7. Kekesalan Gading

1259 Kata
"Kenapa harus dekat dengan Martin Praja!" Aku sangat kesal pada Aya. Waktu itu, aku datang mencari Aya karena ingin mengajak makan. Beberapa orang di rumah sakit yang kutanya mengatakan jika Aya sedang istirahat. Aku jelas tahu di mana tempat istirahat semua Dokter. Tidak disangka, justru mata ini melihat pemandangan itu. "Aku nggak suka Aya dekat dengan Martin." Aku meminum wine dalam sloki kecil yang ada di meja. Entah sudah berapa sloki aku meminum wine itu. Jujur, rasanya darah ini mendidih saat melihat tatapan Aya pada Martin. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi, Martin sukses membuatku sangat emosi saat berada di sebelahku dan tersenyum. "Di mana es batunya?" Aku bertanya pada diri sendiri. Mungkin saja es batu bisa mendinginkan emosi saat ini. Aku masih bisa merasakan panasnya amarah yang menyesakkan d**a sejak terakhir kali bertemu dengan Aya. Tuduhannya terus terngiang di kepalaku, meski aku tahu apa yang dia katakan ada benarnya. Akan tetapi, bukan itu yang paling menyakitkan. Bukan hanya soal dia yang mungkin mencurigai keterlibatanku dalam perampokan uang itu. Tapi, apakah ada sesuatu antara Aya dan Martin Praja? 'Apa aku telepon saja dan langsung bertanya pada Aya?' Tangan ini menekan nomor milik Aya, tetapi segera berhenti. Untuk apa? Pikiran itu membakar seperti api yang menyulut setiap inci emosiku. Sosok Martin, senior yang selalu menekan Aya, tiba-tiba menjadi musuh dalam bayanganku. Mungkinkah mereka dekat? Ada sesuatu yang lebih antara mereka berdua? 'Sejak kapan mereka menjadi akrab? Apakah Aya berbohong tentang Martin? Aku lihat, dia tidak sedang menekan juniornya?' Aku tersiksa dengan semua pikiran negatif itu. Aku tak bisa mengusir bayangan Martin dan Aya berdiri bersama. Apa yang Aya lihat dari pria seperti dia? Pria yang menurutku hanya memanfaatkan posisinya untuk menekan yang lemah. Pria yang tidak punya kemampuan dalam bidang Kedokteran dan mengandalkan uang sang ayah. 'Bisa gila aku jika seperti ini! Lebih baik keluar saja!' Aku tidak mau lagi larut dalam pikiran negatif itu. Aku melangkah keluar dari kamar apartemen, berusaha menenangkan diri dengan udara malam yang dingin. Jalanan Jakarta lengang, lampu-lampu kota berkedip pelan di kejauhan, tetapi pikiran kusut di kepala ini terus berputar. Aku menuju bar terdekat, tempat biasanya aku pergi ketika butuh menenangkan pikiran. Bar itu selalu bisa membuat hati ini jauh lebih tenang. "Tuan Gading, selamat datang. Apakah Anda ingin sendiri?" Pemilik Bar ini menyapaku dan sudah hafal dengan semua kebiasaanku. "Ya," jawabku singkat lalu ada beberapa orang yang mengantarku ke salah satu ruang VVIP di lantai empat bar ini. Entah sudah berapa banyak aku menenggak minuman keras di meja. Rasanya terbakar di tenggorokan, tetapi rasa panas itu tak juga memadamkan kobaran cemburu yang membakar dalam hati. Cemburu. Benar-benar cemburu yang tak kuharapkan. Sejak kapan aku menjadi lelaki yang mudah terbakar emosi hanya karena wanita? "Bos, ini udah gelas keberapa?" suara Rendra, salah satu orang kepercayaanku, membuyarkan lamunan. Dia duduk di sebelahku, dengan tatapan khawatir. Rendra tahu, aku jarang sekali minum sebanyak ini kecuali ada yang benar-benar mengusikku. Aku mendengus, menatap kosong ke arah botol di hadapanku. "Bukan urusanmu, Ren." Dia tertawa kecil, tetapi matanya memperhatikan setiap gerakku. "Lagi-lagi masalah hati, ya? Yang bikin kamu segini parah biasanya masalah begitu." "Astaga! Nggak usah sok tahu!" Aku kesal dengan tuduhan Rendra meski itu benar. Aku tak menanggapi. Memang, Rendra sudah lama bekerja denganku. Dia tahu aku lebih baik dari orang lain. Namun, kali ini aku tak mau memberikan penjelasan lebih. Aku terlalu kesal, dan aku tidak suka ketika seseorang mengorek-ngorek masalah pribadi yang terlalu dalam. Akan tetapi, tanpa sadar, tanganku mengepal erat di meja bar. Cemburu pada kedekatan Martin dan Aya. Ya, kecemburuan itu menyiksa hati ini. "Kamu tahu," suara Rendra berubah serius. "Fakultas Kedokteran lagi heboh. Uang yang hilang itu bikin semua orang panik, dan sekarang Dekan Lusiandra mau lapor polisi." Aku tersentak. "Lapor polisi?" Aku tertawa kecil, pahit. "Wanita itu benar-benar bodoh." Rendra menatapku, bingung. "Kenapa?" Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum miring. "Melaporkan kehilangan uang yang mereka tarik secara paksa dari mahasiswa? Itu hanya akan membongkar borok mereka sendiri. Jangan heran kalau justru Lusiandra yang nantinya akan dijerat hukum. Lusiandra itu hanya sedang emosi karena tidak bisa mendapatkan uang itu. Enak saja, mau dapat uang dengan cara seperti itu," lanjutku masih tersenyum sinis dengan kebodohan dekan itu. Rendra mengangguk, memahami. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Aku menatapnya tajam, mata yang sedikit kabur akibat alkohol. "Pantau terus gerak-gerik Lusiandra. Aku ingin tahu sejauh mana dia berani melangkah." Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Dan satu lagi, cari tahu soal Aya dan Martin." Rendra menahan senyumnya, tampaknya dia paham betul apa yang sedang terjadi di benakku. "Aya dan Martin, ya?" Dia tertawa kecil. "Bos, ini bukan soal kehilangan uang lagi, kan?" Aku mendengus kesal, membuang pandanganku ke arah lain dan salah tingkah. "Jangan bicara sembarangan." Namun, aku tahu Rendra benar. Aku merasa tersinggung, lebih dari seharusnya. Karena apa? Karena cemburu, dan itu adalah hal yang tak bisa kuabaikan begitu saja. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, tidak pernah terganggu oleh kehadiran pria lain dalam hidup seorang wanita. Namun kali ini, semuanya berbeda. Aya... dia membuat diri ini merasa rapuh, terlibat emosi yang tidak pernah ada sebelumnya. Dan itu membuat tidak nyaman. Entah sejak kapan, perasaan itu ada. Aku berusaha menepis, tetapi melihat Aya bersama dengan Martin, darah ini mendidih. "Baiklah, bos," Rendra berkata akhirnya. "Aku akan urus semuanya." Aku hanya mengangguk tanpa menoleh, menatap gelas kosong di tanganku. Rendra akan lebih curiga jika menatap mata ini. Ia tahu bagaimana aku. Masalah ini tidak akan jadi sederhana jika Rendra tahu aku jatuh cinta. Hari berikutnya, aku memutuskan untuk tidak terlalu banyak muncul di rumah sakit. Belum saatnya. Ada terlalu banyak perhatian yang bisa tertuju padaku jika tidak hati-hati. Selain itu, Lusiandra sudah mengenalku. Dan meski dia belum tahu siapa aku sebenarnya. Aku tak bisa mengambil risiko. Namun, di balik itu, ada rasa gelisah yang terus mengusik. Gelisah tentang Aya. Gelisah tentang apa yang mungkin terjadi antara dia dan Martin. Di tengah pikiran itu, teleponku berbunyi. Rendra lagi. "Bos." Suaranya terdengar datar tetapi serius. "Aku ada kabar. Lusiandra sedang dalam pengawasan ketat. Dia mencoba melibatkan polisi, tapi tampaknya masih ada tarik ulur dari pihak fakultas. Mereka tidak mau hal ini terlalu besar." Aku mengangguk meski dia tak bisa melihat. "Terus pantau." "Ada lagi," lanjutnya, dan nada suaranya berubah. "Soal Aya dan Martin. Sepertinya mereka tidak sedekat itu, hanya hubungan profesional. Tapi Martin kelihatan agak... tertarik pada Aya." Deg. Darahku mendidih. Apa maksudnya Martin tertarik pada Aya? Apakah Aya merespon perasaan itu? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? "Martin... tertarik?" Aku berusaha menahan emosiku, meski nadaku tetap terdengar ketus. "Apa maksudmu?" Rendra tertawa kecil, sedikit menahan diri. "Santai, bos. Aku hanya bilang dia kelihatan tertarik. Tapi Aya... sepertinya tidak merespons apa pun. Dia sibuk dengan pekerjaan dan tugasnya sendiri. Mungkin lebih baik begitu." Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa gelisah itu tak juga hilang. Aku tak tahu apa yang terjadi. Akan tetapi satu hal yang pasti, harus lebih berhati-hati. Aya tidak boleh tahu siapa aku sebenarnya. Setidaknya belum. Dan Martin... jika dia benar-benar mendekati Aya, aku akan pastikan dia menyesal. Martin bukanlah laki-laki yang baik. "Pantau terus Martin," perintahku. "Dan jangan lupa, aku tidak ingin ada yang tahu siapa aku sebenarnya di sini. Termasuk Aya." Rendra setuju, lalu menutup telepon. Aku berjalan ke jendela, menatap keluar, ke arah hiruk pikuk kota yang masih bergemuruh. Di balik kaca, segala sesuatu tampak jauh dan tak tersentuh. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tak bisa aku lepaskan. Aya. Namanya terus terngiang di kepala ini, membuat merasa terjebak di dalam badai yang tak berujung. Aku harus lebih hati-hati, tidak boleh ada satu langkah pun yang salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN