Childhood Bestfriend
Wanita itu mengendap-endap dalam kegelapan. Dengan punggung basah menempel di dinding, jantung yang berdetak kencang luar biasa, dia berjalan perlahan, seperti kepiting menuju sisi yang lain. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua mata menatap liar ke seluruh tempat. Di genggaman tangan dia memegang tongkat baseball, sedikit gemetar, tapi dia berusaha memantapkan hati.
Dia menunggu dalam diam ketika angin mengembus perlahan, menggerakkan daun jendela yang telah rusak. Pantulan bayang-bayang penampakan pepohonan dari luar memberikan kesan suram di dinding, sebagian memberikan pemandangan mengerikan.
Wanita itu meneguk ludah begitu dia mendengar suara itu lagi, suara tarikan napas, begitu lambat dan bergetar nyaris ke seluruh ruangan.
Tangan wanita itu gemetar lagi. Bulu kuduk berdiri begitu merasakan ada pergerakan dari belakang. Seperti hantu yang mengintai. Bersiap mengangkat tongkatnya lebih tinggi, wanita itu berjalan perlahan ke sisi dinding. Sosok itu bergerak, langkahnya begitu pelan, mengendap-endap, nyaris tidak terdengar.
Suara napas itu semakin lama semakin dekat, nyaris mengendus perlahan di sekitar lehernya. Mendekat penuh ancaman dan--
"Apa yang kau lakukan?"
Bisikan itu terdengar begitu dekat di telinga secara tiba-tiba.
Rachell menjerit kencang bersamaan dengan jeritan aktris wanita yang terbunuh di televisi. Popcorn yang berada di pangkuan berhamburan ke udara bersamaan dengan darah yang memuncrat di layar televisi. Secara refleks, dia cepat-cepat lari menyalakan lampu kamar yang ada di dekat pintu kamar, selimut menutupi kepala, dan menabrak meja belajar.
Terdengar suara tawa keras-keras. Terdengar tidak asing di telinga.
Rachell mengerutkan dahi, mengintip dari balik selimut. Di kegelapan, disinari cahaya televisi, dia melihat bayangan seseorang, sedang menertawakannya.
Sosok yang dia kenal.
Xander. Sahabat kecilnya.
"Xander!" Rachell menjerit lagi, "Kurang ajar kau!"
Xander malah tertawa semakin kencang. "Kau--harus--lihat--wajahmu!"
Rachell menggeram jengkel, bangkit dan menyalakan lampu kamar. Sinar lampu segera menerangi ruangan, memperlihatkan setiap sudut kamarnya yang sempit.
Dinding kamar berwarna biru pucat sederhana, ditempel dengan poster band rocker terkenal. Lemari pakaian tua berwarna cokelat berdiri menyedihkan di dekat jendela yang terbuka lebar. Di tengah ruangan, tepat menghadap pada televisi, ada tempat tidur yang menempel di lantai. Di sana, Xander berguling-guling sambil tertawa, dikelilingi oleh popcorn.
Xander Elton, pria menyebalkan yang berpredikat menjadi sahabat kecilnya, nyaris menangis karena tertawa. Rambutnya berwarna cokelat gelap, nyaris berwarna hitam. Dia tinggi, memiliki tubuh atletis dan kulit sawo matang pucat. Kaos yang dia kenakan tampak kotor dan penuh keringat. Jaket kulit yang biasa dia kenakan kini tergantung di dekat jendela.
Rachell menatapnya galak, penuh tuntutan. “Aku sudah melarangmu untuk datang lewat jendela!”
Tapi pria itu malah semakin terbahak begitu melihat ke arahnya. Tangannya menunjuk lemas. Sepertinya, dia baru saja melihat sesuatu yang menarik.
“Berhenti tertawa, b******k!” gerutu Rachell lagi berjalan mendekat ke arahnya. Ingin sekali dia menendang pria itu.
Pria itu tidak akan berhenti tertawa. Bagaimana mungkin dia bisa berhenti tertawa saat melihat penampilan Rachell saat ini? Wanita itu berdiri di dekat pintu dengan selimut menutupi kepala. Rambut hitam keritingnya mengintip dan menjuntai berantakan. Ada popcorn menempel di selimut, rambut bahkan wajahnya.
Yang paling lucu, Rachell mengenakan piama Sponge Bob, berwarna kuning cerah. A-S-T-A-G-A. Lengkap sudah lelucon malam ini.
Rachell mendekatinya dan mulai memukul punggungnya dengan kesal.
“Berhenti tertawa! Jangan tertawa lagi! Kenapa kau masih tertawa?”
Xander menarik napas, berusaha untuk menghentikan tawanya. “Se--sejak kapan--kau punya--Sponge Bob?” Dia tertawa lagi.
“Jika kau tertawa lagi, lebih baik kau keluar dari kamarku.” Rachell mengancam, mengambil bantal dan mulai memukul Xander dengan benda itu.
“Ampun… Ampun…” Xander menutupi wajah dengan tangan. “Aku ke sini ingin curhat.”
“Aku tidak ingin dengar curhatmu!”
“Kau harus mendengarku. Kau sahabatku.”
“Aku tidak punya sahabat yang menertawakanku.”
“Apa maksudmu? Bukankah itu arti persahabatan yang sesungguhnya?”
Rachell menyipitkan mata. “Hanya kau yang memproklamirkan itu sejak dulu.” Wanita itu menggerutu, melipat tangan jengkel dan dagu menaik penuh hormat. “Kenapa kau berpikir bahwa aku mau menjadi sahabatmu karena sebuah krayon?”
“Karena hanya kau yang mau meminjamkan krayon padaku,” kata Xander lagi, mengambil posisi duduk. “Persahabatan dimulai sejak aku menerima krayon darimu. Itu masa kecil yang indah sekali.”
Rachell tidak tertawa. Kejadian itu sudah lama sekali. Mungkin sekitar dua puluh tahun lalu, ketika mereka masih berusia tiga tahun dan masih mengenakan popok. Waktu itu, Rachell hanya tidak tega melihat Xander yang menangis karena tidak membawa krayon, jadi dia meminjamkan miliknya untuk dipakai bersama. Wajah Xander kecil yang tersenyum kecil saat itu benar-benar lucu. Dia menganggap Rachell kecil sebagai super hero.
Dulu, Xander kecil begitu manis dan menyenangkan. Siapa yang menyangka kalau dia akan menjadi seperti ini ketika sudah dewasa.
Xander mulai populer di masa remaja. Menginjak SMA, pria itu mulai dikelilingi oleh wanita. Rachell tidak pernah sekali pun melihat pria itu sendirian. Ada saja wanita yang bertengkar memperebutkannya. Bahkan, beberapa dari mereka menganggap bahwa Rachell adalah saingan. Tidak sedikit yang menganggap bahwa Rachell adalah pengganggu hubungan.
Ketika memasuki masa kuliah, keadaan jauh lebih parah. Xander bergaul dengan geng bermotor. Pria itu mulai sering pulang pagi. Terkadang, Rachell mendengar pertengkaran Xander dan kedua orang tuanya. Bolos kuliah sudah jadi rutinitas. Melihatnya putus dan punya pasangan baru bukan kabar baru. Melihatnya ditampar wanita yang sakit hati sudah jadi pemandangan setiap hari.
Sialnya, tiap kali Xander tidak ingin pulang ke rumah, pria itu selalu datang ke kamarnya. Melalui jendela.
Meski Rachell sudah berulang kali mengingatkan pria itu untuk masuk lewat pintu, dia tidak mendengarkan. Xander bahkan sudah belajar cara membuka jendela yang terkunci. Tidak ada lagi yang bisa menghentikannya.
Jika saja Rachell tidak pernah meminjamkan krayon pada Xander, mungkin hidupnya akan terasa lebih mudah. Mengapa sekarang dia terjebak pada pria b******k seperti Xander atas nama persahabatan?
“Kau tahu,” Xander memulai curhatannya, “hari ini aku benar-benar mengalami hari yang buruk.”
Rachell memilih untuk tidak menanggapi dan hanya menaikan alis.
“Papa mencabut kartu kreditku. Aku diusir dosen karena telat dan dilarang untuk masuk kelasnya selama satu semester. Motorku mogok di tengah jalan. Dianne menamparku karena aku mencium Nia. Dan ternyata Nia justru pacaran dengan Roy, musuh bubuyutanku. Aku baru saja kabur dari Roy. Kau tahu dia sebesar apa? Sebesar King Kong.”
Rachell ingin kasihan padanya. “Kau yang mengundang masalah. Jangan protes kalau karma sedang membalasmu sekarang.”
Xander cemberut tidak senang. “Dia memukulku. Di sini,” katanya menunjuk bagian perut. “Rasanya sakit sekali.”
“Kalau sakit, seharusnya kau pergi ke Dokter.”
“Aku tidak punya uang,” rengeknya lagi.
Rachell memutar bola mata. “Coba aku lihat seberapa parah lukanya.” Jika Xander sampai berbohong padanya, dia akan menendang pria itu keluar. Dari jendela jika perlu.
Xander tersenyum lebar, mengangkat kaosnya tinggi-tinggi. Rachell terkejut melihat ada memar biru, cukup besar di bagian kanan perut Xander.
“Astaga…” bisik Rachell tidak percaya. “Kau seharusnya segera ke dokter. Tunggu di sini, aku ambil kotak obat dulu.”
Xander melihat wanita itu berlalu dari balik pintu. Sendirian, Xander melihat ke sekeliling ruangan. Tidak banyak berubah dari kamar wanita itu. Poster band favoritnya masih tergantung di tempat yang sama. Layar televisi menunjukan film horor. Xander sama sekali tidak mengerti mengapa Rachell suka menonton film horor sendirian jika pada akhirnya dia menjerit ketakutan.
“Dia memang aneh,” Xander bergumam, memakan popcorn yang jatuh di tempat tidur. Lalu mengerutkan dahi tidak suka melihat adegan di layar televisi. “Ew.”
Rachell kembali membawa kotak obat. “Buka bajumu.”
Xander menyilangkan tangan di d**a. “Rachell, aku tidak menyangka kalau kau sangat berani--Aw!” Rachell baru saja menggetok kepalanya dengan kotak P3K. “Kau kejam sekali. Aku hanya bercanda.”
Xander melepas kaosnya dan membiarkan Rachell mengobati lukanya. Wanita itu sama sekali tidak bicara, tapi dari ekspresinya, Xander tahu dia sedang kesal.
Berteman selama dua puluh tahun dengan Rachell, Xander amat mengenal wanita itu. Mulutnya memang galak, tapi hatinya baik. Tiap kali, Xander mengalami masalah, Rachell yang lebih dulu datang membantunya. Sesungguhnya, Xander tidak pernah ingin selalu mengganggu Rachell hanya saja, Rachell adalah tempat di mana dia bisa pulang dan bisa menjadi dirinya sendiri.
“Sudah,” Rachell memberikan tepukan keras ke bagian yang sakit membuat Xander mengerang. “Jika aku melihat ada luka lain, aku akan menghajarmu. Sekarang, pulang ke rumahmu dan--”
“Aku ingin tidur di sini.” Xander berkata dengan nada manja, memeluk guling.
“Boleh, tapi kau tidur di lantai.”
“Aku sedang sakit.”
Rachell menendangnya sampai jatuh dari tempat tidur. “Ini kamarku. Ini tempat tidurku. Kau tidur di lantai. Titik.”
Xander memutar bola mata. Rachell satu-satunya wanita yang sama sekali tidak menganggapnya sebagai seorang pria. Ada begitu banyak wanita yang ingin sekali menjadi pacarnya, namun hanya Rachell yang tidak tertarik. Bayangkan, Xander sedang tidak pakai baju, hanya mereka berdua yang ada di dalam kamar, dan Xander mengundang mereka untuk tidur bersama, tapi Rachell malah menendangnya dari tempat tidur.
“Rachell, apakah kau lesbian?”
“Itu bukan urusanmu.” Rachell kembali mengalihkan perhatian pada layar televisi. Sial. Adrenalin yang tadi terpacu saat menonton buyar begitu saja karena gangguan Xander. Adegan yang seru bahkan sudah terlewatkan.
“Tentu saja urusanku. Kau tidak bisa menikah. Lalu, siapa yang akan menjadi sahabat calon anakku jika bukan calon anakmu?”
“Kau sudah gila.”
Xander merengut lagi tapi dia tidak menyerah.
“Ah, aku tahu. Bagaimana kalau kau menikah denganku saja?”
Suara jeritan wanita yang disiksa saat ditarik masuk ke dalam lorong gelap terdengar bergaung di kamar.
***