NO

1600 Kata
“Bagaimana kalau kau menikah denganku saja?” Bertahun-tahun mengenal pria itu, Rachell tahu benar seperti apa seleranya. Para wanita yang hilir-mudik di pelukan Xander biasanya cantik, seksi, cerdas, dan memiliki kelas yang berbeda. Jika mereka berjalan berdampingan, orang-orang akan melihat untuk kagum.  Dibandingkan dengan Rachell, mereka terlihat seperti air dan minyak. Xander airnya karena pria itu bisa memuaskan dahaga para wanita hanya dengan senyuman dan Rachell minyaknya, karena wajahnya penuh jerawat.  Tentu saja, Rachell terkejut mendengar pernyataan Xander. Kedua matanya bahkan nyaris menggelinding keluar. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya kalau Xander akan mengajaknya menikah. Bermimpi saja tidak pernah. Mungkinkah pria itu sedang mengoloknya? “Aku tidak mau,” jawab Rachell cepat sedetik kemudian. Xander menganga tidak percaya. “KENAPA?” “Kau tahu benar alasannya kenapa,” Rachell memutar bola mata, kembali mengalihkan perhatian pada layar televisi. “Tidak. Aku tidak tahu.” Xander protes. “Coba kau lihat aku sekarang. Aku tampan, anak orang kaya, dan aku sahabatmu. Lihat, aku bahkan punya otot.” Seperti orang bodoh, pria itu berdiri di depan layar televisi dan memberikan gaya seperti seorang binaragawan. Dia menunjukkan kedua otot tangannya yang menyembul keluar. Begitu bangga.  Rachell menaikkan alis. Tidak terkesan sama sekali. Setiap hari, dia melihat Xander olahraga, juga tidak pakai baju. Itu pemandangan yang biasa. Tidak ada hal yang baru. “Kau lihat ini? Six pack!” Dan dia memukul perutnya yang kotak-kotak, lalu mengerang kesakitan ketika pukulannya terlalu keras mengenai bagian yang sakit. Rasakan. “Wanita yang menikah denganmu adalah wanita tersial di seluruh dunia,” balas Rachell kejam. “Aku belum mau terjebak sial denganmu selamanya. Minggir dari sana. Aku masih menonton.” Xander masih belum mau minggir. “Bagaimana kau bisa berkata seperti itu padaku? Kau memang harus terjebak denganku selamanya. Memangnya, siapa yang akan menikah denganmu kalau bukan aku?” Mereka membahas ini sekarang? Rachell memutar bola mata lagi. “Aku belum tua.” “Tentu saja kau sudah tua. Wanita yang belum menikah saat menginjak dua puluh lima tahun akan dicap perawan tua.” Rachell merasa kalau Xander baru saja menyiram minyak ke bara api. “Jika kau lupa, Xander, aku masih berusia dua puluh tiga tahun. Kita seumuran.” Xander tidak mendengarkan. “Dua tahun lagi, Rachell! Kau bahkan tidak pernah pacaran sebelumnya. Satu-satunya pria di sekelilingmu hanya aku. Kau tidak mungkin menikah dengan orang yang baru saja kau kenal kan?” kata Xander lagi.  “Masih ada dua tahun lalu sebelum aku menjadi perawan tua. Itu akan kupikirkan nanti,” kata Rachell mencoba untuk melihat ke layar televisi. Namun lagi-lagi, Xander menghalangi. “Aku jodohmu! Kau harus menikah denganku! Kau satu-satunya orang yang tahan denganku. Ke mana lagi aku bisa mencari orang sepertimu?” “Kau sudah gila,” Rachell melempar bantal, tepat mengenai kepala Xander. “Minggir dari sana, aku masih mau nonton.” Xander mencibir, tapi kali ini sama sekali tidak membantah. Dia kembali duduk di lantai, memeluk bantal yang tadi dilempar Rachell. Untuk sejenak, tidak ada dari antara mereka yang bicara. Suara dari televisi kembali terdengar. Tontonan itu jadi tidak menarik lagi jika Xander ngambek di dekat Rachell. Pria itu dengan terang-terangan menunjukkan rasa kesal. Dia memukul bantal dalam diam, menatap galak pada benda malang itu. Xander memang kekanakan, Rachell hanya bisa geleng-geleng kepala. “Aku akan mempertimbangkan untuk menikah denganmu,” kata Rachell. Xander menatapnya tidak percaya, mata berbinar semangat, “tapi dengan syarat…” “Syarat? Kok gitu sih?” “Kau pikir aku mau menikah begitu saja denganmu? Sudah kubilang kalau aku tidak mau terjebak selamanya dengan pria sial sepertimu.”  Xander mendecak. “Apa syaratnya?” Rachell mengangkat jari telunjuk, “Pertama, aku ingin kau lulus kuliah dengan nilai bagus. Kedua, kau tidak boleh bertengkar lagi dengan orang tuamu. Ketiga, berhentilah pecicilan dan mulai cari pekerjaan sambilan. Tidak ada wanita yang hidup hanya dengan makan cinta dan gombalmu. Keempat, jika ketiga permintaanku ini terpenuhi, kau harus melamarku lagi saat aku berusia dua puluh lima tahun dengan cara yang lebih romantis. Mungkin, aku akan pikir-pikir lagi untuk menerimamu.” Xander tidak bisa bicara. “Itu--” “Jika kau tidak bisa, maka lupakan untuk menikah denganku.” Rachell tersenyum penuh kemenangan. *** Dua Tahun Kemudian, “Rachell, aku tahu kalau kau wanita yang tidak berperasaan. Tapi kau terlambat lebih dari setengah jam.”  Di pagi hari yang cerah seperti ini, Rachell harus mendengar suara menyebalkan Xander. Selama lima belas menit, pria itu menerornya dengan telepon. Jadi mau tidak mau, Rachell terpaksa menerima panggilan dengan suara mengantuk.  “Aku sedang dandan.” Rachell membela diri, segera tersadar.  “Jangan bohong. Aku tahu kalau kau baru bangun.” Xander mengomel, “Kau itu tidur seperti babi. Sulit dibangunkan.”  b******k. “Jangan samakan aku denganmu.”  Rachell tidak bisa membela diri karena apa yang dikatakan Xander memang benar. Setelah menonton film horror sendirian selama enam jam non stop, Rachell justru tidak bisa tidur karena takut didatangi hantu. Rachell lupa sama sekali kalau hari ini dia ada janji dengan Xander.  “Aku tidak tahan lagi. Aku akan menjemputmu. Kau harus sudah siap saat aku datang nanti, kau dengar? Awas saja kalau tidak.”  Dan pria menyebalkan itu menutup telepon.  Rachell mendesis kesal dengan memelototi layar telepon beberapa detik, sebelum akhirnya dia tersadar lagi. “Oh my God! Dia akan kemari!”  Seperti terkena setrum, Rachell melompat dari tempat tidur, nyaris tergelincir dan buru-buru masuk kamar mandi. Dia mandi secepat kilat, buru-buru menyikat gigi dan merias wajah. Jika Xander melihatnya tidak bersiap, pria itu akan mengomel selama dua jam. Mereka akan bertengkar sepanjang perjalanan. Sama sekali tidak asik.  Rachell sudah lama tidak bertemu Xander. Nyaris dua bulan. Dia tidak ingin waktu dan tenaganya terbuang percuma karena mendengar omelan pria itu.  Wanita itu nyaris kehabisan napas begitu suara bel rumah berdering dan suara Xander membahana dari lantai satu.  “Rachell, aku datang!”  “Aku sedang dandan!” balas Rachell. “Jangan naik!”  “Aku tidak percaya!”  Terdengar suara Xander yang semakin mendekat. Rachell melihat dirinya sekali lagi di cermin, memperbaiki letak rambutnya. Kini, rambut keriting itu sudah diikat ke belakang dan dihias pita merah. Tidak buruk. Tidak ada orang yang akan menyangka kalau dia belum keramas. Dia mengenakan kaos putih polos kasual dengan blazer merah sederhana, dipadu dengan jeans hitam dan sepatu kets. Tidak tampak formal, juga tidak tampak santai. Sempurna.  Puas dengan penampilannya, Rachell mengambil parfum, menyemprotkan benda kecil itu ke seluruh tubuhnya tepat saat pintu menjeblak terbuka. Sial. Rachell lupa kunci pintu.  “Mengejutkan. Kau memang sedang dandan.”  Xander berdiri di ambang pintu, terlihat terkejut sedikit.  Lama tidak melihatnya, pria itu kini tampil jauh lebih tampan dari sebelumnya. Ada sesuatu yang perlahan-lahan berubah darinya. Xander tidak lagi memiliki rambut berantakan, melainkan rambut pendek yang disisir rapi, nyaris memperlihatkan bagian kulit kepala. Ada bakal janggut tumbuh di sekitar rahang. Penampilannya kini lebih dewasa. Dia mengenakan kemeja biru dilapis dengan blazer cokelat yang tidak dikancing dan bagian lengannya digulung, memperlihatkan jam tangan kulit yang senada dengan penampilannya. Kilatan di matanya kini jauh lebih tenang dari sebelumnya.  “Aku tidak menyangka kalau aku akan melihat sahabat kecilku berdandan untuk pergi kencan denganku.”  Kecuali sikapnya, tentu saja. Seketika rasa kagum Rachell tadi hilang.  “Kita akan pergi kencan? Kupikir kau bilang kalau kau akan meneraktirku makan karena kau naik pangkat.”  Sekitar sepuluh bulan lalu, Xander tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya karena pria itu diterima bekerja di luar kota, di salah satu perusahaan periklanan. Pria itu jarang sekali pulang. Mereka hanya bisa sekali bertemu sekali dalam dua minggu, jika beruntung. Seminggu yang lalu, Xander bilang kalau dia naik pangkat menjadi Asisten Manager dan ingin merayakan kabar bahagia itu dengan Rachell.  “Tentu saja. Bagaimana mungkin aku bisa lupa.” Xander tertawa renyah.  Menjadi perantau di kota orang ternyata membuat Xander menjadi lebih dewasa. Ada aura di sekitarnya yang jauh lebih tenang. Tidak meledak-ledak seperti dulu. Dan senyumannya tidak lagi menggoda, terlihat jauh lebih tulus.  “Dua bulan tidak melihatmu, aku tidak menyangka kalau kau sama sekali tidak berubah,” kata Xander lagi. Rachell menaikkan alis tidak mengerti. “Aku bisa melihat pakaian dalammu menggantung di sana.”  Rachell melihat arah yang ditunjuk Xander dan menganga melihat bra yang kemarin dia lempar dengan asal kini menggantung di kursi belajar.  Xander tersenyum lebar melihat semburat merah jambu muncul di wajah Rachell. “Aku tidak menyangka kalau kau suka warna pink.”  “Itu sebabnya aku melarangmu masuk ke kamarku!” Rachell mendorong Xander keluar dari pintu. “Sekarang keluar! Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke kamarku lagi!”  Xander masih terbahak-bahak. “Aku akan menunggu di mobil, Rachell.”  Rachell menjerit kesal, menghentak-hentakan kaki dengan gemas. Wanita itu memaki diri sendiri saat dia berjalan menyebrangi kamar untuk mengambil benda memalukan itu dan melemparnya ke kamar mandi.  Saat Rachell turun, wajahnya masih memerah dan banjir keringat. Jika Rachell bisa memilih, dia ingin sekali kabur dan tidak menghadapi Xander. Pria itu pasti akan menertawakannya sepanjang perjalanan.  “Yah, Rachell berangkat dulu.” Rachell berpamitan pada ayahnya yang sedang duduk sambil menonton televisi.  “Kalian mau ke mana?”  “Makan di luar. Ayah ingin dibawakan sesuatu dari luar?”  “Tidak usah. Tapi, Rachell…” Kalimatnya menggantung di udara, jadi Rachell berbalik lagi untuk melihat pria tua nyaris ubanan itu, “apakah kalian berdua pacaran?”  Rachell mendengus. “Ayah ini ngomong apa? Ayah kan tahu sendiri aku dan Xander sahabatan sejak kecil.”  Dahi Sang Ayah mengerut. “Rachell, tidak ada persahabatan sejati antara wanita dan pria. Jika salah satunya tidak menyimpan rasa, maka bisa jadi salah satunya—” Ayahnya berbisik penuh rahasia, “—homo.”  Rachell tidak tertawa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN