s**l.
Sial betul.
Pagi ini Audy benar-benar s**l. Mengapa? Alasannya adalah sebagai berikut;
Pertama, ia bangun kesiangan. Gara-gara asyik membaca webtoon. Ditambah lagi kegiatan fangirlingnya. Oppa-oppa tercintanya baru saja menerbitkan musik vidio terbaru dan Audy tidak boleh melewatkannya.
Kedua, Andra berangkat sekolah lebih dulu. Menginggalkannya. Abangnya yang jenius dan tampan namun somplak itu dengan teganya pergi lebih dulu tanpa membangunkannya.
Ketiga, kepalanya benjol. Padahal Audy sudah mencoba berbagai cara agar sakit di dahi bagian atasnya dengan mengompresnya dan meminum obat anti nAui. Ia bahkan melakukan hand stand. Gadis itu berteori bahwa jika darahnya terkumpul di kepala, maka darah kotor yang menumpuk dan menjadi benjolan itu akan luruh bersamaan dengan mengalirnya darah dari kepalanya tersebut. Teori tertolol yang pernah ada. Tentu saja tidak berhasil menghilangkan benjolannya.
Audy terus berlari. Seratus meter lagi ia akan tiba di sekolahnya. Ayo ayo ayo, semangat, Audy!
"Pak! Bapak! Pak! Bentar, Pak!"
Audy dengan seluruh kekuatan di tenggorokannya berteriak dengan suara cemprengnya. Dengan terus memaksa kakinya, Audy akhirnya tiba di gerbang yang hampir saja ditutup security.
"Duh, Neng. Udah telat, Neng." Kata Bapak security seraya menutup pagar raksasa SMA Pelita Bangsa.
Dengan napas ngos-ngosan Audy menangkup kedua tangannya di hadapan Bapak security, memohon agar si Bapak mau memberinya kesempatan. "Pak, please, Bapak, saya cuma telat dua detik, Pak, tolong."
Siapa yang tidak tega melihat wajah memelas gadis manis seperti Audy? Si Bapak mulai luluh. Audy segera menyusupkan tubuh mungilnya, masuk ke sela-sela pagar yang terbuka sedikit.
"Makasih banyak, Pak." Kata Audy seraya membungkukkan tubuhnya.
Si Bapak tersenyum ramah. "Lain kali jangan telat lagi ya, neng. Nanti saya yang repot kalo ketahuan sama guru piket. Neng buruan masuk gih, entar keburu guru piketnya datang."
Audy membungkukkan tubuhnya sekali lagi seraya berlari kecil, masuk ke dalam kawasan sekolah, menuju koridor. Gadis itu menghela napas lega. Dalam hatinya, Audy terus-menerus mengutuk abangnya yang kejam.
'Lihat aja entar, Andra! Lihat aja pembalasan gue!' batin Audy.
Betapa murkanya Audy pada abangnya itu. Mengapa tidak? Ia benar-benar telat dan hampir saja tidak diperbolehkan masuk dan dihukum karena terlambat. Untung saja guru piket jaga pagi ini sedang menghilang entah ke mana.
Koridor sudah sangat sepi. Audy makin mempercepat langkahnya hingga akhirnya ia tiba di kelasnya. Seluruh mata tertuju padanya saat Audy memasuki kelas dengan napas ngos-ngosan.
Belum sempat Audy mengucapkan kata maaf pada Guru Matematika di depannya, sang Guru tiba-tiba berucap, "Kamu terlambat. Ikut saya."
Sial.
Jelas saja, Audy akan di hukum karena kelalaian dan kesalahannya.
Tanpa diberi kesempatan untuk menaruh tas ke mejanya, Audy terpaksa mengikuti langkah si Bapak Guru. Mereka berhenti di tengah lapangan sepak bola. Pak Guru berkacak pinggang dengan wajah sangar.
"Saya tidak suka ada yang datang terlambat ke kelas dan mengganggu proses belajar-mengajar. Sebagai hukuman, kamu berdiri hingga mata pelajaran saya berakhir," tegas Pak Guru dan beranjak meninggalkannya sendiri.
Nasib, oh, nasib. Beginilah akibatnya kalau fangirling tidak pada waktunya. Masih dalam deretan hari tanpa ada libur atau tanggal merah, Audy malah lupa diri dan tak henti-hentinya menyalurkan hobi yang tidak berfaedah namun sangat menyenangkan itu.
Panas.
Pengap.
Terik.
Lapar.
Haus.
Belum lagi menjadi tontonan murid senior yang sedang ada jam mata perlajaran olahraga. Lengkap sudah. Di hari ketiga menghadiri sekolah menengah atas sudah menjadi perhatian banyak orang. Audy teringat petuah Andra yang selalu mewanti-wantinya untuk tidak datang terlambat, karena hukuman yang diberikan guru-guru di sana akan sangat memalukan. Contohnya begini.
'Andra bangke! Nggak usah sok-sok nasehatin gue kalo sendirinya ninggalin gue!" kutuk Audy dalam hati.
Percuma saja Audy memelas pada Bapak Satpam di depan dan berhasil menghindari Guru Piket. Ujung-ujungnya, ia tetap saja dihukum berdiri di tengah lapangan seperti ini. Audy memutar tas ranselnya, mengambil botol minum kesayangannya dan mulai mengenggak air dingin dengan irisan lemon dan daun mint di dalamnya.
Seteguk.
Dua teguk.
Tig-
"Woy, pinky! Berdiri yang bener! Lagi dihukum malah asik minum!"
Pada proses tegukan ketiga, Audy dengan sukses menyemburkan air 'infus' dari mulutnya. Ia tersedak dan terbatuk. Air minumnya justru salah masuk ke organ pernapasan. Susah payah Audy menormalkan kembali respirasinya.
"Hello pinky~ Lagi dihukum ya?"
WHAT THE FART!?
Mata Audy terbelalak ketika melihat manusia berjenis kelamin laki-laki yang sedari tadi meneriakinya dengan kata 'pinky'. Cowok itu adalah cowok berambut dan memiliki lensa mata hitam legam yang kemarin melemparinya bola basket. Tertempel plester putih di batang hidungnya yang mancung itu. Produksi lemparan bola yang dilakukan Audy kemarin sore.
Audy masih terbatuk-batuk. Ia menyeka air yang membasahi bibir dan dagunya dengan punggung tangan sebelah kirinya. Menatap cowok itu sinis. Ia tidak sadar, di bagian d**a seragam putihnya basah, membuat bahan yang membungkus tubuhnya itu menjadi lepek dan terlihat makin transparan.
Gilang tidak sengaja menyaksikan pemandangan itu. Pemandangan yang sungguh indah bagi seluruh manusia berjenis kelamin laki-laki di seluruh dunia. Mata Gilang tidak fokus. Apakah ini yang dinamakan rezeki namun mengundang dosa?
Holy cow.
Bagaimana mungkin ia tidak akan gagal fokus ketika melihat seragam basah dan menampakkan b*a hitam yang samar-samar gadis manis itu? Hormon kejantanannya mulai membuncah, mendidih. Aliran darahnya menjadi lebih cepat karena fungsi jantungnya yang mulai tidak normal. Proses itu mengakibatkan tubuhnya memanas dan terdapat semburat merah yang sangat tipis di pipinya.
Gilang adalah laki-laki normal yang sedang dalam masa penjajakan status dari bocah menjadi seorang perjaka. Tentu saja kini celananya mulai terasa sesak saat matanya terfokus pada gadis imut yang tengah menatapnya sinis itu. Itu adalah hal yang sangat lumrah dan sering terjadi. Berani bertaruh? Siapa yang tidak akan gagal fokus karena pemandangan ini? Seratus persen, Gilang akan menang.
Ketika tersadar dengan otaknya yang mulai membayangkan hal-hal gila, ia berdeham. Salah tingkah.
Gilang mulai merasa risi melihat pemandangan itu. Ia segera melepas hoodie putih yang melapisi seragam olahraganya dan melangkah mendekati Audy. Gadis itu terkejut setengah mati saat mendapatkan perlakuan aneh dari cowok menyebalkan yang kini berada sangat dekat di depannya itu.
Mata Audy terbelalak ketika mendapati senior itu menutupi tubuhnya dengan hoodie putih yang besar. Jantungnya berhenti berdegup saat Gilang melingkarkan tangannya ke leher Audy, mengikat lengan hoodie itu di belakang kepala gadis itu. Jika dari kejauhan, orang-orang bisa saja mengira Gilang tengah memeluk Audy.
"d**a lo. Jangan sampe kelihatan orang," gumam Gilang.
Napas Audy terhenti saat mendengar suara rendah dan maskulin senior itu. Refleks Audy menutupi dadanya dengan kedua tangannya. Saking dekatnya, ia mampu mencium aroma feromon bercampur cologne cowok itu.
Adududuuuh!
Biasanya, kalau di novel-novel yang sering Audy baca, si cowok pasti akan mengucapkan kata-kata romantis yang bisa bikin cewek mana pun terbang ke nirwana. Lupa akan harga diri dan dengan mudah jatuh hati. Akan tetapi, apa yang Audy dapatkan?
Selesai menutupi d**a gadis itu, Gilang menatap mata Audy tepat di pupilnya dan berkata, "Lo harus tanggung jawab. Hidung gue jadi penyok gara-gara lo."
Mendengar itu, Audy mundur satu langkah dari tempatnya mematung. Ia bergumam, "Peduli amat!" Lalu memutar bola matanya.
Gilang mendengus sinis atas reaksi Audy. "Malah nyolot. Sini maju satu langkah!"
"Ogah!"
"Maju!"
"Males!"
"Lo lagi dihukum, jangan nyolot."
Audy terkekeh sinis. "Siapa lo? Yang ngehukum gue bukan lo!"
Gilang balas terkekeh sinis. "Maju. Gue hitung sampai tiga kalo nggak maju gue cium lo! Satu-"
Mata Audy terbelalak mendengar ancaman senior k*****t di depannya. Refleks ia maju selangkah. s**l. Ini kebiasaannya. Audy terbiasa merasa takut dengan ancaman-ancaman yang mampu mengintimidasinya dan segera menuruti kemauan pengancam tersebut. Terima kasih banyak untuk Andra, abang terkampret yang sering mengacamnya.
"Pinter," gumam Gilang saat Audy kembali mendekatinya. Tanpa disadari, tangannya mengelus kepala gadis itu.
Audy menarik kepalanya ke belakang dan meringis. Ia menepis dan menghindari tangan Gilang. Cowok itu baru saja menyentuh benjolan-yang sudah tidak terlalu besar-di jidatnya.
"Apaan lo pegang-pengang kepala gue?" sungutnya dengan ringisan di wajahnya.
"Kepala lo kenapa?"
Audy menatapnya sinis. "Kenapa?! Ini kerjaan lo! Kepala gue jadi benjol gini! Makasih banget ya, Kak!"
Ketika Gilang membuka bibirnya, hendak membalas keluhan dari gadis 'pinky' itu, tiba-tiba bel pergantian jam berdering tanpa ampun. Membuat cowok itu mengurungkan niatnya.
"Gue rasa kita impas deh, hidung lo penyok, kepala gue benjol. Bye!" kata Audy menatap sengit pada Gilang dan kemudian mendorong tubuh cowok yang berdiri di hadapannya itu. Gilang takjub. Takjub dengan keberanian gadis itu. Gadis yang berlalu dan membawa hoodie-nya.
Gilang sumringah. Tersenyum lebar. Menampilkan sederet gigi rapi dan putih sehat dengan dua gigi kelinci manis di tengah-tengah. Senyumnya berubah menjadi tawa.
Mendengar tawa cowok di belakangnya, Audy bergidik ngeri dan melangkah lebih cepat menuju kelasnya. Ngibrit. Gadis itu tidak sadar bahwa ia dan Gilang sudah menjadi pusat perhatian para senior kelas tiga yang berada di pinggir lapangan bola sedari tadi.
Seluruh mata teman sekelas Gilang tertuju pada adegan yang mereka buat. Terutama saat Gilang melepaskan hoodie-nya dan mengalungkannya pada Audy. Semua mata, termasuk Andra dan Johan.
“Oy, bro!”
Gilang lantas menoleh. Mikael berjalan menghampiri. Badannya penuh keringat dan kulitnya sedikit lebih merah karena panas matahari. Cowok itu melemparkan sebotol soft drink dingin pada Gilang dan ditangkap dengan refleks.
“Ngapain lo? Kita kurang orang nih.”
Usai menenggak habis minuman dingin tersebut, Gilang menghela napas lega. Pemandangan yang dia saksikan barusan benar-benar hampir membuatnya gila. Untung saja dia bisa mengontrol diri. Tentu saja, Gilang gitu lho!
“Habis ngerjain pinky,” sahut Gilang dengan tawa jenakanya.
“Pinky?” Mikael mengerutkan keningnya. Kemudian kedua alasnya terangkat sambil berkata, “Oh, cewek yang kemaren itu?”
Gilang mengangguk antusias. Belum ada niat untuk menghilangkan senyumannya.
“Happy bener lo, pacarin aja, Gil,” kata Mikael ngasal. “Pasti mau.”
“Haha. Nggak mudah, Bro.” Gilang menepuk bahu kanan Mikael lalu merangkulnya dan berkata, “Kantin aja kuy!”