4. Jatuh

847 Kata
Kasak-kusuk itu semakin keras terdengar di lorong rumah sakit. Suara langkah kaki para residen senior terasa makin berat di telinga ini, terutama setelah kejadian malam itu. Aku mendengar mereka membicarakanku. Semuanya—Martin Praja, residen senior yang terkenal kejam, menjadi pusat bisik-bisik. Akan tetapi, situasi ini berbeda. Ini Martin. Orang yang punya kuasa di sini, dan dia tidak ragu untuk menggunakannya dengan sewenang-wenang. Martin tidak akan peduli apa yang dirasakan orang lain. Yang dia tahu, hanyalah kesenangan dan keuntungan pribadi. Hari itu, setelah shift malam yang panjang, aku dipanggil oleh Martin ke ruangannya. Ruangan itu terletak di ujung koridor, jauh dari hiruk-pikuk bangsal pasien. Akan tetapi, tetap terasa menakutkan. Martin duduk di balik meja besar, matanya menatap tajam ke arahku. "Dokter Aya, kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi. Aku menggeleng, walaupun aku sudah punya firasat buruk tentang ini. Martin mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya melipat di atas meja. "Kemarin malam, kamu menghilang. Aku tidak bisa menemukanmu di mana pun. Kau pikir kau bisa bermain-main di sini?" Aku mencoba menjelaskan, "Aku punya urusan keluarga, dan—" "Simpan alasanmu," potongnya cepat. "Kamu tahu, semua residen harus mengikuti aturan di sini. Kalau tidak, maka hukuman akan diberikan." Martin menjawab dengan cepat. Jawaban itu tidak boleh ditentang oleh siapa pun termasuk aku. Lagi pula, siapalah aku yang bisa menentang Martin dan geng-nya. Wajah ini menunduk karena takut luar biasa. "Kamu harus jadi penagih iuran bulanan," kata Martin dengan nada seolah itu adalah hal sepele. "Nominal minimal empat puluh juta hingga paling besar dua ratus juta. Kau punya waktu seminggu untuk menyetorkannya padaku. Aku tidak mau melalui transfer, harus uang cash," lanjut Martin tanpa rasa belas kasihan sama sekali. "Bagaimana mungkin aku bisa—" Martin mengangkat tangannya, menghentikan kata-kataku. "Itu bukan masalahku, Aya. Kalau kau tidak bisa melakukannya, kau tahu apa yang akan terjadi. Kau mungkin tidak akan pernah menyelesaikan pendidikanmu di sini." Perasaan ini semakin kacau, tekanan itu menggerogoti kewarasanku. Tidak ada waktu istirahat. Tidak ada waktu untuk makan, minum, atau sekadar duduk sebentar. Semua terasa seperti spiral yang tak berujung. Di tengah kekalutan yang luar biasa, Gading tiba-tiba muncul di hadapanku. Lorong rumah sakit ini menjadi saksi pertemuan kami. Aku terkejut melihatnya di sini. Dia seharusnya masih dalam masa pemulihan setelah insiden sebelumnya. "Gading?" aku berusaha menata suara agar terdengar normal. Dia menatapku dengan tajam, seolah bisa melihat segala beban yang kupikul. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, nadanya penuh perhatian. Aku tertawa kecil, meskipun rasanya lebih seperti sarkasme. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" Dia menggeleng pelan. "Kamu terlihat seperti mau pingsan." Aku menghela napas berat. "Aku hanya... terlalu banyak hal yang harus kupikirkan." Gading menatapku lebih dalam, matanya penuh kekhawatiran. "Kalau ada yang bisa aku lakukan, Aya, beritahu aku." Aku ingin menolak tawarannya. Aku tidak ingin melibatkan Gading dalam masalah ini, tetapi aku merasa terlalu lelah untuk menyangkalnya. Wajah dan mata ini mungkin bisa dengan mudah ditebak oleh orang lain. Ya, aku sudah sangat tertekan secara mental dan fisik saat ini. "Aku ... aku dihukum oleh residen senior," kataku akhirnya. "Aku harus mengumpulkan uang iuran bulanan dari residen seangkatanku dan jumlahnya sangat besar. Aku tidak tahu harus mulai dari mana," lanjutku yang pada akhirnya menceritakan ini pada Gading. Gading terdiam sejenak. Dia tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya berkata, "Aku punya sedikit tabungan. Tidak banyak, tapi mungkin bisa membantu." Aku menatapnya dengan terkejut. "Kamu tidak perlu—" "Aku ingin membantu. " Gading memotong ucapanku. "Aku tahu ini tidak akan menyelesaikan semua masalahmu, tapi setidaknya bisa meringankan bebanmu," lanjutnya tanpa mau ditentang sedikit pun. "Terima kasih, Gading." Aku berkata dengab pelan karena sudah tidak punya tenaga lagi." "Tapi, aku tidak bisa menerima itu. Ini masalahku, dan aku harus menyelesaikannya sendiri," tolak Aya yang sadar jika Gading bukan orang biasa. Dia menatapku dengan mata yang penuh empati. "Tidak ada salahnya menerima bantuan, Aya. Terkadang kita memang tidak bisa melakukannya sendirian." Aku menundukkan kepala, merasa kalah oleh rasa lelah yang merayap. "Aku akan memikirkannya," jawabku akhirnya. Kekalutan karena perintah Martin membuat hari ituu, aku jatuh. Di tengah shift, ketika sedang menangani pasien, tubuh ini tak lagi mampu menopang beban. Pandangan mulai kabur, dan sebelum aku menyadarinya, semuanya gelap. Entah apa yang terjadi setelah ini. "Kamu pingsan. Gading berkata pelan. "Dokter bilang kamu kelelahan juga asam lambungmu naik," katanya lagi menjelaskan keadaanku. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terasa sangat lemah. "Aku harus kembali bekerja ..." "Tidak. Kamu butuh istirahat."Gading memotong tegas ucapanku. "Kamu sudah terlalu memaksakan diri, Aya," lanjutnya dengan nada dingin dan membuat nyaliku menciut seketika. Aku ingin membantah, tapi kata-katanya ada benarnya. Aku merasa begitu lemah. "Aku tidak punya pilihan." Aku berbisik pelan, takut jika ada yang mendengar. "Jika aku tidak memenuhi tuntutan mereka, aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliah ini," lanjutku kembali berbisik pada Gading. Gading menghela napas. "Aya, ini tidak adil. Kamu tidak bisa terus diperlakukan seperti ini." "Aku tahu, tapi apa yang bisa kulakukan?" Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Kita harus mencari jalan keluar. Jika ini soal uang, mungkin aku bisa—" Aku menggeleng. "Ini bukan hanya soal uang, Gading. Ini tentang kekuasaan. Mereka yang berkuasa di sini bisa melakukan apa saja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN