Kompensasi

1092 Kata
Sepuluh hari ini adalah waktu yang sangat menegangkan bagi Qiandra. Kenyataan Nathan lumpuh telah menciptakan banyak kekacauan di mana-mana. Rencana persiapan pernikahan Qiandra berantakan. Dia diseret oleh keadaan untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan Nathan dengan akurat. Keluarga Rajendra syok. Putra mereka satu-satunya, pewaris keluarga Rajendra yang digadang-gadangkan, jatuh dalam kelumpuhan kaki. Serangan mental ini membuat semuanya lebih hancur lagi. Nathan menjadi sangat pendiam dan tak banyak bicara. Dia hanya mengatakan sepatah dua patah kata dengan dokter dan ibunya. Dokter menyampaikan, mentalitas Nathan masih terguncang. Sebagai seorang individu yang selalu mendominasi keadaan dan mengendalikan situasi, Nathan untuk pertama kalinya jatuh dalam ketidakberdayaan. Sejauh ini, Qiandra hanya sekali bertemu dengan Nathan. Lelaki itu hanya melihatnya sekilas, kemudian menoleh, memilih untuk mengabaikan. Setelah ditolak seperti itu, Qiandra selalu berusaha menghibdari masuk ke ruang rawat Nathan. Dia berkeliaran di lorong dan ruang dokter, berusaha mengupdate informasi perkembangan Nathan. Yang paling menciptakan keributan dari semuanya adalah Stephanie. Di hari keenam perawatan Nathan, wanita itu langsung mendeklarasikan perceraian dengannya, mengutuk Qiandra dan mencaci makinya, menganggap Qiandra adalah iblìs yang menghancurkan pernikahannya. Jelas keputusan Stephanie tak memiliki ruang untuk berbalik. Setelah dia membuat keributan, wanita itu pergi menjauh entah ke mana, tak lagi kelihatan sosoknya di sekitar Nathan. Qiandra pusing memikirkannya. Benarkah wanita itu menggugat cerai dalam keadaan begini? Ini benar-benar tak terkatakan lagi. Qiandra bukan hanya membuat cacat seseorang, tapi juga menghancurkan pernikahannya. Beberapa hari kemudian berlalu dengan lebih damai. Dokter mengatakan mentalitas Nathan mulai stabil. Dia sudah menerima kenyataan, meskipun penerimaannya belum positif. Seiring berjalannya waktu, dokter merekomendasikan Nathan mendatangi psikiater untuk melakukan konseling demi menguatkan mentalitasnya. Dalam kelumpuhan, yang paling terluka sejatinya bukan tubuh, tapi jiwa seseorang. Qiandra mulai menjalani aktifitas normalnya lagi. Masalah tentang Nathan masih menggantung, tetapi sejauh ini belum ada yang menyeretnya lagi untuk meminta pertanggung jawaban. Dua hari ini Qiandra menjalani hari-hari dengan tenang, tetapi ketenangannya seperti ketenangan sebelum badai. Dia linglung di rumah kontrakan, menebak-nebak apa yang akan keluarga Rajendra lakukan padanya. Rifki mencoba menenangkan Qiandra. Pernikahan mereka seminggu lagi. Segalanya telah dipersiapkan hingga delapan puluh persen. "Udah, yang penting kita fokus ke pernikahan dulu. Waktu kita tinggal seminggu. Jika nanti keluarga orang yang kecelakaan itu menuntut sesuatu atau mengkasuskannya, apa pun itu, nanti kita hadapi bareng-bareng. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu dalam keadaan begini. Kamu tenang, oke? Jangan terlalu banyak berpikir yang enggak-enggak!" Rifki yang selalu meluhat Qianda linglung dan tak fokua akhir-akhir ini, mencoba menghiburnya. Kecelakaan yang Qiandra picu itu kan musibah. Orang juga tak mengharapkan akan berada dalam situasi ini. Keadaan juga tak bisa dikenbalikan ke semula. Rifki hanya bisa memberikan perlingan dan janji semampu yang ia lakukan untuk tetap berada di sisi Qiandra. "Keluarga Rajendra itu bukan keluarga biasa. Mereka dulu menjadi donatur utama sekolah yang aku masuki dan nama mereka cukup kuat di mana-mana. Bagaimana jika aku menyeret kita dalam masalah yang lebih serius? Bagaimana jika aku nanti dianggap melakukan kriminalitas? Bagiamana jika—" "Sssssshhhhh! Sudah sudah. Jangan terlalu diikirkan. Nggak mungkin nggak ada jalan keluar. Namanya masalah pasti punya solusi. Tenang. Jangan terlalu pesimis. Ada aku, oke?" Tangan Rifki menepuk-nepuk bahu Qiandra, mencoba menenangkannya. Mereka tak pernah tahu apa yang akan mereka hadapi ke depan. Tetapi apa pun itu, selama mereka berpegangan tangan, bukankah itu lebih dari cukup? Qiandra sedikit lebih tenang setelah dibujuk oleh Rifki. Dia mulai mengambil cuti kerja, menikmati masa tenang di rumah untuk sore ini sebelum detik-detik pernikahan. Namun, ketenangan Qiandra hancur saat sebuah limusin menjemputnya. Sopir itu utusan dari keluarga Rajendra, menyampaikan permintaan keluarga Rajendr untuk membawa Qiandra datang menemui mereka. Qiandra tak terlalu terkejut sopir itu tahu rumahnya, karena dia sendiri yang menyampaikan informasi diri pada pihak keluarga Rajendra pasca kecelakaan Nathan terjadi. Yang mengejutkan Qiandra adalah, mereka bergerak secepat ini untuk membawa dirinya. Hati yang telah mati-matian ditebangkan, kini hancur berantakan. … Qiandra dibawa ke sebuah rumah besar di kawasan perumahan elite. Rumah di depannya mengusung gaya Eropa masa Victoria. Besar, megah, dengan beberapa tiang utama di bagian depan. Taman luas dengan dengan didominasi oleh rumput Swiss yang lembut, seperti karpet hijau terbentang luas yang menawan. Di sisi-sisinya, ada pohon mangga dan pohon-pohon sejenis yang dirawat dengan baik. Jalan setapak berada di tengah-tengah halaman, menjadi satu-satunya jalur bagi tamu dan anggota keluarga saat berjalan dari gerbang menuju rumah utama. Seandainya saja Qiandra dalam situasi yang berbeda, mungkin dia akan menikmati pemandangan rumah ini. Namun, hati Palupi seperti gelombang pasang yang tak bisa ditenangkan. Dia diliputi kecemasan dan rasa takut akan apa yang akan terjadi. Ujung kemeja putih yang ia kenakan, sudah ditarik-tarik membentuk gumpalan kain yang kusut. Palupi dibawa ke ruangan besar di area tengah. Ada dua set sofa berlapis vinil berwarna abu gelap dan merah bata. Di tengah ruangan, terdapat lukisan besar bertema abstrak dengam bingkai warna emas. Nyonya Mega Rajendra dan Subagio Rajendra, tuan rumah utama, duduk paling ujung di sofa terjauh. Di sisi mereka, Nathan duduk di kursi roda, kedua tangannya ditopangkan pada sandaran kursi yang didesain lembut. Mata Nathan menyorot tajam, seperti di masa lalu, tetapi juga tidak mirip dengan di masa lalu. Dulu saat laki-laki itu masih sebagai remaja di sekolah menengah atas, tatapannya tajam dipenuhi dengan kesombronoan dan d******i. Kini, tatapannya lebih tajam lagi, tetapi dipenuhi oleh perhitungan dan kontrol diri tinggi. Tak ada lagi kesembronoan dalam dirinya. Tak ada lagi sorot main-main dalam matanya. Dia telah menjadi pribadi yang lebih kuat, penuh pengendalin pada banyak hal. Wajah Nathan memiliki kemiripan delapan puluh hingga sembilan puluh persen dengan sang ayah, Subagio. Hanya saja rahang Nathan lebih tegas, alisnya lebih melengkung, dan bibirnya lebih tipis dari sang ayah. Bahu mereka sama-sama lebar, bentuh tubuhnya kekar dan kuat. Melihat d******i dua orang ini, Qiandra menelan ludah tak berdaya. "Qiandra," Subagio membuka percakapan, "kamu telah membuat Nathan salah langkah dan mencelakai dirinya. Lihat sekarang keadaannya!" Subagio mendesah panjang, semangat tuanya tergerus oleh kenyataan cacat putranya. Ada kepedihan dan kekalahan dalam sorot matanya. Qiandra hanya menunduk malu, tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Rasa bersalah kembali mengakar kuat dalam hatinya yang rapuh "Nathan bukan hanya kecelakaan. Dia kehilangan kaki, kehilangan kestabilan, kehilangan kepercayaan diri, dan …." Subagio mengetukkan jarinya di sisi sofa dengan gerakan lambat. "kehilangan istri." Palupi perlahan-lahan mengangkat pandangannya, mencoba memberanikan diri menghadapi Subagio. "Kira-kira, kompensasi apa yang berani kamu tawarkan pada putraku? Jika kamu tidak bisa memberi ganti apa yang kamu ambil darinya, keluarga kamu tak keberatan membawamu ke meja hijau. Melawan keluarga kami tak akan memiliku akhir yang mudah. Yang terpengaruh bukan hanya dirimu, tapi juga orang-orang di sekelilingmu." …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN