Arti Kita
Legam nya langit membuat awan menetes kan airnya ke bumi, suara riuh air di luar tak membuat dua manusia di ruangan itu membuka suara. Rima wanita itu baru saja menangis sebelum suami nya datang, ia tak mau terlihat lemah terhadap sosok suaminya.
" Mas, ya tolong. Kira-kira kalau ngasih duit, mana ada sepuluh ribu buat makan sehari. Mana kamu minta makan sup ayam "
Rima memandangi uang receh lima ribuan dan lima ribuan koin di atas meja, Rima tak mempermasalahkan jika hidup mereka sulit. Tapi jika uang mereka habis di meja judi mana bisa mereka hidup sekedar makan untuk besok.
" Mbok, yang bersukur udah dapat jatah uang dapur, kemarin Bu Lastri istri nya pak Jono bisa tuh masak daging dananya cuman segitu. Kamu saja gak bersukur "
" Sepuluh ribu aja gak nutupin buat beli ayam di pasar, cuman bisa beli sayurnya, bumbu dasar nya saja belum kehitung, kalo pak Jono ngasih cuman segini mereka punya tiga anak udah pada kerja, ngasih tambahan ibunya lah buat masak "
" Ya udah, kamu tambahin saja sama uang kerja kamu besok aku ganti. "
Toni melenggang pergi ke kamar menutup daun pintu keras, jantung Rima hampir copot di buat nya.
Sudah sering Toni bicara akan Menganti uang miliknya namun malah terus meminta uang milik Rima.
Rima memandangi perut ratanya mengelus nya
" Kapan punya anak?, Kan bisa ada temennya kalau sendiri kayak gini. Ada yang bela aku kan?"
Harapnya. Namun kini hanya berisikan lemak perut saja di sana, Tuhan belum menjawab do'a nya.
* * * *
Bola api di langit masih belum memperlihatkan wujud sempurnanya untuk menyinari bumi, masih terlalu gelap untuk di sebut pagi namun langit sudah tak lagi menghitam seperti si malam. Rima mengayunkan sepeda ontel miliknya menunju rumah pak Asmad, pak Asmad juragan tekstil. Banyak baju seragam sekolahan SD,SMP serta baju seragam kantoran di buat dalam skala besar di tempat miliknya.
" Loh, dek Rima sudah datang? "
Sapa seorang pria setengah baya, masih dengan pakaian kokonya, ia terlihat baru kembali dari masjid untuk solat subuh.
" Iya pak, dari masjid. Selesai subuhan saya langsung kemari buat ngejar setoran "
Rima tersenyum malu, takut kedatangannya menganggu keluarga pak Asmad, tapi ia sangat butuh uang tambahan.
Pak Asmad tersenyum maklum, Rima sudah bekerja dengan dirinya sejak SD ia bekerja keras untuk menyambung hidup, jika Rima sampai kerja keras. Toni adalah orang yang bertanggung jawab menyengsarakan nya, namun pak Asmad tidak dapat ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
" Ya sudah, ayo masuk saja. Tapi kamu sendirian tak masalahkan? yang lain datang seperti biasanya jam enam "
Rima menggaguk senang, pak Asmad mengijinkannya datang sangat awal dan tidak mempermasalahkan menganggu atas kedatangan dirinya
" Gak masalah pak, makasih kalau saya merepotkan jam segini. "
Suara mesin jahit berlogo kupu-kupu tersebut menemani sepinya di ruangan itu, tugas Rima hanya memasangkan potongan baju per baju, jeri payah nya hanya di hargai seribu rupiah saja. Maklum dirinya hanya pekerja kasar, namun ia sangat bersyukur pak Asmad memperlakukan dirinya seperti keluarga sendiri bahkan tak segan memberi hutang tanpa bunga.
" Udah datang awal Rim ? "
Ririn teman yang sama jua dengan dirinya menghampiri nya, ia duduk di mesin jahit sebelah Rima.
" Iya, sudah. Selesai subuhan di masjid langsung kesini"
" Kamu gendeng(gila) !! "
Rima hanya tersenyum tanpa menyahut atas ke kagetan temannya itu.
" Rim. Rima, ngaku wes. Butuh uang kan? Toni lagi bikin kamu kayak gini "
Ririn memperhatikan mimik wajah temannya berubah keruh, ia sudah paham kisah pilu temannya. Ririn sama juga miskinnya tapi suaminya ikut membantu perekonomian kelurga mereka, jauh berbeda dari Rima yang masih banting tulang sendiri, sedang suami nya bekerja jarang-jarang.
" Ya sudah lah Rin, mau gimana? Toni dulu anak camat anak orang kaya jadi masih gak terima kalau miskin "
" Dulu ya dulu, masa masih suka mabok tolong ya mikir gitu "
Ririn menjadi ikut kesal dengan Toni, mantan anak Camat sombong itu bertabiat buruk sama saja dengan dulu ketika masih muda suka foya-foya kekayaan ayahnya, mau menyalahkan Rima menikah dengan Toni? Mereka di jodohkan oleh keluarga mereka. Orang desa masih memegang faham anak gadis tak perlu sendiri lama-lama, harus cepat di nikahkan. Apalagi keluarga Rima dari kalangan menengah bawah, orang tua kolot seperti ibu Rima hanya tau jika anaknya menikah maka hidupnya enak, bisa makan beras tiap hari.
Pakaian garapan Rima sudah menggunung, jarum jam sudah menunjuk garis lurus 12 siang. Rima dan kawan lainnya mesetorkan hasil kerja mereka pada pak Asmad untuk mendapat bayaran hari itu, mereka berbaris menunggu pak Asmad yang selesai menghitung hasil kerja mereka untuk dibayar.
" Santi, ini bayaran kamu hari ini. "
" Terimakasih pak, saya pamit pulang . "
Santi lalu berlalu dari sana, hingga tiba giliran Rima terakhir mengambil hak nya.
" Rima, hari ini bayaran kamu seratus sepuluh ribu, tapi ini aku kasih tujuh puluh ribu saya potong empat puluh untuk hutang kemarin ya "
" Iya pak, terimakasih. Saya pamit dulu "
* * * *
Rima memacu sepedanya cepat, takut kehabisan bahan dari warung mbok Ijah. Rima memilih bahan tersisa hari itu untuk membuat sup ayam mengambil bahan untuk makan siang sekaligus menjadi pengganti makan pagi.
" Ini semua dua puluh lima ribu, sama hutang kemarin tolong di cicil "
" Ya udah, berapa mbok? Hutang saya kemarin saya bayar setengah nya dulu ya "
" Empat puluh ribu, Rim. Terus kamu mbok jangan mau susah-susah ngasih makan Toni, dia juga gak mikir kamu kan."
Sindir mbok Ijah menyingung.
Rima menyodorkan uang milik nya sembari mengambil kantor plastik berisikan bahan makan, ia hanya bisa tersenyum kecut. Semua orang sudah tau malangnya rumah tangga mereka, ia sampai malu.
Rima berlalu dari sana menuntun ontelnya sambil menghitung uang yang tersisa, uang milik nya tertinggal lima ribu perak di tangan ditambah sepuluh ribu milik Toni semalam, hanya tertinggal lima belas ribu untuk hari itu untuk menyambung hidup.
' Duakk. . .'
Bola sepak mengenai roda sepeda Rima, anak-anak yang tengah main di lapangan menendang keras tak tau Hingga melambung kearah nya, dua orang anak kecil berlari kearah nya. Wajah mereka terlihat malu-malu untuk bicara dan takut di marahi.
" Maaf mbak, temen saya nendang nya kejauhan, "
Rima tersenyum maklum, menatap wajah dua anak laki-laki itu menunduk, mereka pikir akan ia marahi
" Udah, gak papa. Mbak ngak marah kok, cuman kaget saja ada bola nyampe ke jalanan, besok lebih hati-hati ya, latihan yang giat kalau kalian mau menjadi pesepak bola."
Kedua bocah tersebut tersenyum senang, mereka tak takut untuk melempar senyum polosnya. Mereka berpamitan setelah mengambil bola mereka, berlarian bergabung dengan kawanan lainnya di tanah lapang.
" Kalau aku punya anak laki-laki, apa aku bisa sabar sama mereka?,"
Di sebrang jalan di depan teras warga mata tajam Rima tengah melihat seorang ibu tengah mendandani anak perempuannya sekitar lima tahunan mungkin usia anak itu, mengamati begitu lucunya bocah sekecil itu, tentunya masih tak bisa melakukan semuanya sendiri. Gadis kecil itu tengah di dandani oleh ibunya, berdandan dengan bedak yang di taburkan dengan sembrono membuat anak itu bak kue mochi, rambut pendek nya di kuncir dua. Rima tersentuh akan pemandangan sederhana itu, merasa lucu melihat betapa menggemaskannya anak-anak seusianya .
" Kalau aku punya anak perempuan, bakal aku apakan? Akan asik jika mendandani nya dengan pakaian berenda,"
Ujarnya pada dirinya sendiri.
Peluh Rima menetes banyak terkena panasnya uap panas, sesekali ia seka dengan lengan baju nya. Bahan masakan di peroleh nya hari ini cukup untuk membuat sup ayam sampai makan malam nanti, ia jua memasak telur dadar didapat dari ayam tetangganya
' tok. . .tok . .'
Terdengar samar namun Rima masih dapat mendengar suara pintu depan di ketuk oleh seseorang, ia bergegas membukakan pintu untuk seseorang.
Terlihat pria yang mengetuk pintu tersebut adalah pria yang cukup berumur namun masih gagah di usia nya tersebut,
" Assallamuallaikum, Rim. Toni nya ada?, " Ujar seorang bapak pemilik kontrakan menyapanya.
"Wallaikumsallam, Pak. Nyari mas Toni?, Dianya pergi ke luar nyupir ke kota sebelah bentar lagi pulang."
" Silakan mampir dulu, Pak. Duduk sebentar"
"Gak usah, Rim. Saya buru-buru"
Tolak bapak itu pada ajakannya.
" Bilangin kalau sudah pulang mampir ke rumah saya " pinta bapak tersebut,
" Memang nya ada urusan apa ya pak, kalau saya boleh tahu "
Bapak pemilik kontrakan menunjukan mimik wajah yang Enggan untuk bercerita ia mengusap leher belakangnya pelan, menatap wajah penuh tanya Rima membuatnya tak tega.
Bapak tersebut berkata. " Jangan ngomong sama suami mu kalau saya yang ngasih tahu. Kemarin suami mu pinjam uang buat ternak ayam, tapi sampai sekarang cicilan hutang nya belum sampai ke saya "
Melihat Rima menahan marah, bapak itu makin salah tingkah melihat wajah Rima memerah padam.
" Terus uang bulanan, buat bayar kontrakan ini, sudah bapak terima? "
" Ya, belum. Rim, kemarin pas minjam uang, uang punya dia kurang katanya. Jadi pinjam uang saya dulu buat keperluan ternak ayam "
Rima bisa saja mati kena serangan jantung jika dia punya riwayat jantung kronis, uang yang dicarinya buat tambahan membayar rumah kontrakannya sama sekali tak sampai ke pemilik rumah. Malah si pemilik rumah memberikan pinjaman uang pada Toni.
" Ya sudah pak, saya minta maaf. Nanti saya suruh mas Toni bayar cicilan ke bapak kalau urusan bayar uang kontrakan nanti saya coba minta lagi ke mas Toni. Sekalian nunggu bayaran dari hasil buruh saya. "
Bapak pemilik kontrakan itu mengucap salam dan berlalu dari rumah nya.
Rima menyelesaikan mandinya sore itu, sembari makan sup buatannya, masih dengan kondisi rambut basah. Rima mengasik kan diri makan sup nya hikmat, setelah ini ia berencana membuat manik-manik untuk baju, kerja sampingannya. Selain jadi buruh konfeksi, membuat sulaman manik-manik juga hiburan baginya yang pernah lulusan SMK busana, skill yang pernah ia asah ketika menimba ilmu di sekolah kejuruan membuat ia bersukur dapat digunakan ketika tak punya ijasah kuliah, harapan ketika masih muda mengecap pendidikan tinggi membuat ia harus gigit jari mengingat biayanya tak murah dan terhalang dana.
Piring sudah tertata rapi sisa lauk juga masih tersedia di meja makan, jatah makan Toni.
Rima duduk tak jauh dari sana, di sofa beludru yang sudah usang dan reyot. Ia tengah fokus menyulam manik baju dan memperbaiki baju pesanan orang.
"Waalaikumsallam, mbok di biasakan ngucap salam"
Sindirnya menyingung kedatangan Toni bak hujan tanpa mendung, datang tiba-tiba. Tanpa berucap apapun langsung mendudukkan dirinya nyelonong mengambil piring dan lauk kesukaannya.
" Assallamuallaikum, aku pulang."
Ulangnya menuruti pinta sang istri,
"Waalaikumsallam, mandi dulu sana"
tak mempedulikan baju kusut nan bau badan ditambah dengan kulitnya masih penuh kotoran debu dari jalanan, ia tetap asik dengan masakan sang istri.
" Tuh, kan. Kamu bisa bikin sepuluh ribu jadi sup ayam "
" Uang mu gak cukup. Aku yang tambahin sama uang kerja ku hari ini, kalau kamu minta makan enak terus hutang kita mau di bayar pake apa?, Dengan uang monopoli kamu kira "
" Kan aku juga kerja, dikit-dikit juga ke bayar kan,"
" Aku tanya, kemarin uang kontrakan sudah kamu bayar belum. Yang aku titipin kamu buat ngasih ke pemilik kontrakan "
"Sudah kok," ujarnya tak berani melihat istrinya tengah menatap tajam di pojokan, Toni memakan sup nya cepat.
" Bohong! Tadi orang nya kemari, kamu juga kata nya malah hutang ke dia. Mau buat ternak ayam atau apalah itu t***k-bengek nya, kapan kamu mau bayar? Gak malu di samperin orang buat nagih hutang"
"Beneran?"
"Iya, apa aku masih kayak orang bercanda! Kamu di suruh ke rumahnya kalau pulang"
"Besok aku bakal mampir kerumahnya, sekarang aku mau istirahat dulu ya"
" Mas, mbok Ojo(tolong jangan) kebangetan. Mau kamu pake apa sih utang mu itu"
" Lagi usaha Rim, buat kamu.yang sabar ya, utang ku mau aku buat usaha ayam rencananya."
Rima beranjak dari tempatnya mendekati meja makan suaminya, ia duduk berhadapan. Menatap tajam Toni, Rima tak pernah terfikir takut pada pria tersebut, ia hanya lelah selalu mengeluarkan energi untuk marah dengan hal tak penting dan terus berdebat masalah tinggkah Toni di luar sana.
" Besok aku bakal bantu bayar hutang kita, besok selain nyupir ada tawaran kerja di proyek bangunan. di ajak sama pak Somad buat ke sana bareng, maafin aku ya, Rim. Nyusahin kamu "
Rima mengangguk pelan mengalihkan pandangan dari Toni, Toni meraih pergelangan tangan Rima yang ada di meja, mengelus sayang pada wanita tersebut, ia memang pemalas dan suka foya-foya, namun ia bukan pria b******n yang akan menyakiti istri nya, ia bukan sepenuhnya sosok pria pemain filem Azab, ia masih punya hati untuk istrinya, hanya saja disayangkan bila tabiat buruk nya tak ada, Toni adalah sosok suami yang dapat banggakan.
* * * *
Suara hiruk pikuk pasar di hari itu sangat ramai seperti biasannya, Toni yang bekerja menjadi supir barang baru saja melepas penat di warung kecil dekat sana. Bersama Yanto teman sesama supir pengantar barang tengah ngopi sambil ditemani pisang gorengan hangat.
" Ton, gimana. Kamu jadi kan ikut pak Somad ? "
Tanya temannya, Yanto.
" Nggak, taulah Yan. Gimana enak nya saja aku ngikut pak Somad, kasihan istri ku mikirin utang terus. Mana kemaren aku habis ngambil uang kontrakan sama ngutang buat tambahan ternak ayam, tapi aku malah kena tipu."
" Beneran kamu ditipu?, Terus Rima tau belum kamu di tipu. "
" Ya belum, mana berani aku ngomong. Bisa di amuk akunnya "
Yanto mangut-mangut paham, Rima memang sudah banting tulang selama hidup bersama Toni, tapi kadang Yanto akui Toni tebal muka untuk terus menambah beban keluarga.
" Bang!! Ayo, narik lagi"
Teriak seorang pria muda dengan baju kusut penuh peluh di tubuhnya. Terlihat jua kulitnya menghitam akibat terik matahari yang jadi temannya. Ia kuli panggul di pasar tersebut, yang membantu mengisi bahan pakan pangan ke dalam truk milik Toni, untuk di kirim dan didistribusikan ke pasar lain di pelosok kota.
" Iya makasih!! "
Teriak nya membalas, Toni bergegas mengabiskan kopi hitamnya tingal setengah tersebut sambil mencomot gorengan di situ
" Yan, aku disek(duluan) ya "
" Iyo, ati-ati Neng dalan (iya, hati-hati di jalan) "
Sahut Yanto degan logat Jawa medok nya, sebelum Toni berlalu di balik kemudi truk.
Toni fokus menyetir dengan kencang ke tujuan nya, agar lebih cepat sampai. Sebuah suara nada dering berasal dari Nokia tipe 2300 miliknya menganggu konsentrasi nya. Toni memelankan laju kendaraannya menepikannaya di kiri jalan baru ia mengangkat pangilan tersebut.
" Hallo, Assallamuallaikum. Pak,"
" wallaikumsallam. Pie, Ton. Sido kerjo Karo aku gak"
(Wallaikumsallam. Gimana, Ton. Jadi kerja sama saya tidak).
Tanya orang di sebrang telepon.
" Jadi, Pak. Ini saya masih nyupir setelah ini saya ke sana pakde."
"Saya tunggu kamu di sini ya Ton"
Setelah obrolan singkat mereka pak Somad, pria yang menelpon nya tadi langsung menutup nya, menantikan kedatangannya ke sana.
Setibanya Toni di tempat ketemuan ia langsung menghampiri pak Somat yang tengah nyebat atau kata lain merokok.
" Sini Ton, duduk bareng saya"
Pak Somat ayah empat anak itu, masih suka bergaya necis dengan baju kemeja kotak-kotak dan dibalut jaket kulit bak anak bujang di usia nya mencapai empat puluhan. Ia mempersilakan Toni duduk di sebelahnya menepuk bangku panjang mengisyaratkan duduk di situ.
Menikmati rindangnya pohon mangga yang menghalau panas di atas mereka,
" Gimana kamu jadi kerja sama saya kan? Mau tidak kamu "
" Ya, Mau benget, Pak. Lumayan buat nyicil bayar hutang "
" Kamu masih suka judi ya, hutang mu banyak amat "
Toni hanya cengengesan malu, sedang pak Somad berdecak kesal dengan Toni yang masih saudara jauhnya tersebut.
" Nih, kamu mau nyebat sekalian,"
Pak Somad menyodorkan rokok merek Marllboro, rokok mahal masa itu. Toni mengambil sebatang dan di pinjami korek zippo milik pak Somad
Hembusan nafas keluar bersamaan asap putih menemani mereka di tengah suasana, percaya atau tidak. Rokok adalah teman paling pas untuk bicara banyak hal dengan sesama lelaki.
" Ton, ini kerjaannya gede. Kamu bisa dapet lebih kalau kerja di sini. Tapi jangan buang-buang uang buat yang gak penting, sukur loh kamu punya istri kayak Rima. Udah pinter masak bisa kerja masih cakep kaya prawan aku sih mau nikahin istri mu kalau belum nikah dari pada sama kamu bukannya cakep malah buluk"
Canda nya di akhir kalimat mengoda Toni tuk mencairkan suasana hening, Toni hanya tertawa dengan banyolan pak Somad bapak yang selera humornya tak terduga.
" Aku sih bersukur, wong ya dia mau aku ajak susah. Tapi ya itu suka marah bawelnya minta ampun pak ini itu gak boleh,"
Pak Somad dengan senyum bersahaja nya mendengar keluhan Toni Hingga selesai,
" Ton, runggokkno ya (dengarkan ya)
Se-marah marahnya istri kamu, dia masih peduli sama kamu. Rido nya istri memang di suami tapi suami manapun yang zholim sama istrinya dia juga gak bisa liat surga, kamu yang bersyukur dapet istri bawel. Tapi masih nemenin kamu kan sampai sekarang?,"
Tanya nya pada Toni sembari menyesap batang rokok nya.
" iya sih, Pakde. "
" Terus,tak tanya. Kamu selama ini utang yang bantu bayarin siapa? Makan mu bisa sedia di meja tinggal nyomot siapa yang nyiapain?"
" Si Rima, Pakde"
" Kamu dapetnya sekarang Rima, coba suatusaat kamu cerai atau- "
" Ya, jangan dong, Pak kalau saya cerai sama siapa saya nanti," selanya.
Pak Somad tertawa lepas, rokok yang mulai habis ia lempar ke tanah di injak-injak bara api nya Hingga tersisa abu.
" Kamu di ceraikan saja bingung kan? Kok bisa kamu gak pernah mikir nyenengin istri mu, Ton..Ton. . Dia masih cakep, kalian juga belum punya anak. Kalau kalian cerai yang ngantri buat Rima ya banyak "
" Ya udah, Pak. Jangan di bahas ke situ."
Pak Somad hanya menyunggingkan senyum ia paham bagi pemuda seusianya kalimat nya barusan terasa menggurui dan Toni tak suka hal tersebut.
" Ya sudah, bahas masalah kerjanya saja Pak tadi sampai mana"
" Ah! Iya, sampe lupa aku"
"Makannya Pak jangan ngalir ngidul dulu saya niat kerja nih mau dengerin tugas saya apa," ujarnya dengan becanda.
" Kamu kerja di proyek bangunan kayak umumnya lah, kerjanya di Surabaya. Mau kan?"
" Mau, Pak. Tapi si Rima entar Giman pak ?"
" Ya kamu bawa saja ke Surabaya, gak sebentar loh proyeknya. Kamu nanti ngekos di dekat proyek saja "
Tak terasa obrolan mereka siang itu menjadi sangat panjang hingga langit senja sudah mewarnai angkasa, mereka berpisah sore itu untuk balik ke rumah masing masing.
" Rim, Mas. Pulang!"
Teriak Toni mencari keberadaan istrinya di dalam rumah namun tak ada sahutan, hingga ia akhirnya menemukan sang istri tengah terlelap tidur dengan daster motif batik Pekalongan, wajah ayu milik Rima membuat Toni cukup terpaku ia sama sekali tak menyadari betapa menariknya istrinya tersebut. Guratan lelah tercetak di wajah Rima maklum ia seharian juga kerja banting tulang untuk makan.
Toni mengecup bibir ranum Rima pelan berusaha tanpa membangunkan nya, namun awalnya hanya kecupan menjadi sebuah ciuman. Membuat Rima kaget hingga bangun dari lelap nya, Rima memandangi Toni Lamat-Lamat agar memulihkan pandangannya yang kabur.
" Udah pulang, Mas "
" Belum, Abang barusan baru datang kok. Kamu nya udah tiduran aja "
" Dek, Abang boleh ngak?"
Kalimat Toni terdengar mengambang, namun Rima faham kode tersebut, pangilan untuk berkembang biak. Mereka sudah sah menikah jadi wajar kalau Toni minta hak nya, namun hari itu Rima terlampau lelah untuk melayani si suami
" Mas, kamu mandi sana gih bau badan kamu, bau pasar sama debu. Aku mau istirahat dulu ya badan aku gak enakan"
Tangan mulus Rima mendorong pundak Toni pelan agar cepat pergi dari hadapannya dan segera mandi untuk menghilangkan keringat di tubuhnya.
Niat nya ia sekalian menceritakan prihal kepindahan mereka ke Surabaya namun di urungkan dulu, ia juga harus sabar mendapati penolakan dari sang istri. Membuat Toni harus berlalu dari hadapan Rima menuju kamar mandi, sembari menenteng handuk, niat hati minta jatah tapi berat hati harus main solo dengan sabun batin Toni ngenes.