Ada Hantu Anak Kecil Mengikuti
Pagi itu, Jakarta masih terbungkus langit mendung. Awan menggantung berat, seolah tak ingin pergi. Di halaman rumahnya yang sederhana di kawasan Puri Kembangan, Erwin Sanputra berdiri memandangi mobil tua miliknya yang keras kepala menolak dinyalakan. Sempat terpikirkan apakah ia harus mengganti Daihatsu Avanza keluaran 2013. Sayangnya, ia urung. Mengingat mobil ini pemberian dari pamannya yang sudah meninggal di 2019 kemarin
“b******k,” gumamnya, memutar kunci sekali lagi. Masih nihil. Suara mesin hanya berderak lirih sebelum akhirnya menyerah. Ia memukul setir lalu meraih ponsel dan memesan ojek online.
Beberapa menit kemudian, sebuah motor bebek jenis skuter berhenti di depan rumah. Di atasnya duduk seorang pria berkacamata hitam dengan jaket hujan tergulung di lengan. Jaket oranye khas aplikator menyembul di balik jaket luar. “Erwin, yah? Ke SCBD?” tanyanya ramah.
“Betul,” jawab Erwin, menaiki motor itu sambil menyelipkan tas kerja berisi dokumen dan laptop ke dalam dek depan.
“Nama saya Jalu. Pegangannya kuat, Koh. Kita selip-selip ya, kalau bisa,” ujar Jalu sambil mengenakan helmnya.
Motor menderu melaju, membelah jalanan macet Jakarta. Baru saja memasuki kawasan Daan Mogot, Erwin merasakan getaran ponsel. Notifikasi email dari klien, meminta klarifikasi tentang gugatan wanprestasi. Ia menutup ponsel dan melirik Jalu, yang tampaknya menggumamkan sesuatu sambil memelototi GPS.
“Bang Jalu, udah dari jam berapa narik hari ini?”
“Dari jam lima subuh. Biar dapet hub pagi dari ShopeeFood. Tapi... yah, Koh, sistemnya itu kadang-kadang bikin ngelus d**a,” jawab Jalu.
Erwin tertarik. “Gimana, gimana, maksudnya?”
Jalu tertawa getir. “Abang tahu nggak, kami dijanjikan minimal dapet 4 order dari jam 6 sampe jam 10. Kalau nggak dapet, katanya dikasih kompensasi 6.400 per order yang kurang. Jadi, kalau saya cuma dapet 1 order, ya dapet, lah 6.400 kali 3. Tapi kenyataannya... aduh, Koh, nggak sesederhana itu.”
“Masa, Bang?” Erwin mulai menyimak serius. Insting pengacaranya bangkit.
“Contohnya nih, saya kemarin dapet satu order, terus dapet lagi order kedua dari resto namanya Dadar Muter-Muter yang ada di Depok. Saya geber motor dua kilometer ke sana. Sampe sana, eh... restorannya malah lagi briefing karyawan. Belum buka tuh, Koh. Mereka bilang baru bisa terima order jam 10.30. Padahal sekarang jam 09.20. Akhirnya order dibatalin secara sepihak. Masuk hitungan order, tapi statusnya cancelled. Kan nyesek, Koh."
Erwin mengernyit. “Tapi, jadi tetap dihitung sebagai order yang sudah diterima?”
“Jadi, dong. Tapi di aplikasi dibilangnya belum selesai. Akibatnya, saya cuma dapet kompensasi 6.400 kali 2, padahal realitanya, yah, tetap cuma satu order yang beres. Harusnya kan tetap dihitung kurang tiga.”
“Sistem aplikator ini jelas ada celahnya,” ujar Erwin, kini bersandar di jok belakang motor. “Abang seharusnya bisa menggugat, kalau punya bukti kuat. Kayak ada screenshot, rekaman waktu, bukti GPS perjalanan, menurut saya, itu semua bisa jadi alat bukti.”
Jalu tertawa kecil. “Emangnya saya siapa sih, Koh? Halah, saya cuma driver. Mau gugat perusahaan kayak mereka itu? Palingan juga dicuekin.”
Erwin menghela napas. “Bang, saya ini pengacara. Kalau kamu punya cukup data, saya bisa bantu draft somasi. Mungkin nggak bisa langsung gugat, tapi minimal kita kirimin keberatan tertulis ke manajemen mereka. Kalau perlu, kita bikin viral. Menurut saya, itu bisa masuk ke ranah wanprestasi, atau pelanggaran ketentuan sepihak.”
Motor melaju ke arah flyover Slipi. Di kejauhan, gedung-gedung menjulang kawasan Sudirman mulai tampak. Erwin melanjutkan, “Dan seharusnya, pihak resto juga dapat penalti. Order masuk tapi mereka belum siap secara operasional, itu kelalaian namanya. Sama kayak rumah makan yang terima tamu tapi dapurnya belum nyala.”
“Iya, Koh. Itu tuh yang bikin nyesek. Kita udah jauh-jauh, bensin keluar, waktu habis. Tapi nggak dihitung sebagai kompensasi penuh. Restonya seenaknya aja. Mana nggak ada potongan. Kalau saya boleh usul, mereka harusnya dipotong 50% dari ongkir yang seharusnya saya dapetin.”
Erwin mengangguk puas. “Usulan yang adil. Ini bisa kita susun jadi draft nota keberatan. Kamu nanti kasih saya kronologi lengkapnya via w******p. Kalau bisa, sama bukti screenshot aplikasinya, GPS, dan waktu pembatalan.”
Jalu sempat menoleh sebentar ke kaca spion. “Kokoh serius mau bantu?”
“Serius banget, Bang. Saya nggak suka ketidakadilan, meski kelihatannya remeh. Lagian ini udah masuk ranah hukum perdata. Hubungan kontraktual antara driver, resto, dan aplikator harus setara, seharusnya, yah. Tapi selama ini aplikator itu ibarat Tuhan kecil. Yang seenaknya bikin peraturan sepihak tanpa ada check and balance.”
Tiba-tiba, angin dingin menyeruak di sekitar mereka. Erwin merinding. Ia menengok ke kanan. Di atas flyover, sosok bayangan melayang pelan, seakan mengikuti mereka.
Bayangan itu berwujud anak kecil. Tanpa kaki. Matanya bolong dan sosok itu tersenyum.
Erwin mendadak bisu. Sebenarnya ia takut. Namun ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Sejak mendirikan firma hukum “Sanputra & Siagian Associates” sejak 2020, hal-hal ganjil mulai terjadi. Bukan sekadar sengketa tanah atau perkara warisan, tapi ini perkara arwah penasaran yang mendatangi kantornya.
“Kokoh kedinginan?” tanya Jalu.
“Nggak. Cuma ngerasa... ada yang ngikutin dari belakang,” gumam Erwin.
Motor melintasi kawasan Sudirman. Di langit, awan tak lagi abu. Kini lebih gelap. Matahari enggan muncul.
Sosok anak kecil tadi masih mengikuti. Kali ini ia menempel di helm Erwin.
Erwin mendesah pelan. “Maaf, Bang Jalu. Mungkin saya lagi banyak pikiran.”
Jalu tertawa kecil. “Saya juga sering ngerasa gitu kalau narik malam. Kadang merasa kayak ada yang duduk di jok belakang. Padahal kosong. Tapi saya udah kebal. Yang penting cuan masuk.”
Erwin ingin tertawa juga, tapi tawanya tercekat. Hantu itu kini memeluk bahunya. Meringkuk seperti anak yang kedinginan. Membisikkan sesuatu.
“Masih ingat anak yang mati di flyover tahun lalu? Tolong aku, Kak Erwin. Tolong...”
Motor berhenti di lobi Gedung Equity Tower. Erwin turun dengan langkah sedikit gemetar. Ia membayar lewat aplikasi dan menatap Jalu.
“Simpan nomor saya. Kalau kamu siap bikin pengaduan formal, hubungi saya.”
“Siap, Mas. Saya senang banget ketemu pengacara yang peduli.”
Erwin hanya mengangguk dan tersenyum kaku.
Di balik senyum itu, ia tahu hari ini bukan sekadar perkara hak driver ojol. Bahkan, di pagi-pagi begini, harus juga ia menemukan perkara lain. Lagi-lagi, perkara arwah penasaran yang mulai minta dibela.