Semua murid meng-iyakan.
Pengumuman terakhir yang disampaikan pak Grei adalah bahwa bu Sinta tidak masuk.
“Baca buku kalian dan jangan berkeliaran.” Pesannya setelah menunjukkan bangku Eveline di sebelah Rania lalu meninggalkan ruangan.
Eveline berdiri cukup lama, sebelum benar-benar duduk. Ada bunga bakung putih di atas mejanya. Rania segera menyingkirkan benda itu, menaruhnya di belakang.
“Namaku Rania,” kata Rania menjulurkan tangannya.
Eveline membalas juluran tangan itu. “Ah, ya. aku Eveline.”
“Kau sudah menyebutnya tadi.”
“Oh aku lupa, maaf,” kata Eveline gugup.
“Jangan sung—”
“Hai, Eveline. Kau tidak ingin berteman dengan orang yang salah, kan?” cerocos Bella, menatap Rania dengan pandangan remeh-temeh. “Aku Bella dan ini si kembar..”
“Celin.”
“Celena.”
Eveline mengangguk. Entah mengapa keberadaan mereka bertiga membuatnya merasa tidak nyaman.
“Wait… what?!” Celena mengejutkan semua orang dengan suara lengkingannya. Sembari matanya tertuju pada tas Eveline. “Inikan tas langka Jeyr, buatan desainer ternama Oru. Aku sudah menabung berminggu-minggu untuk ini.”
Celin ikut-ikutan heboh seperti saudarinya. “Dari mana kau mendapatkannya Eveline?”
“A-aku tidak tahu, papa yang membelikannya untukku.”
“Memangnya siapa papamu?” tanya Bella.
“D-David.”
“DAVID!?” Bella, Celin dan Celena spontan berteriak bersamaan. Sementara murid lainnya dalam kelas itu menoleh memandangi Eveline.
“Pemilik David Corp?”
“Kau… benar-benar anaknya?”
Eveline mengangguk.
“AAA….”
BRUGHHKKK!
Terdengar suara gebrakan meja. Pandangan semua orang beralih dari Eveline ke sumber suara. Rupanya Axton.
“Bisakah kalian diam?! Duduklah dengan tenang dan jangan ganggu tidurku.”
“Loh, suka-suka kami dong, kau siapa ngatur-nga—”
“Duduklah…” Dion berbalik, ia yang sedari tadi fokus membaca buku kini terlibat dalam kericuhan itu. “Bella, Celin, Celena. Kembali ke tempat kalian, kalian bisa bertanya pada—murid baru itu saat jam istirahat.”
Mereka bertiga menurut. Mau bagaimana lagi, kalau sudah Dion yang menyuruh mereka.
Saat jam istirahat, Rania membawa Eveline ke kantin setelah ditanya-tanyai pertanyaan tidak penting oleh Bella dan si kembar, seperti apa yang kau lakukan di rumahmu?, Boleh kah kami berkunjung suatu waktu? Kau punya saudara laki-laki?
Untungnya Eveline segera menyela sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dengan alasan kalau ia lapar dan ingin makan di kantin bersama Rania.
Mereka berdua memesan dua gelas jus stroberi.
Seperti orang yang layaknya berkenalan, Eveline dan Rania saling melemparkan pertanyaan. Tetapi Rania tak banyak bertanya, hanya keseringan menjawab, mengingat Eveline baru saja lupa ingatan.
Seiring berjalannya waktu mereka berbincang, tiba-tiba segerombolan perempuan di seberang mereka heboh menatap layar besar yang dipajang di dinding kantin. Video Dion, yang memenangkan lomba cerdas-cermat Fisika kemarin.
Kalimat pujian samar-samar terdengar. Tampan, cerdas, dingin, berwibawa. Kata-kata semacam itu seperti mengambang-ngambang di udara.
“Dia Dion,” kata Rania, menyadarkan Eveline dari lamunannya. “Ketua kelas kita, yang tadi menyuruh Bella, Celin dan Celena duduk.”
“Yang menggebrak meja?”
“Bukan. Itu Axton, yang satunya lagi.”
“Aaa.. yang duduk paling depan?”
“Yup. Kalau kau ingin tahu, dia anak yang dingin. Tidak ada yang satu pun yang mengerti bagaimana dia sebenarnya kecuali Iris.”
“Iris, yang mana itu?”
Rania menelan ludah. “Dia sudah tidak ada di kelas kita Eveline.”
“Dia pindah sekolah?”
“Tidak, dia meninggal. Dan bunga bakung di mejamu tadi, itu untuknya. Kau duduk di bangkunya sekarang.”
Eveline spontan memekik kemudian menutup mulutnya.
“Ah kasihan sekali. Kenapa bisa meninggal?”
“Tak ada yang tahu. Keluarganya dan Dion menyembunyikan alasan kematiannya. Tetapi kurasa bukan karena penyakit. Perempuan itu baik-baik saja sehari sebelum kepergiannya, tepatnya seminggu sebelum penerimaan rapor. Aku masih ingat pembicaraan terakhir kami, dia meminjam pulpenku.”
“Kalau bukan karena penyakit berarti mungkin saja pembunuhan atau bunuh di—”
“Ssttt…” Rania menutup mulut Eveline.
Kurang lebih lima meter dari tempat mereka, ada Dion yang berjalan menghampiri. Tetapi bukan menghampiri mereka. Dia mencari tempat duduk dan akhirnya terduduk tepat di tengah-tengah, makan sendirian. Sementara banyak pasang mata tertuju padanya dengan kagum.
Eveline memandangi pria itu dari kejauhan. Entah mengapa ia justru merasa kasihan.
*
Hari pertama Eveline di sekolah tidaklah buruk. Walau Bella dan si kembar sedikit menjengkelkan, setidaknya ada Rania yang menemaninya.
Dan ada lagi satu masalah kecil, Eveline kesulitan belajar. Maka hari-hari setelahnya, saat di rumah, Eveline lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan pribadinya untuk membaca. Juga ada delapan pembimbing privat yang beda-beda tiap harinya yang didatangkan papanya untuk membantunya memahami pelajaran.
Hari demi hari berlalu, Leah perlahan mulai terlupakan, karena Leah yang sekarang berusaha menjadi Eveline yang dulu. Sering kali bertanya kepada bibi Ki tentang apa yang biasanya Eveline lakukan. Makanan kesukaan, hobi sampai hal-hal sepele macam bagaimana Eveline menghias rambutnya.
Sementara Merema, dirundung perasaan resah. Dokter bilang, jika suatu waktu ingatan Leah bisa saja kembali bila ada sesuatu hal yang membuatnya teringat akan masa lalu. Entah itu momen berharga, atau benda-benda. Merema tak bisa menyembunyikannya lebih lama. Ia juga tak mungkin terus-terusan menghalangi Eveline yang sekarang untuk tahu masa lalunya. Maka yang perlu Merema lakukan hanyalah menyiapkan diri saat hari dimana ingatan Leah kembali. Mungkin dia akan menunjukkan surat itu, atau berbohong kalau Eveline hanya sedang berhalusinasi menjadi perempuan lain karena kebanyakan belajar.
“Jangan terlalu serius belajar Ev.”
Eveline terlonjak, buku di genggamannya jatuh ke lantai. Rupanya Bram, yang membawa segelas jus stroberi.
“Tidak bisa kah kakak mengetuk pintu saat masuk ke kamarku?”
Bram usil menarik hidung Eveline. “Tidak.”
“Berarti dari dulu memang seperti ini ya? Jadi mulai hari ini aku mau bilang kalau Eveline yang sekarang tak suka dikejutkan begitu.”
“Dari dulu memang begitu sih, kau suka marah-marah. Jangankan masuk kamar, tak sengaja menyenggolmu bisa membuatku diolesi obat salep tiga hari.”
Bram tertawa, diikuti Eveline. Dua kakak-beradik itu semakin akrab, sejak Bram tak lagi memutuskan untuk menghabiskan waktunya di bar. Dia kebanyakan duduk di meja kerjanya sendiri yang ruangannya bersebelahan dengan ruangan papanya.
Bram memenuhi janjinya kepada David, demi Eveline.
Eveline berterima kasih kepada Bram. Bukan karena jus stroberi, tetapi Bram sudah menyempatkan waktu untuk melihatnya. Padahal ada bibi Ki dihadapan Eveline dan belasan pembantu di depan pintu kamar.
Saat berjalan keluar, senyum Bram yang semula merekah perlahan berubah. Rasa penyesalan menghampirinya. Kalau saja sebelum Eveline yang asli meninggal dan ia berbuat seperti ini, mungkin Bram akan sedikit tenang. Setidaknya dia bisa menjadi kakak yang baik yang menemani adiknya di saat terakhirnya.
Dia menghabiskan waktu di bar saat Eveline masuk rumah sakit. Bahkan di detik-detik terakhir perempuan malang itu pergi.