2. Ruang Bimbingan Konseling

1070 Kata
Ternyata aku pernah menjadi orang paling jahat di dunia. Aku pernah mematahkan sebuah jiwa yang nyaris roboh. Aku mengamuk pada hati yang rentan akan luka. Aku yang selalu ceroboh dan menyalahkan fisik yang merendah. Aku yang b****k dan menyingkirkan orang yang tidak bersalah. Menabrak dengan kencang, mengikis secara paksa. Menghancurkan, menghantam, mengucilkan, mengusir, menginjak-injak. Bejatku keterlaluan! -Maureen Firanti *** "Ren, lo dipanggil Bu Intan supaya ke ruang BK sekarang juga!" teriak Lia yang sedari tadi gadis itu berada di depan kelas. "BK?" beo Maureen tak percaya, pasalnya Maureen sama sekali tidak pernah membuat masalah, lantas mengapa Bu Intan yang notabenenya guru BK memanggil Maureen ke sana? "Mungkin nilai lo bagus makanya mau dikasih penghargaan sama dia," asumsi Dila yang jelas ngaco. Mana mungkin Bu Intan menyukai Maureen? Salah satu guru yang tidak menyukai Maureen adalah Bu Intan. Bu Intan selalu berdebat dengan Maureen karena banyak hal. Hal yang didebatkan pun selalu berkreasi, dari sepatu Maureen yang nampak nyentrik, make-up Maureen yang katanya menor, rok Maureen yang katanya terlalu ketat, rambut Maureen yang dicat, dan keterlambatan Maureen serta banyak kesalahan Maureen lainnya di mata Bu Intan. "Ngaco! Mana mungkin nenek lampir itu suka ke gue, gue selalu salah di matanya itu faktanya," sembur Maureen tak terima. "Ya semoga aja gitu, udah lo ke sana aja!" Maureen langsung keluar dari kelasnya, berjalan menuju ruang bimbingan konseling serta memasuki ruangan keramat tersebut. TOK TOK TOK! Gadis yang rambutnya dikucir kuda dengan pita berwarna navy itu langsung mengetuk pintu, setidaknya ia masih mempunyai sopan santun untuk mengunjungi nenek lampir. "Masuk!" Setelah mendapatkan perintah, Maureen pun masuk dan kembali mengunci pintu. "Ibu manggil saya?" tanyanya sopan. "Iya, duduk, Maureen!" perintah Bu Intan yang sedang fokus dengan laptopnya sendiri. Maureen mendekat, gadis itu duduk di kursi hadapan Bu Intan dan langsung bergemetar hebat. Sebenarnya ada apa Bu Intan memanggilnya kemari? "Kamu itu salah satu siswi terpandai dan selalu menjadi anak emas di sekolah ini." Memang, Maureen pun mengakui hal tersebut dengan bangga. Lantas mengapa dengan hal demikian? Tumben sekali nenek lampir ini memujinya. "Tapi bukan berarti kamu boleh melakukan apapun, kamu boleh berbuat apapun dengan semena-mena. Kamu boleh membanggakan apapun. Kamu itu derajatnya tetap sama dibandingkan semuanya, Maureen. Bukan karena kamu pandai dan anak emas, kamu bisa menganggap kamu yang paling hebat." Maureen semakin mengernyitkan keningnya. Maksud dari Bu Intan ini sebenarnya apa? "Saya mendapatkan laporan kalau kamu melabrak adik kelas dan membanggakan jabatanmu sebagai anak emas." Sepertinya nenek lampir ini cenayang, bisa menjawab apa yang ada di pikiran Maureen. Oh itu rupanya, pantas saja Maureen dipanggil ke ruang bimbingan konseling dan mendapatkan ceramah seperti ini. "Apa yang mau kamu sampaikan, Maureen? Kamu sudah membuat adik kelas itu merasa ketakutan, dan kamu sudah melemahkan mentalnya. Kamu sudah memojokkan dirinya. Kamu bahkan sudah membuat keluarganya marah besar." "Saya memang melabrak dia karena dia kurang ajar, Bu. Dia sudah menikung sahabat saya, dia sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan sahabat saya," bela Maureen pada dirinya sendiri. "Itu masalah sahabatmu, bukan masalahmu. Kamu tidak seharusnya ikut campur dalam masalah ini!" sentak Bu Intan yang sudah naik beberapa oktaf suaranya. "Bukan ikut campur, Bu. Saya hanya membela sahabat saya, saya solidaritas, saya mengerti bagaimana rasanya ditikung dan dihancurkan hubungannya. Apalagi sahabat saya dan pacarnya sudah saling mengenal dengan keluarga. Bagaimana perasaan sahabat saya coba, Bu? Dia pasti sangat sakit hati, dia pasti terluka. Oleh karena itu saya bantu sebisa saya." Maureen tetaplah Maureen yang keras kepala. Maureen adalah sosok solidaritas tanpa batas yang tidak ingin sahabatnya terluka. Maureen tidak ingin sahabatnya bersedih. Jika ada sahabatnya yang bersedih, Maureen akan membalas perbuatan orang yang membuat sahabatnya itu bersedih. Karena Maureen adalah Maureen. Gadis dari keluarga terpandang yang kebetulan menjadi anak tunggal. Sahabat adalah segalanya bagi Maureen, sudah dianggap saudara sendiri. Semua yang Maureen punya selalu ia bagi dengan sahabatnya. "Kamu ini keterlaluan, Maureen! Ibu akan memanggil orang tuamu supaya mereka tau apa yang telah kamu lakukan. Kamu itu sudah membuat orang lain hampir gila. Kamu sudah membuat orang lain trauma begitu besar." Bu Intan mengeluarkan surat panggilan orang tua dan menuliskan surat tersebut panggilan lalu diberikan kepada Maureen. "Berikan ini ke kedua orang tuamu, mereka harus hadir serta mereka harus mendengarkan semua yang sudah anaknya perbuat. Perbuatan keji yang sama sekali tidak dapat dimaklumi," lanjut Bu Intan. "Makasih, Bu. Saya permisi dulu." Maureen pamit, ia tidak ingin menambah debat dengan nenek lampir itu karena sudah terlalu lelah. Apapun yang akan ia bela pasti selalu salah di mata nenek lampir. Apapun yang Maureen perbuat pasti selalu salah di mata nenek lampir. Apapun yang Maureen lakukan pasti salah. Karena nenek lampir sudah membenci Maureen sejak lama. *** Maureen menatap surat panggilan dari bimbingan konseling, ia melihat kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang keluarga dengan muka lelah masing-masing. Pasti mereka berdua akan kecewa karena Maureen melakukan kesalahan yang besar. Pasti mereka akan kecewa karena Maureen telah berbuat bodoh sehingga mendapatkan panggilan BK. "Mah, Pah, ada yang mau Maureen omongin sama kalian berdua," prolog Maureen yang langsung menyembunyikan surat panggilan di belakangnya. "Bicara tentang apa, Sayang? Mamah sama papah capek banget, besok kita harus berangkat pagi untuk ke luar kota."  Mampus, besok mamah dan papah akan ke luar kota. Pasti bisnis yang akan mereka jalani sangat besar keuntungannya, apakah Maureen sanggup membatalkan bisnis tersebut hanya karena panggilan BK? "Emm, Maureen ada sesuatu, ini dari guru BK," ujar Maureen yang langsung memberikan surat panggilan tersebut ke mamah dan papahnya. Terlihat dengan jelas raut santai seperti tidak ada beban. "Bikin masalah apalagi kamu, Maureen? Kamu itu sudah kelas dua belas, apa kamu tidak malu terus-menerus membuat masalah? Apa kamu tidak malu terus-menerus dipanggil BK dan membuat mamah serta papah kehilangan rekan kerja?" tanya papah dengan raut kecewa. Maureen meremas ujung baju tidurnya, gadis itu menatap lurus ke bawah, benar-benar merasa telah mengecewakan orang tua. "Maaf, Maureen labrak adik kelas dan adik kelas itu menuntut Maureen. Maureen minta maaf karena udah bikin mamah sama papah kecewa." "Udah, gapapa. Besok mamah sama papah pasti ke sana. Mamah minta tolong ke kamu kalau ini jadi panggilan terakhir, mamah gak mau kamu terus-terusan mendapatkan panggilan, waktumu di sekolah itu tinggal menghitung bulan, Maureen. Jangan terus-terusan buat masalah, ya? Jangan buang-buang waktu belajarmu karena panggilan dan skors BK. Mamah minta tolong banget sama kamu."  Maureen mengangguk. Ia juga menginginkan ini yang terakhir. Ia juga tidak suka diskors dari sekolah dan diberi poin pelanggaran. Ini pasti yang terakhir. Maureen berjanji akan terus belajar tanpa membuat masalah apapun lagi. "Maureen janji, Mah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN