Satu minggu setelah kejadian di rumah sakit itu, aku terus memantau pergerakan Lusiandra dengan cermat. Meskipun laporannya ke pihak berwajib sudah dicabut, keputusannya itu menimbulkan lebih banyak tanda tanya. Aku tahu alasannya bukan karena belas kasih atau demi melindungi Martin. Ada sesuatu yang lebih besar yang ingin ia sembunyikan.
Kecurigaanku terbukti ketika aku menemukan jejak aliran dana ilegal yang melibatkan rekening pribadi Lusiandra dan Martin. Mereka berdua tenggelam dalam lingkaran kotor—dan kini terungkap bahwa Martin bukan hanya menjadi simpanannya, tapi juga menjadi salah satu pion dalam permainan busuk ini. Lusiandra sudah bersuami, dan lebih gilanya, sepertinya mereka saling dukung. Aku belum tahu alasan di balik rencana mereka, yang pasti bukanlah hal baik.
Suatu hari di sore yang muram, saat hujan rintik-rintik menambah beban suasana hatiku, aku menerima laporan dari Rendra yang semakin membuka tabir kegelapan Lusiandra. "Gading, ada yang lebih parah dari yang kita kira. Lusiandra tidak hanya korupsi. Dia juga terlibat dalam jual beli organ," suara Rendra di telepon terdengar berat.
Jantungku berdegup kencang. Aku sudah mencurigai ada permainan kotor di balik kematian pasien yang tidak wajar di rumah sakit, tapi tak pernah menyangka Lusiandra sendiri adalah pemasok organ. “Kau yakin dengan informasi ini?” tanyaku, memastikan kebenarannya.
“Yakin, Bos. Ini bukan gosip. Aku sudah cek ulang. Bahkan, ada beberapa dokter dan pihak luar yang bekerja di bawah perintahnya,” jawab Rendra. Suaranya terdengar tegas, penuh keyakinan.
Aku menyandarkan punggung ke kursi mobilku, merasakan napasku terasa berat. "Baiklah, teruskan penyelidikan. Cari tahu siapa saja orang yang terlibat, terutama siapa yang memimpin semua ini. Kita harus tahu seberapa dalam akar kejahatan mereka."
Rendra mengangguk di ujung telepon, dan aku memutuskan panggilan itu. Pikiranku berputar-putar, mencoba menghubungkan setiap potongan informasi yang kudapat. Lusiandra kini bukan hanya sekadar koruptor, tetapi juga penjahat yang bermain dengan nyawa manusia. Dan Martin? Dia berada di bawah kendalinya, entah karena uang, kekuasaan, atau mungkin cinta yang bodoh.
'Lalu apa kaitannya dengan Praja? Dia sedang menjabat saat ini. Apa kakekku tahu masalah kegilaan ini? Yang aku tahu, Kakek, adalah orang yang lurus. Ah, berapa lama aku tidak menemui kakek tua itu? Dan apa kabarnya?' Mendadak aku ingat dengan laki-laki sepuh yang sangat cerewet itu.
Aku memandang keluar jendela, memperhatikan tetes hujan yang berjatuhan. Aya, pikirku. Di tengah semua kekacauan ini, hubunganku dengan Aya tetap stabil. Dia tampak lebih bahagia belakangan ini, tawa yang kulihat darinya membuatku sedikit tenang. Namun, aku tidak bisa menutup mata terhadap kedekatan Martin dengan Aya. Perasaan cemburu itu terus menghantuiku, dan aku tahu, cepat atau lambat, sesuatu harus kulakukan.
Beberapa hari kemudian, aku berpapasan dengan Aya di lorong rumah sakit. Senyumnya selalu berhasil meredakan kekhawatiranku, meskipun hanya untuk sesaat. Kami bercakap-cakap sebentar, dia bercerita tentang harinya yang sibuk, tapi aku bisa melihat kegelisahan di balik matanya. Sepertinya ada sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Dan aku tahu itu pasti tentang Martin.
"Kenapa kau tampak tegang?" tanyaku, berusaha menyelidik dengan hati-hati.
Aya menarik napas panjang, seperti mencari kekuatan untuk berbicara. "Martin... dia jadi aneh belakangan ini. Terlalu sering mencariku, dan entah bagaimana kami selalu jadi pusat perhatian di rumah sakit," jawabnya pelan, matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.
Cemburu itu muncul lagi, tapi aku menahannya. Ini bukan saatnya untuk meledak. "Apa dia mengganggumu?" tanyaku serius.
Aya menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu. Dia tidak melakukan apa-apa yang jelas-jelas salah, tapi... aku merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang dia rencanakan, tapi aku tidak bisa menebak apa."
Aya menjadi semakin terbuka padaku dan itu sangat membahagiakan. Entah mengapa, telinga ini mendadak suka mendengar keluhan yang keluar dari mulut gadis satu ini. Aku bukan orang yang mau mendengar laporan remeh temeh yang tidak penting. Akan tetapi, pengecualian untuk Aya.
Aku mengangguk, meski di dalam kepalaku sudah ada dugaan. Martin tidak sekadar mendekati Aya tanpa alasan. Dia pasti punya tujuan, dan entah bagaimana, itu pasti terhubung dengan kekacauan yang sedang terjadi di balik layar. Jangan sampai, Martin akan mengkambing hitamkan Aya untuk masalah uang yang hilang itu.
"Kau harus hati-hati." Aku memberikan nasihat dengan pelan pelan. "Jangan biarkan dia terlalu dekat. Dia pasti merencanakan sesuatu," lanjutku sambil menatap mata bulat nan indah itu.
Aya menatapku, mungkin merasakan kekhawatiran di suaraku. "Aku juga merasa begitu. Tapi sulit untuk menolak tanpa membuat situasi semakin rumit."
Aku meraih tangannya sebentar, mencoba memberikan rasa tenang. "Aku akan mengurus ini. Jangan khawatir."
Wajah Aya tampak sedikit lega dan aku bisa lihat itu. Martin memang tidak bisa dibiarkan. Aku akan meminta Rendra dan orang-orangku untuk menjaga Aya di rumah sakit ini. Terlalu bahaya untuk gadis selugu Aya berada di sarang penyamun berbentuk rumah sakit itu.
Malam itu juga, aku memutuskan untuk bertemu Rendra. Kami duduk di sudut kafe yang sepi, jauh dari keramaian. Rendra datang dengan dokumen-dokumen yang aku minta. Dia menjelaskan dengan rinci setiap transaksi yang melibatkan Lusiandra, Martin, dan jaringan mereka.
Semakin aku membaca, semakin muak aku dengan kenyataan yang terungkap. Nominal uang itu luar biasa besar. Aku tidak suka dengan cara kotor mereka. Meski aku sadar, aku lebih kotor dari mereka, tetapi bukan berarti aku memeras orang-orang yang lemah.
"Gading, ini bukan bisnis kecil-kecilan," kata Rendra sambil menyalakan rokoknya. "Lusiandra ini sudah lama bergerak di bawah radar. Dia punya banyak koneksi, termasuk di rumah sakit dan dunia luar."
Aku menatap kertas-kertas di hadapanku, berusaha menahan amarah. "Jadi kita punya cukup bukti untuk menjatuhkannya?"
Rendra mengangguk. "Lebih dari cukup. Tapi kita harus berhati-hati. Orang-orang yang bekerja untuk Lusiandra bukan orang sembarangan. Kalau kita salah langkah, bisa-bisa kita jadi target."
Aku menyadari risikonya. Menjatuhkan Lusiandra berarti memutuskan rantai kejahatan yang sudah mendarah daging, dan ini tidak akan mudah. Namun, jika aku ingin melindungi Aya—dan membalaskan dendam untuk pasien-pasien yang mati tak wajar—aku harus bergerak sekarang.
"Aku ingin kau cari tahu lebih banyak tentang orang-orang di belakang Lusiandra. Siapa saja yang membantu dia dalam bisnis ini," perintahku kepada Rendra. "Dan pastikan kita tahu semua rencananya, terutama yang melibatkan Martin."
Rendra mengangguk sekali lagi, matanya penuh fokus. "Aku akan urus semuanya, Bos. Tapi kau juga harus hati-hati. Mereka bisa saja membalas dengan cara yang tak terduga."
Aku hanya bisa mengangguk. Malam itu, setelah pertemuan dengan Rendra, aku kembali ke rumah. Pikiran-pikiran ini berkelindan antara rencana untuk menjatuhkan Lusiandra dan perasaan cemburu yang menggerogoti hati karena Martin. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan Martin dari Aya, tetapi aku tidak akan membiarkan dia mengganggunya lebih lama.
Aku menatap bayangan di cermin, merasa seperti dua orang yang berbeda. Di satu sisi, aku hanyalah Gading, lelaki biasa yang sedang jatuh cinta pada seorang dokter residen. Tapi di sisi lain, aku adalah Gading yang terlibat dalam permainan kotor ini—permainan yang bisa menghancurkan siapa saja, termasuk orang-orang yang kusayangi. Hanya saja aku merasa terusik saat Lusiandra berbuat seperti ini.
Saat itu aku sadar, tidak ada jalan kembali. Aku harus memilih: menyingkirkan Lusiandra dan jaringannya atau mundur selamanya dan membiarkan mereka menang. Dua buah pilihan yang luar biasa sulit. Akan tetapi, aku harus memilih salah satu meski sangat berat. Aku tahu apa yang harus kulakukan.