Malam itu, setelah meninggalkan bar dengan kepala yang masih sedikit berat, aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke apartemen. Ada sesuatu yang menahanku, mungkin keinginan untuk melihat Aya atau sekadar memastikan dia baik-baik saja di tengah kekacauan yang sedang terjadi di fakultas. Dengan langkah pelan, aku mengarahkan mobil ke rumah sakit tempat dia biasa praktek. Hari hampir pagi saat ini dan sebenarnya rasa kantuk sudah menyerang sejak tadi.
Aku memarkir mobil agak jauh dari pintu masuk, berharap tidak terlihat oleh siapa pun. Suasana rumah sakit cukup sepi, lampu-lampu di koridor menyala redup, dan hanya ada beberapa perawat yang terlihat sibuk di balik meja resepsionis. Tanpa disangka, ketika aku hampir mencapai bangsal, aku melihat sosok yang tak asing di sudut mataku. Martin. Dan… Lusiandra?
'Mau apa mereka berdua? Rasanya sangat mencurigakan. Mereka pasti punya rencana.' Tuduhan buruk pada mereka berdua tidak bisa kuhilangkan begitu saja dari kepala ini.
Aku berhenti, jantungku berdegup kencang, meski bukan karena alkohol yang mengalir dalam darah. Mereka berjalan berdua, saling berbisik, dengan gerakan tubuh yang menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional. Rasa penasaran menguasai diri ini. Aku memutuskan untuk mengikuti langkah mereka dari kejauhan. Langkah ini sejak melambat untuk menjaga jarak dengan mereka berdua.
Mereka masuk ke sebuah bangsal kosong yang sudah lama tidak digunakan. Aku ingat bangsal itu akan direnovasi, jadi memang jarang ada orang yang masuk ke sana. Tapi apa yang mereka lakukan di tempat seperti ini, di malam hari pula? Bagi perawat atau Dokter lain, mereka akan menghindari bangsal ini karena konon sangat angker.
Aku menahan napas dan mendekat perlahan. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Martin dan Lusiandra… mereka sedang b******u, dengan gairah yang menjijikkan. Aku merasakan gelombang mual naik dari perutku. Meski begitu, sebuah ide gila muncul di kepalaku. Jika aku merekam ini… siapa tahu, rekaman ini akan berguna suatu saat nanti.
'Mereka memang sepasang binatang!' Aku mengumpat dalam hati karena ulah mereka berdua.
Tanganku gemetar saat merogoh ponsel dari saku. Aku mulai merekam, menahan rasa jijik yang membakar perutku. Bukan karena aku terangsang—tidak sama sekali—melainkan karena rasa muak yang terus bertambah melihat mereka berdua. Sebagai dekan dan salah satu senior di fakultas, perbuatan mereka benar-benar merusak segala citra yang mereka bangun selama ini. Rekaman ini, pikirku, bisa menjadi kartu as.
'Entah sejak kapan hubungan mereka berjalan? Aku harus segera cari tahu. Martin pasti tidak hanya dengan Lusiandra saja melakukan hal ini. Jangan sampai, Aya menjasi korban.' Entah mengapa pikiranku justru tertuju pada Aya saat ini.
Setelah menit-menit penuh ketegangan itu, yang terasa seperti seumur hidup, aku berhenti merekam. Sudah cukup, pikirku. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Aku segera pergi, menjaga langkah agar tak terdengar oleh mereka. Namun saat aku hampir sampai di ujung koridor, langkahku terhenti mendadak.
"Aya?"
Di sana, tepat di hadapanku, Aya berdiri dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar, seolah tak percaya melihatku berada di rumah sakit pada jam selarut ini.
"Kenapa kamu di sini?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku melihat ke sekeliling, mencoba mencari alasan cepat. Namun sebelum sempat kujawab, dia melangkah mendekat.
Aku tidak mau Aya pergi ke bangsal kosong itu. Ah, bukan lagi bangsal kosong. Ada sepasang manusia b***t yang sedang bertukar peluh di sana. Aku tidak mau mata Aya ternoda. Mereka adalah sepasang Dokter yang tidak bermoral.
"Aku harus pergi," kataku singkat, berusaha menghindarinya. Namun tangannya cepat menangkap lenganku, menghentikan langkahku. Sentuhannya membuat jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Gading, tunggu sebentar," suaranya lebih lembut kali ini. "Aku ingin bicara. Aku… ingin minta maaf."
Aku terdiam. Ada rasa bahagia yang tak bisa dijelaskan saat mendengar permintaan maafnya. Meski begitu, rasa curiga yang sempat muncul di antara kami membuatku menjaga jarak. d**a ini masih saja bergemuruh. Aya mungkin hanya menyentuh biasa saja, tetapi efek bagi tubuh ini sangatlah luar biasa.
"Maaf untuk apa?" tanyaku, meski sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.
"Aku salah paham. Tentang kamu, tentang semuanya. Aku terlalu cepat menuduh," ucapnya sambil menundukkan kepala. Ada kejujuran dalam suaranya yang membuat hatiku sedikit melunak.
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar penjelasannya. Namun saat aku hendak berbicara, tiba-tiba Aya tertawa kecil.
"Apa?" tanyaku bingung.
"Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu," katanya sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Tapi, kamu memakai minyak telon?"
Aku tertegun. Ah, sial. Aku lupa kalau aku memang suka memakai minyak telon, kebiasaan lama yang tak pernah kubuang. Dan kini, Aya mengetahuinya. Dia memandangku dengan senyum geli yang membuatku merasa… seperti anak kecil.
"Ya, kenapa memangnya?" jawabku dengan nada setengah defensif.
"Astaga, kamu benar-benar seperti bayi besar," ucapnya sambil tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Suaranya memenuhi koridor yang sepi, dan anehnya, itu membuatku bahagia.
Aku tak marah. Malah, aku merasa hangat di dalam. Melihat Aya tertawa, tanpa beban, membuatku lupa sejenak tentang segala kekacauan yang baru saja kusaksikan. Malam yang penuh kejutan ini tiba-tiba terasa sedikit lebih ringan.
"Kalau aku bayi besar, apa kamu akan jadi pengasuhku?" tanyaku setengah bercanda.
Aya menghentikan tawanya, menatapku dengan senyum lembut yang entah kenapa membuatku merasa nyaman. "Mungkin," katanya sambil mengedipkan mata. "Tapi aku tidak tahu apakah aku punya waktu untuk merawat bayi besar yang keras kepala seperti kamu."
Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Ya, kamu pasti sibuk."
Ada keheningan sejenak di antara kami. Suasana rumah sakit yang hening, disertai suara mesin di kejauhan, seolah menjadi latar belakang dari momen kecil ini. Namun, aku tak bisa sepenuhnya lepas dari apa yang baru saja kulihat. Rekaman itu, pikiranku kembali padanya, dan bagaimana aku harus memanfaatkannya nanti.
"Aku harus pergi," kataku akhirnya, merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk terlalu lama bersama Aya.
"Tunggu," Aya memegang lenganku lagi, kali ini lebih erat. "Ada apa, Gading? Kamu terlihat berbeda."
Aku menarik napas panjang. Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan, tapi semuanya terasa salah di waktu seperti ini. "Nggak ada apa-apa, Aya. Aku cuma… capek."
Dia mengangguk pelan, meski jelas masih ada kebingungan di matanya. "Kalau begitu, hati-hati ya," katanya akhirnya, melepaskan pegangannya. "Dan terima kasih sudah mau mendengarkan aku tadi."
Aku mengangguk dan berbalik meninggalkannya. Langkahku cepat, keluar dari rumah sakit, berharap angin malam bisa menenangkan pikiranku yang kacau. Aku sedikit cemas lalu berhenti sejenak. Aku bersembunyi dan memastikan Aya tidak menuju ke bangsal kosong itu.
Begitu sampai di luar, aku berhenti sejenak. Mata ini memandang gedung rumah sakit yang berdiri kokoh di depan sana. Malam ini, aku mendapatkan lebih dari yang kubayangkan. Bukan hanya permintaan maaf dari Aya, tetapi juga sebuah senjata yang bisa kugunakan nanti—rekaman Martin dan Lusiandra.
Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku tidak suka memainkan permainan kotor ini. Meski aku tahu aku tak punya pilihan. Di dunia ini, kekuatan sering kali ditentukan oleh informasi yang kita pegang. Sekarang aku punya sesuatu yang bisa menghancurkan mereka berdua.
Tapi apa yang akan kulakukan dengan rekaman itu? Apa aku akan benar-benar menggunakannya? Atau hanya menyimpannya sebagai ancaman? Sial, lagi dan lagi aku butuh berkonsultasi pada Rendra.
Sambil berjalan menuju mobil, pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Aku belum punya jawabannya, tapi satu hal yang pasti—permainan ini baru saja dimulai. Bukan hanya tentang Martin dan Lusiandra saja, pasti ada lebih banyak hal menjijikkan di rumah sakit ini. Aku merasa harus mencari tahu lebih banyak lagi.