'Apa mereka saling kenal? Siapa Gading yang sebenarnya jika mereka saling kenal?' Aku masih saja memikirkan kejadian itu.
Kejadian perampokan uang iuran itu jelas membuatku sangat syok. Mata ini baru kali ini melihat dengan jelas perampokan. Kejadian itu begitu cepat. Lantas siapa Gading? Mengapa bisa tahu tentang semua ini?
Aku berdiri memandangi jendela ruang istirahat dengan pandangan kosong. Di luar sana, jalanan basah akibat hujan yang baru saja reda. Awan kelabu masih menggantung, menciptakan suasana yang sendu—begitu mirip dengan perasaanku saat ini. Sudah beberapa hari berlalu sejak aku terakhir kali melihat Gading.
Dia menghilang begitu saja setelah insiden perampokan itu, dan anehnya, aku tak bisa mengusir perasaan curiga yang terus merayap dalam pikiran ini. Aku merasa ada yang tidak beres dengan laki-laki yang pernah aku tolong itu. Entahlah. Hati ini mengatakan jika ada yang mencurigakan dari seorang Gading.
'Andai Martin dan Gading saling kenal, artinya, Martin bukan Dokter sembarangan,' batinku sambil melamun.
Aku menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan Gading dari pikiranku. Tidak, ini semua hanya kebetulan, batinku mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi apa mungkin? Tiba-tiba muncul dalam hidupku, lalu menghilang setelah kejadian besar seperti itu?
“Hey, Aya. Kamu melamun ya?”
Suara Martin mengagetkanku. Aku menoleh, melihat seniorku itu berdiri di pintu ruang istirahat dengan wajah serius. Seperti biasa, ekspresinya keras, tidak menunjukkan kelembutan sedikit pun. Meski begitu, ada sesuatu di matanya hari ini—rasa panik yang tak biasa.
“Ada apa, Martin?” tanyaku, berusaha terdengar santai, meski jantungku berdebar kencang.
Dia mendekat, lalu duduk di kursi di depanku tanpa mengundang basa-basi. “Kamu dengar tentang uang itu, kan?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, aku dengar. Uang yang hilang saat kamu bawa. Aku bahkan ada di tempat kejadian.”
Aku mengingatkan kejadian itu. Ah, ya, aku tahu, Martin sedang berusaha memancingku saat ini. Ini adalah salah satu cara senior jahat ini membuka obrolan. Aku sudah kebal dengan cara kotornya itu.
Martin menarik napas panjang, wajahnya tampak semakin kusut. “Aku dituduh sebagai dalangnya, Aya.”
Aku tersentak. “Apa? Tapi... itu kan tidak mungkin. Kamu sendiri yang jadi korban perampokan.”
“Dekan kita, BuLusiandra tidak peduli,” balas Martin sambil mengusap wajahnya dengan tangan. “Dia hanya mau uang itu kembali, dan aku harus menggantinya. Kalau tidak, dia akan melaporkanku ke pihak universitas. Dan kau tahu apa artinya itu, kan?”
Aku terdiam, merasa simpati. Lusiandra memang dikenal sebagai dekan yang kejam dalam menegakkan aturan. Jika Martin sampai dilaporkan, karirnya bisa hancur. Akan tetapi, tunggu dulu, apakah Martin sedang mencari mangsa baru yang akan dikambing hitamkan?
“Kenapa tidak minta bantuan ayahmu?” tanyaku hati-hati.
Martin mendengus pelan, senyum sinis muncul di bibirnya. “Ayahku? Kau pikir dia akan membantu? Dia bahkan tidak tahu aku terlibat dalam urusan ini. Jika dia tahu aku butuh uang sebanyak itu, dia pasti curiga. Fakultas sudah memberikan keleluasaan padaku untuk tidak membayar iuran bulanan, dan ayahku tahu hal itu. Kalo sekarang aku harus kembali memintanya uang? Itu akan memperburuk segalanya.”
"Apa maksud kamu? Jadi, dokter Martin tidak ikut membayar uang iuran itu?" Aku sedikit syok mendengar penjelasan Martin.
"Eum ...." Wajah Martin berubah panik. "Bukan itu, Ya, aku yang ditunjuk untuk menarik uang iuran itu. Bukan berarti aku tidak membayar. Uang itu seharusnya satu koma tujuh milyar, aku yang membayar kekurangannya. Aku tahu, tidak semua junior residen dari keluarga kaya," lanjut Martin membuatku sedikit bersimpati sekaligus curiga.
Aku paham betapa sulitnya posisi Martin. Ayahnya, Praja, adalah pejabat berpengaruh yang sering memberikan perlindungan bagi fakultas kedokteran ini. Tapi meminta uang dalam jumlah besar seperti itu pasti menimbulkan pertanyaan. Banyak yang bergunjing dan sampai ke telinga ini, Praja adalah pejabat yang bermasalah.
“Jadi, apa yang akan Dokter lakukan?” tanyaku pelan.
Martin tak langsung menjawab. Dia hanya memandang ke arahku dengan tatapan penuh frustrasi, seolah-olah aku harus tahu jawabannya sendiri. “Aku belum tahu, Aya,” akhirnya dia menjawab, suaranya rendah dan penuh kelelahan. “Tapi aku harus mencari jalan keluar.”
Sebelum aku bisa merespons, pintu ruang istirahat terbuka lagi, dan perutku tiba-tiba terasa seperti diaduk-aduk. Di sana, berdiri Gading, dengan wajah yang tak kalah serius dari Martin. Jantungku seakan berhenti berdetak sejenak saat mata kami bertemu. Mengapa dia datang di saat yang tidak tepat?
“Gading,” gumamku, lebih pada diriku sendiri daripada untuknya.
Dia menatapku sekilas, lalu pandangannya beralih ke Martin. Wajahnya tetap dingin, tidak menunjukkan emosi apapun. Suasana di dalam ruangan tiba-tiba terasa begitu tegang, seolah udara dipenuhi ketidakpastian dan kecurigaan.
Martin berdiri dari kursinya, tampak tidak nyaman dengan kehadiran Gading. “Aku harus pergi,” katanya singkat, sebelum melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
"Tu-tunggu," kataku berusaha mencegah kepergian Martin dari tempat ini.
Aku berdiri mematung, tidak tahu harus berkata apa. Suasana yang sudah penuh ketegangan ini makin membuat pikiran ini kacau. Beberapa hari terakhir aku terus memikirkan Gading, dan sekarang dia muncul secara mendadak. Aku harus menanyakan sesuatu padanya, sesuatu yang beberapa waktu ini sangat mengganjal.
“Kenapa kamu menghilang?” tanyaku akhirnya, mencoba terdengar tegas meski suaraku sedikit bergetar.
Gading menatapku tajam. “Kenapa kamu menanyakan itu?”
Aku merasakan hatiku berdegup lebih kencang. “Karena setelah perampokan itu, kamu menghilang begitu saja. Dan aku... aku mulai berpikir... mungkin kamu terlibat dalam insiden itu.”
Wajah Gading langsung berubah. Ekspresinya mengeras, dan rahangnya terlihat mengatup kuat. “Apa? Kau pikir aku terlibat?”
Aku mengangguk pelan, meski ada perasaan bersalah yang mulai merayap dalam diriku. “Ya, aku... aku tidak tahu harus berpikir apa lagi. Semua hal tampaknya mengarah padamu. Kamu tiba-tiba muncul dalam hidupku, dan sekarang kamu menghilang begitu saja setelah uang itu hilang.”
"Aataga, Aya," kata Gading sambil menggeleng pelan.
Dia menatapku lama, seolah berusaha menahan kemarahan yang mulai membara di dalam dirinya. “Kau benar-benar berpikir aku melakukan itu? Setelah semua yang terjadi?”
Aku menunduk, tidak berani menatap matanya lagi. “Aku tidak tahu, Gading. Aku hanya ingin tahu kebenarannya.”
“Kebenaran?” Gading tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar pahit. “Kalau kau benar-benar mengenalku, kau pasti tahu aku bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu. Tapi jelas kau lebih percaya instingmu daripada aku," katanya kesal, tetapi masih berusaha tetap sabar.
Dia mendekat, membuatku semakin terpojok. “Kau salah, Aya. Sangat salah.”
Aku bisa merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku, tapi aku menahannya. Aku tidak bisa menunjukkan kelemahanku di depan Gading, tidak sekarang. “Lalu, kenapa kamu menghilang? Kenapa tidak ada kabar sama sekali?”
Gading menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Aku punya alasan sendiri. Dan itu bukan urusanmu, Aya.”
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan mulai melangkah pergi. Aku hanya bisa berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatiku sakit, tidak hanya karena rasa curiga yang terus menggerogoti pikiran ini, tetapi juga karena aku merasa kehilangan sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar hubungan antara pasien dan dokter. Selalu saja seperti ini, setelah bertemu dengan Gading.
Sebelum Gading benar-benar menghilang di balik pintu, aku memberanikan diri memanggilnya lagi. “Gading, tunggu.”
Dia berhenti, tapi tidak menoleh.
“Aku... aku minta maaf,” bisikku pelan, suara hampir tak terdengar.
Gading tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana selama beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa menoleh sama sekali. Sikap Gading yang seperti itu jelas sangat mengganggu. Aku tidak akan bisa tidur ketika memikirkan sikapnya.
Aku merasa tubuhku lemas, seperti ada sesuatu yang berat menghantam diriku dari dalam. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Mengapa aku merasakan kehampaan yang begitu besar setelah kepergiannya? Aku tidak tahu jawabannya, tapi yang pasti, perasaanku terhadap Gading tidak lagi sama seperti sebelumnya.