Chapter 1 Hati yang Gelisah
“Apa yang harus kulakukan?”
Bangunan restoran kuno itu tampak lenggang. Dulu cahaya keemasan dari dalam mengundang banyak pelanggan. Suara orang-orang mengobrol, derit kursi yang ditarik, denting alat makan, dan aroma daging panggang membuat suasana akrab yang hangat.
Anya tidak bisa menebak jam berapa pelanggan terakhir keluar dari dalam sana. Atau berapa lama yang dibutuhkan untuk menunggu pelanggan baru datang.
Jadi dia berdiri dan menatap, mencoba mencerna situasi rentan ini. Kakeknya yang membuat restoran dan memberinya nama Douillet Resto, lalu ayahnya menjalankan restoran sampai begitu sukses, menurut orang-orang di tempat ini juga ayah dan ibunya pertama kali bertemu. Dan Anya tumbuh besar di sini.
Kini setumpuk tanggung jawab membelitnya begitu rumit. Anya mendesah sambil berjalan ke sisi bangunan menuju ruangan kerjanya di belakang restoran. Saat melewati dapur terdengar bunyi besi membentur lantai.
Dari kejauhan terdengar suara pria memerintah disusul sahutan lain. Anya langsung menghampiri, di balik pintu yang tingginya sepinggang, dua orang berlarian, satu menjatuhkan wajan, satu lagi menunduk menyodok gagang spatula ke kolong meja.
“Ada apa ini?” Anya membuka pintu. Matanya membelalak begitu lebar sampai terasa sakit. Tikus. Hewan jorok berbulu hitam itu berlari dari kolong meja satu ke meja lainnya. Itu tikus. Di dapur restorannya ada tikus.
“Tutup pintunya,” perintah si kepala koki, hampir berteriak.
Spontan Anya menutup pintu dan menjerit ketika si tikus berlari menuju pintu untuk lolos. Dia mengentakkan kaki dan menyingkir ke sudut pintu. “Cepet tangkap, Pak! Itu di kolong situ,” tunjuk Anya, “pukul aja tikusnya, gencet, BUNUH!” ucapnya panik penuh emosi.
Pak Daffa, si kepala koki, tiba-tiba menegakkan punggung. Ruangan mendadak hening, semua mata menatap ke arahnya. “Itu bukan tikus, tapi Roger!”
“Apa?” Anya mengerjap bingung.
“Marmut, peliharaan saya, Bu!”
“Hah?”
***
Setelah si marmut berhasil ditangkap, Anya meminta Pak Daffa ikut ke ruangannya. Begitu masuk, di meja kerja sudah ada amplop baru. Anya memijat pelipisnya dan duduk. “Simpan Roger di sini.
Pak Daffa patuh menaruh peliharaannya di atas meja. Ekspresi wajahnya penuh permohonan maaf.
Anya menyandarkan punggung dan memelototi marmut berwarna hitam dalam kandang besi di atas meja. Mata marmut itu berkilauan seperti biji kelengkeng dan pipi gembulnya asyik mengunyah potongan wortel tanpa merasa bersalah setelah membuat keributan di dapur.
“Maaf, ya, Bu, tadi Roger lepas dari kandang.”
“Kenapa Pak Daffa bawa peliharaan ke sini? Kan peraturan perusahaan tidak membolehkan.”
Wajah Pak Daffa penuh kekhawatiran akan mendapat surat peringatan yang bersangkutan dengan pemotongan gaji. “Maaf, Bu, saya baru beli Roger untuk anak saya yang ulang tahun hari ini. Kalau beli sehabis resto tutup, tokonya sudah tutup.”
Tangan Anya memijat pelipis lagi. “Bapak kan tahu restoran kita sekarang kondisinya kayak gimana, kalau semisal ada tamu yang dengar bisa makin jatuh image restoran kita.” Mata Anya memejam sejenak, tidak merasa berbeda kalaupun ada tamu di dalam resto melihat kehebohan barusan. “Ya udah, Bapak boleh kerja lagi.”
***
Anya mengambil amplop dan menyobek segel, membaca surat tagihan baru. Apa lagi yang harus dijual atau digadaikan sekarang?
“Nggak ada temanku yang mau meminjamkan uang.” Anya menggigit ujung kuku ibu jarinya. Saat susah, terlihat jelas mana teman, mana siluman. Terlepas dari teman-temannya yang juga sama-sama baru lulus kuliah, tidak ada yang bisa meminjamkan uang sebesar yang dibutuhkannya. Anya belum pernah meminjam uang ke bank atau pinjaman online. Ngeri ketika membayangkan tidak bisa melunasi utang dan diburu rentenir seperti babi ngepet.
GEPRAK!!
Anya tiba-tiba memukul meja kerjanya dengan amplop tagihan yang digulung. Ekspresinya waspada. Terdengar gerakan dari kolong meja. Langkah kecil berlarian panik. Itu pasti si kecoak hitam tengik yang dari kemarin piknik di kolong mejanya.
Anya berjengkit ketika kecoak itu keluar, jatuh ke lantai, dan lari terbirit-b***t ke tumpukan kardus. Gulungan amplop yang dipegang Anya menggeprak kardus lagi. Anya melompat-lompat panik saat si kecoak keluar dan berlari menghampirinya. Rupanya ingin menantang nyawa. Anya memasang wajah mengancam penuh tekad membunuh.
Perburuan dimulai. Diseretnya kursi keluar dari sekat, lalu melepas sepatu dan menggenggamnya mantap. Satu kali tepukan tidak kena, lari ke rak dokumen, Anya menggebrak lagi, si kecoak lari lagi, momen yang tepat, pukulan keras mendarat dan perburuan berakhir. Si kecoak naas tergencet sepatu dan ditemukan tewas mengenaskan dalam kondisi gepeng.
Dengan ujung jarinya mengambil antena kecoak itu, bergidik geli bercampur jijik membuangnya ke tong sampah. Setelah mencuci tangan, Anya kembali mengambil tas, berjalan cepat seperti kecoak menuju mobilnya yang terparkir.
Nasibnya bisa jadi serupa. Panik mencari jalan keluar tanpa tahu tujuan, tanpa perencanaan, rentan dimanfaatkan karena ketidaktahuannya, tergencet utang keluarga, dan mati karena siksaan mental.
Menjadikan dirinya sendiri bos?
Lelucon tidak sensitif macam apa itu? Banyak orang yang bergantung hidup di sini. Bahkan karyawannya tidak cukup berani menuding ketidakmampuannya. Mereka lebih memilih menyalahkan pandemi Covid 19 yang membuat kondisi menjadi sulit.
Anya tidak tahu banyak tentang manajemen restoran. Ia terbiasa mengiris bawang dibanding inventori barang. Keluarganya memiliki banyak uang atau begitulah perkiraannya selama ini. Pakaiannya bagus, Anya lulus kuliah di kampus ternama, dan mobilnya bagus.
Pada akhirnya yang diketahui Anya adalah ini: om dan tantenya memberitahu usaha restoran mereka sedang bermasalah. Beberapa cabang harus ditutup, barang-barang dilelang, para pegawai diberhentikan. Anya mencoba membantu di restoran, sudah berusaha selama dua bulan ini, rasanya seperti naik roller coster.
Dan, itu tidak baik-baik saja.
***
Di kantornya yang berdinding kaca di Thamrin, Jakarta Pusat, Bima Abian duduk di balik meja kerjanya. Matanya fokus menganalisis penjualan, melihat grafik promo kafe, menarik garis perkiraan omset closing akhir bulan. Puas dengan perhitungannya.
Handphone-nya berdering, dari salah satu klien. “Halo, Pak!” Bima menunduk sembari membereskan catatannya. “Anda tidak butuh desain yang mahal untuk aplikasi ringan, hanya mencari copywriter yang cerdas untuk menarik customer.”
Sudah berapa kali mereka membahas ini? Dua, tiga? Bima bertanya-tanya apa yang membuat kliennya begitu keras kepala. “Saya ngerti Bapak ingin desain yang bagus, tapi itu percuma kalau konten Anda jelek. Lebih baik memberikan apa yang dibutuhkan calon pembeli, bukan teori.” Ketukan pintu menginterupsi, Bima menoleh dan melihat manajer kafe berdiri di pintu. Dia mengangguk dan mengangkat tangan meminta manajernya menunggu.
“Begini saja, saya akan memikirkan masalah Anda dan menghubungi kembali. Jika dari tim kami memutuskan untuk mengubah desain aplikasi, kami akan mengatur jadwal pertemuan.” Setelah mendengar persetujuan, Bima memutuskan panggilan.
“Ada apa?”
“Ada yang ingin bertemu. Dia wanita yang beberapa hari lalu ke sini,” jelas manajer.
“Bilang aku sibuk,” Bima melirik arlojinya. “Waktu temu dengan klien sebentar lagi, minta dia membuat janji.”
“Jujur, aku nggak tahu cara ngomongnya.”
Bima tersenyum mengejek. “Kombinasi kata apa pun bisa asal mengandung kata ‘tidak’ dan ‘lain waktu’.”
Manajernya keluar, lalu sosok yang berbeda masuk tanpa perlu basa-basi. Wanita dengan pakaian mahal dan lipstik merah menyala, riasan wajah yang menyamarkan kerutan. Dia menutup pintu hingga mereka hanya tinggal berdua.
“Nggak perlu nutup pintu,” dengan dingin Bima berkata, “karena dalam waktu sepuluh detik Ibu akan segera kembali melewatinya. Nggak ada percakapan pribadi di ruang kerja.”
Mata wanita itu terpaku menatap Bima. “Aku ini ibumu dan aku ingin ngomong hal yang penting sekarang,” ucapnya dengan penekanan kata di akhir.
Ibunya berjalan ke sofa di tengah ruangan, dan Bima tidak punya pilihan selain mengikutinya. “Jangan terlalu sering ke sini,” ujar Bima sembari menuangkan air ke dalam gelas, “karyawan akan bertanya-tanya siapa ibu-ibu ini.”
Ibunya bergumam jengkel, “Kalau gitu angkat telepon setiap ditelepon.”
“Aku menjalani bisnis ratusan juta rupiah dan banyak sekali pekerjaan.” --- yang sebenarnya Bima berusaha untuk tidak berbicara dengan ibunya. Percakapan jenis apa pun tidak disukainya.
“Jangan lupa, siapa yang kasih modal buat usaha kamu.” Tatapan ibunya tajam dan sinis.
Bima merasakan sesuatu terempas menutup di dalam dirinya. Perkataan itu membuat semua alarm dalam kepalanya berbunyi. Dia tidak punya cara membayar utang dan harus melunasi dengan hidupnya.
“Aku mau kamu menikah dengan wanita yang kita sepakati sebagai jodoh kamu. Kamu bisa ‘kan ketemu dia?”
Bima menjaga ekspresinya tetap kosong. Ibunya menunggu dengan ancaman tak terucap. “Aku nggak sadar ada pertanyaan. Atur saja kapan harus ketemu dia dan di mana.” Bima berdiri. “Maaf, waktu kita habis. Kalau nggak keberatan, banyak klien yang menunggu bertemu denganku. Klien-klien yang sudah membayar.”
“Oke.” Ibunya mengambil tas tangan dan berdiri. “Kamu harus bikin gadis itu terkesan dan kalian harus menikah tahun ini.”
Bima mengingat gadis yang dimaksud sebagai remaja ceking yang dikuasai semangat riang lima tahun lalu. Gadis manja yang disuapkan kemewahan setiap hari. Perasaan tidak suka berdesir dalam diri Bima dan hanya bisa tersenyum kosong di hadapan ibunya.
***
Bima menutup pintu di belakang ibunya dan menelepon ke bagian floor untuk membawakan kopi, lalu berjalan menuju jendela yang mengelilingi dua sisi sudut ruangannya. Menatap tajam hiruk pikuk kendaraan di bawah. Dirinya memiliki banyak uang dan pengaruh, tetapi kekuasaan hal yang lebih diinginkannya.
Kekuasaan bisa membebaskannya dari tanggung jawab kepada ibunya.
Dia dulu tidak memiliki apa-apa, bertekad menggapai segalanya dengan bekerja serabutan. Dengan memanfaatkan pengalamannya dia mulai membuka warung kopi sederhana dan berhasil dengan begitu cepat.
Bima melihat peluang besar di pemasaran digital yang sedang berkembang. Kini perusahaannya menawarkan segalanya mulai dari konten kreatif, teknik pemasaran, seratus ribu data base baru setiap minggu, sampai desain pengalaman pengguna.
Pintu kantornya diketuk lagi dan Hikam, salah satu baristanya, masuk sambil membawa kopi.
Hikam meletakkan kopi di atas meja. Aromanya tajam dan kuat, menembus kabut pikiran dan menyadarkan Bima kalau dirinya baru tidur jam tiga pagi semalam.
“Wajah kamu kusut amat,” komentar Hikam. “Sama cewek cantik yang kemarin udah putus?” tanyanya jail.
Jika bukan karena pertemanan mereka yang sudah lama, Bima dengan senang hati meleparkan Hikam dari atas gedung dan melangkahi mayatnya yang hancur. “Diam.”
Hikam membenarkan letak kacamatanya dengan ujung telunjuk, lalu meraih empat cangkir kopi kosong dari meja dan menumpuknya. “Kamu tahu nggak. Aku sih nggak larang kebiasaan minum kopi kamu, tapi tetap harus makan malam dan cukup tidur di malam hari. Itu yang dilakukan orang-orang normal. Ya, kalau kamu mau tahu.”
“Aku nggak mau tahu.” Yang ingin diketahui Bima kapan ibunya akan menyuruhnya menemui gadis itu.
“Oke, itu bukan urasanku. Nggak tahu kenapa aku harus mengurusimu. Dan kesinisanmu itu tidak bermutu.”
“Sebaliknya, kesinisan telah melindungiku dengan baik dari incaran para wanita lapar atau pembisnis serakah.”
Cangkir-cangkir berderak di tangan Hikam ketika dengan wajah tak acuh berjalan keluar melewati pintu.