BAB 6

1114 Kata
"Kau harus membantuku," kata pria itu, saat baru tiba di kelas dan menaruh tasnya. Dia dikejar waktu. Semalam, ia sibuk bermain game sampai larut dan sekarang tugasnya terbengkalai. Ia bahkan sampai mengira kalau hari ini hari Rabu. Namanya Chedrick. Badannya tinggi kekar, wajar karena ia seorang atlet beladiri. Warna kulitnya kecokelatan dengan mata hitam legam dan rambut ikal. Meski bertubuh atletis, diantara semua murid dia membawa tas paling kecil dan ringan. Kadangkala isinya hanya pulpen saja. Untung-untung kalau dia ingat, karena ia suka meminjam barang dan lupa mengembalikannya. Sementara yang dimintai pertolongan adalah Axton. Ketimbang kekar, laki-laki ini bertubuh tinggi dan bidang. Matanya senantiasa sayu, dengan rambut coma hair. Sejujurnya ia juga pemalas, untungnya dia sedikit cerdas ketimbang Chedrick. Ia baru menyelesaikan tugasnya lima menit yang lalu. "Coba jelaskan tugas ini," mohon Chedrick, membuka bukunya. "Lihat saja tugasku." Axton menyuguhkan bukunya. Chedrick menggeleng. Sebelumnya ia memang hanya menyalin jawaban Axton setiap kali ada tugas. Tetapi, seminggu yang lalu bu Sinta mengomelinya, karena jawabannya benar semua sementara saat naik ke papan tulis, ia menulis jawabannya—Menyalin soal lalu tersenyum kikuk, mengedipkan mata menggoda bu Sinta. Sayang sungguh sayang, pukulan penggaris mendarat di punggungnya. Axton dengan helaan napas berat dan penuh rasa malas menoleh. Mendekatkan tubuhnya. Menjelaskan satu demi satu. Dia mendongak ketika selesai menjelaskan satu nomor soal. "Kau pasti mengerti, kan? Ini cuma soal dasar." Chedrick menggeleng. "Kenapa A sama dengan satu dan B sama dengan dua?" tanyanya. "Karena X dan 2Y. Jadi 1 dan 2." "Kenapa X-nya 1?" "Karena kalau koefisiennya tidak ada, berarti satu." "Kenapa bukan nol, kan tidak ada?" Axton tertawa getir. Rasanya dia ingin menembak Chedrick dengan senapan Sharp Tiger Long Truglo. "Sudah cukup b*****t. Kau hanya menyiksaku dengan kebodohanmu. Salin saja, kalau kau disuruh naik nanti, coba goda bu Sinta lagi. Siapa tau kau beruntung, atau bu Sinta tidak membawa penggaris, melainkan katana." Axton menempelkan pipinya kembali ke meja. Chedrick memutar bola mata seraya mendengus kecewa, dan disaat itu pula terdengar suara orang tertawa di belakang mereka. Chedrick membalikkan badan, menatap pria yang masih tertawa itu dengan tatapan melotot. "Kau kenapa f**k?" Pria dihadapannya menutup mulutnya. Tetapi tingkahnya semakin menjengkelkan karena menahan tawa. "Sudahlah, tidak usah kau kerjakan. Buat apa?" "Buat apa? Setidaknya aku berusaha, dan kau pasti belum. Kutraktir sepuasnya hari ini kalau tugasmu selesai." Lelaki itu malah tertawa, semakin menjadi-jadi. Ia menunjukkan secarik kertas. Bukan tugasnya, melainkan surat izin. "Maaf ibu Sinta yang terhormat, tugasku belum selesai. Jadwalku menjadi idol sangat padat, ini surat ijinku," katanya dengan gelagat murid manis yang meminta ijin. Chedrick menunjukkan jari tengahnya. Pria menjengkelkan barusan bernama Alvin. Dia memang seorang idol boyband, jadi tidak sulit menggambarkan bagaimana rupanya. Dia menawan, kata perempuan-perempuan yang teriak histeris menyaksikannya dari bawah panggung. Matanya agak sipit kecokelatan, dihiasi dengan eyelid dan eyesmile, hidungnya mancung kecil, dengan bibir kemerahan, dan jawline yang terlihat jelas. Fisik tubuhnya mirip dengan Axton, berbahu lebar, hanya saja tubuhnya lebih ramping, memudahkannya bergerak di atas panggung. Manajernya sangat menjaga pola makannya. Maka tak ada lagi jalan bagi Chedrick untuk meminta tolong selain kepada Dion. Sosok pria yang duduk paling depan yang terlihat sibuk mengerjakan sesuatu. “Di-dion.” Dion menoleh. “Boleh aku minta bantuan?” kata Chedrick sopan, sikapnya sangat berbeda saat ia berhadapan dengan Alvin. Dion mengangguk. Pembawaan Dion yang tenang dan penjelasan yang detail membuat Chedrick mudah mengerti, jika dibanding dengan Axton yang tak suka repot. Sikap Axton dan Dion juga sangat berbeda, walau mereka berdua sama dinginnya. Axton tipe manusia dingin yang mengerjakan apa pun kalau ia mau, kalau ia tidak mood terhadap sesuatu ia tidak akan mengerjakannya walau kau memaksa atau mengimingi apa pun. Walau begitu, jika mood-nya sedang baik, sikapnya akan lebih b******k dari Chedrick dan lebih mengesalkan dari Alvin. Sementara Dion tipe dingin yang memang dingin. Seperti kalian tak boleh mengajaknya terhadap sesuatu yang baginya tidak penting, membuat lawakan di depannya hanya akan membuatmu malu. Dia tipe murid teladan kebanggaan sekolah, berusaha mengerjakan sesuatu dengan sempurna, menaati peraturan, dan juga orang yang sering berkeliaran di ruang guru. Jadi wajar jika Dion peringkat satu di kelasnya, satu tingkat di atas Axton yang tidak ingin tertekan terhadap sesuatu, termasuk tuntutan belajar. Sepanjang Dion mengajari Chedrick, tak ada senyum, dan tak ada lawakan, yang ada hanya ketenangan dan kesopanan. Rasa-rasanya Chedrick sedang diajari oleh seorang pangeran penuh attitude yang merangkap jadi dosen Matematika di Universitas terbaik dari seluruh penjuru negeri. Dari segi fisik, tubuh Dion tak jauh berbeda dengan Axton dan Alvin. Kalau dari segi wajah, Dion juga tak kalah rupawannya. Cuma bedanya, Dion tampannya tipe pribumi, Axton tipe Kaukasia sementara Alvin tipe Asia Timur. Chedrick, Alvin, Axton dan Dion. Mereka berempat beruntung dari segi fisik ketimbang dua pria lainnya di kelas itu. Thomas, si kurus yang lugu dengan kulit putih pucat, serta freckles yang menghiasi hidung hingga merambat ke pipi dihiasi kacamata bulat. Serta Hugo, pria berbadan gempal yang baru saja memakan tiga bungkus keripik kentang setelah sarapan roti gandum. Di mejanya masih ada dua kotak s**u cokelat yang akan ia minum belakangan. Ya, hanya enam laki-laki di kelas itu, dan juga ada enam perempuan. Pertama ada Grace, anak dari pemilik perusaahan properti dan transportasi udara. Bertubuh ramping pendek dengan rambut cokelat bergelombang, ras kaukasia dengan mata kebiruan. Kedua Oza, perempuan ramah, seorang aktris film dan model majalah dengan banyak penggemar bertebaran. Orang tuanya blasteran pribumi dan Kanada. Ketiga ada Bella, wajahnya khas Asia Timur. Orang tuanya adalah pengusaha tambang dan informasi pentingnya adalah orang tuanya telah menjodohkannya dengan Axton. Bella sangat cerewet, baik kepada semua teman kelasnya, kecuali—Rania. Rania, murid keempat dalam kelas itu. Anak pribumi, satu-satunya murid yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Ayahnya seorang guru Biologi di Sekolah Menengah Atas di pelosok kota dan ibunya membuka toko butik depan rumah. Rania bisa bersekolah di Serix karena beasiswa. Dia sangat pintar, tetapi nilai olahraga membuatnya sulit menyaingi Dion dan Axton. Murid kelima dan keenam ada si kembar Celin dan Celina yang menjadi beauty vlogger dengan jutaan subscriber, dan kadangkala membuat vlog tentang kehidupan pribadi mereka. Seperti sekarang, mereka berdua sedang membuat vlog tentang bagaimana menjadi murid di kelas khusus di Serix School. Sekolah yang diimpikan semua orang. Suasana di kelas itu riuh-piuh. Sebelum pak Grei, wali kelas mereka memasuki ruangan dan dibelakangnya terlihat seorang anak perempuan, mengenakan seragam yang sama. Semua orang berbisik-bisik. Mereka tahu kalau perempuan itu pasti murid baru. Setelah pidato singkat pak Grei, murid baru itu memperkenalkan dirinya. “Namaku Eveline.” Semua orang mengangguk. Nama yang bagus. “Apa kami boleh bertanya?” kata Bella setelah mengangkat tangannya. “Tidak.” Pak Grei menyela. “Dia baru saja terkena musibah, kepalanya terbentur dalam kecelakaan dan dia lupa ingatan. Jadi bapak mohon, jaga Eveline baik-baik.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN