapan muncul dan duduk di atas meja pantries mengamati Diva sambil tertawa ngakak. Namun saat Diva melayangkan tatapan tajam, pria itu langsung menghilang seperti sebuah jin!
“Coba gue tebak, rasa masakan lo nanti pasti aneh!” celetuk Aaron tiba-tiba muncul di samping Diva. Ia tertawa lalu menghilang, seolah tau Diva hendak memukulnya dengan ulegan sambel.
“Gue sih berdoa supaya besok Samudra nggak sakit perut!”
Ting!
Lagi-lagi Aaron menghilang dengan cepat dan berpindah-pindah tempat.
“Ish, Aaron! Jangan ngeselin! Pergi, pergi!” usir Diva kesal. “Lagian sejak kapan bahasa kamu berubah jadi aneh gitu?” tanya Diva.
“Ini namanya menyesuaikan diri, Diva! Karena klien-ku adalah anak remaja maka aku juga mempelajari—ehm, maksudnya gue juga mempelajari bahasa-bahasa anak jaman sekarang. Apa itu namanya, bahasa gaul atau bisa juga disebut dengan bahasa slang,” jelas Aaron nampak bangga dengan kecerdasannya memaparkan argumennya.
“Bukan bahasa slang atau gaul tapi bahasa a-lay!” sahut Diva.
“Jadi Samudra juga a-lay? Cara dia berbicara kan sama kayak gini.”
“Khusus buat Samudra, apapun nggak akan jadi a-lay!” sanggah Diva sambil menjulurkan lidah.
“Dasar pilih kasih!” gerutu Aaron. “Gini nih yang namanya bucin! Heran sama para Cupid, kok bisa mereka bekerja membuat anak adam saling jatuh cinta. Hiiiisshhh ... geli! Huek cuih!”
“Sekarang Diva tanya sama kamu, emangnya para Dewa di dunia kamu nggak ada yang pernah jatuh cinta?”
Aaron tersenyum miring, mengambil sebuah apel namun gagal karena belum minta ijin pada sang empu rumah. Pria itu menoleh dan Diva langsung mengangguk mengijinkan, barulah Aaron bisa mengambil sebuah apel dan langsung menggigitnya. Ia pun duduk seenaknya di atas pantries.
“Beberapa Dewa mengalaminya, tapi sangat-sangat jarang.”
“Jarang?”
“Mmmm-hmmm,” angguk Aaron, menggigit apelnya sekali lagi. “Bandingannya seperti manusia dan hantu. Jarang bukan kasus di mana manusia jatuh cinta sama hantu atau sebaliknya? Mereka akan memilih dari jenis mereka sendiri.”
Diva ber-oh ria.
“Kamu sendiri di dunia para Dewa, ada sosok Dewi yang kamu suka?”
Lagi-lagi Aaron tersenyum miring. “Kamu pikir Dewa sama dengan manusia? Mudah jatuh cinta dan patah hati? Beda, Diva! Kebanyakan kami tidak memiliki perasaan yang sangat khusus. Kami sudah terllau sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada waktu untuk hal remeh seperti itu.”
“Tapi?”
“Tapi memang ada beberapa Dewa maupun Dewi yang saling jatuh cinta dan menikah. Namun again, kamu harus menggaris bawahi bagian di mana usia mereka rata-rata sudah lebih dari seribu tahun, ketika mereka sudah berjenggot atau beruban, barulah mereka akan memiliki perasaan pada lawan jenis.”
“Udah tua dong!” celetuk Diva.
“Di dunia kami tidak ada istilah tua. Yang ada usia matang.”
“Kalau gitu, Dewa juga bisa meninggal?”
Baru saja Aaron membuka mulut hendak menjawab, teriakan Bi Inah terdengar.
“Sudah belum, Non?”
Seketika itu juga Diva langsung ingat tujuan utamanya, yakni belajar memasak. Cepat-cepat ia mengambil spatula dan mengumpulkan sambal dari cobek seraya berseru, “Ini baru habis bikin bumbu halus!”
Kepala Bi Inah akhirnya muncul di ruang dapur. Wanita itu tersenyum lalu menyusul Diva ke dalam area pantries. Daster garis-garisnya tadi sudah berganti dengan daster bunga-bunga, kentara jika pakaian bernama daster merupakan pakaian favorit wanita tersebut.
“Bi Inah mau ngapain?” tanya Diva saat asisten rumah tangganya menyiapkan penggorengan.
“Ya bantuin Non Diva lah!”
“Bantunya lihat aja di sana, Bi! Kalau Bi Inah ikutan nanti jadinya ini masakannya Bi Inah bukan masakan Diva!” ucap Diva, mengusir wanita tersebut dan mendorongnya ke kursi di balik meja pantries.
“Nah, Bibi amati Diva dari sini ya, nanti kasih tau apa aja yang harus Diva lakuin. Oke?”
“Siap, Non!” jawab Bi Inah semangat.
Kembali ke dalam pantries, Diva mulai menyalakan kompor. Bi Inah berkata pada Diva agar apinya dikecilkan dulu agar tidak terlalu besar dan Diva pun melakukannya.
“Segini, Bi?”
“Iya!”
Setelah itu barulah Diva menuangkan bumbu halus hasil uleg-annya dalam wajan. Karena minyak dalam wajan sedikit meletik, Diva pun langsung berlari menjauh.
“Aduh, masak kok begitu!” tegur Bi Inah. “Gosong itu sambalnya kalau nggak segera di aduk-aduk.”
“Iiih takut panas, Bi!” protes Diva, tapi tetap saja dia bergerak maju mengambil spatula. Dengan takut-takut dan gerakan amat pelan ia memberanikan diri menggoreng sambal dalam wajan. Ia bernapas lega saat lama kelamaan minyaknya sudah tidak meletik lagi.
“Ini sampai gimana nih Bi warnanya?” tanya Diva setengah berteriak.
“Sampai sambal warnanya agak kecokelatan sama tercium bau harum, Non!”
“Oke!”
“Kalau sudah, masukkan toping!”
“Loh, Diva lupa potong sosis Bi!”
“Waduh, Non. Gimana atuhh??”
“Bentar, Diva potong dulu.”
“Itu gosong kalau sambalnya ditinggal Non!”
“Ya terus gimana dong?”
“Nggak usah pakai toping dulu deh, langsung masukkan nasinya!”
Selama beberapa menit Diva kebingungan sendiri. Bi Inah terus memberikan petunjuk bagaimana dan kapan Diva harus mengaduk nasi, mencampurnya dengan garam, mengaduknya lagi dan mendiamkan beberapa saat.
Saking gaduhnya, Aaron yang melihat dari sudut ruang memutar bola mata. Ia menghilang dan pindah ke lantai dua. Duduk di sofa dengan nyaman sambil melanjutkan nonton salah satu drama korea bertema kolosal.
***
Selesai dengan nasi goreng, Diva mulai menggoreng telur ceplok mata sapi. Kali ini lebih mudah bagi Diva meskipun ia harus mencoba beberapa kali karena kuning telurnya hancur terus.
“Fiuh, akhirnya selesai juga!” ucap Diva. Ia mengambil sebuah piring untuk meletakkan nasi goreng hasil buatannya dan telur mata sapi.
Sempat Diva merasa ragu karena dari segi aroma saja sudah tidak meyakinkan. Namun ia menggelengkan kepala dan berusaha positif. Berbalik, Diva menyerahkan satu piring nasi goreng tersebut pada Bi Yana.
“Sekarang, Bibi coba!” kata Diva yang langsung diangguki oleh Bi Inah.
Tanpa ragu, wanita paruh baya itu menyendok nasi goreng buatan Diva. Dan saat kunyahan pertama, Bi Inah langsug terbatuk-batuk hebat.
“Asin banget Non!” celetuk Bi Inah, segera berlari engambil air putih.
Diva mengernyit, lalu mencoba sedikit. Ternyata Bi Inah benar, nasi gorengnya asin sekali.
“Kok bisa asin, Bi?”
“Lah, Non Diva tadi ngasih garam berapa?”
“Ya kan tadi asal Diva kasih garam, pas Bibi bilang stop, baru Diva stop. Udah sesuai petunjuk banget kok Bi!”
“Aduh, Non... Saya juga salah. Yang benar itu sesuai petunjuk pertama saya. Kasih garam sedikit-sedikit langsung incip rasa, biar nggak keasinan kayak gini!”
Diva meringis.
“Sekarang Bibi coba telurnya ya.”
Bi Yana memotong sedikit telur buatan Diva. Cukup lama dia merasakan makanan itu ke lidah sebelum akhirnya ia memberi komentar secara jujur.
“Nasi gorengnya terlalu asin, ini telurnya malah hambar banget kayak nggak ada rasa sama sekali.”
“Tapi tadi udah Diva kasih garam kok.”
“Oh, berarti ngasihnya nggak rata, Non. Kemungkinan ada bagian yang asin dan bagian yang hambar.” Setelah itu Bi Inah menjelaskan bagaimana cara menaburkan garam di atas telur ceplok mata sapi agar bisa merata. Diva menyimak dengan seksama dan penuh perhatian.
“Paham, Non?”
Diva mengangguk dan bergumam iya. Gadis itu pun berbalik dan mulai mencoba memasak lagi.
“Bi Inah sambil main Insta ya, Non!”
“Siap, Bi!” seru Diva. “Eh tapi ini berapa bawang merah sama bawang putihnya?”
Bi Inah menyebutkan kira-kira takarannya dan beberapa menit kemudian Diva sudah kembali sibuk berkutat dengan kegiatan memasaknya.