Dengan perasaan tidak menentu, aku tetap menagih uang iuran pada setiap residen junior. Mereka banyak yang berkeluh kesah. Aku baru tahu, besarnya iuran sudah ditentukan oleh Martin dan senior lainnya. Mereka beralibi jika itu untuk memudahkan para junior.
"Kenapa harus jadi begini?" gumamku, memandang langit-langit putih kamar yang terasa semakin menekan dan aku selalu memikirkan Gading, kami belum bertemu lagi sejak pertemuan di lorong itu.
Martin tak berhenti mempersulitku. Setelah perintah mengumpulkan uang dalam jumlah besar, sekarang ia meminta menyerahkan uang itu dalam koper, langsung ke tangannya dan harus dipatuhi. Jika tidak, dia sudah mengancam akan menyeretku ke polisi—dengan tuduhan palsu yang bisa menghancurkan segalanya. Sebuah ketukan membuatku terkejut saat ini.
"Ada yang ingin bicara denganmu, Nona Aya," ucapnya datar dan segera kuangguki.
Saat aku mendekati mereka, seseorang menarik napas panjang di belakang tubuh ini. Aku menoleh, dan di sanalah dia—Martin. Ia bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan d**a, matanya menyipit menatapku. Pikiranku langsung dipenuhi kecurigaan. Apa yang diinginkannya sekarang?
“Aya." Martin memanggil sambil mendekat. “Kamu sudah siap?” tanyanya membuat bulu di sekujur tubuhku merinding saat ini
“Uangnya ada di sini." Aku menjawab sambil menunjuk ke arah koper hitam ini.“Sesuai permintaanmu," lanjutku dengan cepat.
Martin tersenyum, senyum yang kurasa penuh dengan maksud tersembunyi. “Bagus. Kita langsung saja ke tempat yang sudah disepakati.”
Di parkiran bawah tanah rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara langkah kaki kami yang terdengar bergema di antara dinding beton. Aku baru pertama kali berada di tempar ini. Di sana, sebuah mobil hitam menunggu, mesinnya menyala, lampu depannya menerangi kegelapan di sekitarnya.
Martin berjalan mendahului, membuka pintu bagasi mobil dan memberi isyarat agar aku mendekat. “Masukkan uangnya,” perintahnya.
Suasana ruangan ini sangat pengap dan mistis. Entah mereka juga merasakannya atau hanya aku saja. Bulu kuduk ini meremang. Firasatku buruk kali ini.
Hal tak terduga terjadi, hanya beberapa detik setelah koper itu berpindah tangan, sesuatu hal terjadi. Tiba-tiba, dari kegelapan, muncul dua pria bertopeng dengan senjata api di tangan. Mereka bergerak begitu cepat, seperti bayangan yang memotong udara. Uang itu hilang seketika.
“Martin!” teriakku, tapi semuanya berlangsung terlalu cepat.
Martin meringis kesakitan, mencoba bangkit. “Sial! Apa yang baru saja terjadi?”
Aku mendekatinya, jantungku masih berdegup kencang. “Kau baik-baik saja?” tanyaku, meski bagian dari diriku ingin sekali meninggalkannya di sana.
Ia menatapku dengan mata penuh amarah. “Ini semua salahmu! Siapa pria yang ada di balik semua ini, Aya? Jangan berpura-pura tidak tahu!”
Aku menggeleng, bingung dengan tuduhannya. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Martin. Aku hanya melakukan apa yang kau minta.”
Martin berdiri, meski wajahnya masih menahan sakit. “Kau pikir aku bodoh? Semua ini terlalu aneh. Kau selalu dikelilingi pria-pria mencurigakan, seperti pria yang terlihat bersamamu di rumah sakit. Jangan bilang kau tidak tahu siapa dia!”
Aku terdiam. Gading. Pasti Martin sedang membicarakan Gading. Tapi aku tidak bisa mengungkapkan apa pun tentangnya. Bahkan, aku sendiri tak tahu banyak tentang dunia Gading, dan semakin terlibat, semakin merasa tenggelam dalam rahasia gelap yang tak sepenuhnya kumengerti. Dunia mereka sangat sulit bagi hidup ini.
“Aku tidak punya urusan dengan siapa pun,” jawabku dengan suara pelan, mencoba menutupi ketakutanku. “Aku hanya ingin menyelesaikan semua ini dan kembali bekerja seperti biasa.”
Martin tertawa sinis, sambil memegangi perutnya. “Kau pikir semuanya akan selesai begitu saja? Tidak, Aya. Ini baru permulaan. Aku akan mencari tahu siapa pria itu. Dan ketika aku menemukannya, kalian berdua akan menyesal.”
Ia berbalik dan berjalan menjauh seolah lupa dengan luka pada perutnya, meninggalkanku sendirian di parkiran yang gelap. Rasa dingin merayap di tulangku, bukan hanya karena malam yang mulai merambat semakin larut, tapi juga karena ancaman yang kini menggantung di atas kepala ini. Sungguh, aku kini merasa sangat terancam.
Ketika aku kembali ke kamar rawat inap, suasana di lorong rumah sakit sudah lebih tenang. Penjaga-penjaga itu masih berdiri di tempat mereka, seolah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. Naif, jika aku berpikir mereka akan peduli.
Di dalam kamar, aku langsung menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Tubuh ini masih lelah, tapi pikiran tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Lalu, teleponku bergetar di atas meja. Ada pesan masuk.
Gading: “Aku tahu apa yang terjadi. Jangan khawatir, semuanya akan segera selesai.”
Aku menatap pesan itu lama. Gading tahu? Bagaimana ia bisa tahu apa yang baru saja terjadi? Aku merasa semakin bingung, tapi pada saat yang sama, ada rasa lega yang perlahan meresap. Gading selalu tahu cara untuk membuatku merasa aman.
Dengan mata berat, aku menutup telepon dan membiarkan pikiranku tertidur. Tapi dalam hatiku, aku tahu, badai besar masih akan datang, dan aku hanya bisa berharap Gading ada di sisiku untuk melewatinya.