Aku berdiri di depan ruang praktek, memandangi pintu yang terbuka sedikit. Di dalam, para pasien sibuk mengantri menunggu giliran. Kepala ini berdenyut, penuh dengan kebingungan yang kian hari kian mendalam tentang Gading. Setiap kali dia muncul di rumah sakit ini, entah bagaimana, dia selalu tahu jalan-jalan tersembunyi, bisa masuk tanpa harus melalui protokol yang ketat.
Padahal, semua orang yang tidak berkepentingan seharusnya tidak bisa sembarangan masuk, apalagi ke area rawat inap atau ruang tertutup. Kenapa bisa dia seolah punya akses penuh ke sini? Dari mana dia mendapatkan akes itu? Dia juga tampak santai saja saat masuk atau keluar dari sini tanpa tahu waktu.
'Aku yang residen saja harus melapor setiap kali akan keluar dan masuk ke rumah sakit ini. Tapi, dia? Bebas setiap saat tanpa melapor pada siapa pun layaknya pemilik rumah sakit saja.' Aku menggerutu sebal karena Gading saat ini.
Sementara pikiranku masih disibukkan oleh teka-teki yang tak kunjung terjawab ini, Martin datang lagi—tentu saja dengan agenda busuknya. Aku bisa merasakan hal itu. Setiap ucapannya adalah pancingan.
“Jadi, sudah tahu siapa dua pria yang merampok uang itu, Aya?” suaranya terdengar dingin dan menusuk. Aku langsung tersentak, menoleh padanya yang berdiri dengan tatapan penuh ancaman.
“Apa maksudmu, Martin? Aku tidak tahu siapa mereka.” Aku mencoba bersikap tenang, meskipun dalam hati mulai terasa ada ketakutan yang menjalar.
Martin mendekat, senyumnya sinis. “Oh, ayolah. Jangan berpura-pura tidak tahu. Aku yakin kau tahu lebih dari yang kau katakan. Dan kau sebaiknya bekerja sama sebelum aku melaporkan ini ke Bu Lusiandra.”
"Bu Lusiandra?" Desahanku keluar tanpa sadar, mengungkapkan ketakutan yang makin merayap. Jika dekan mengetahui soal ini, aku bisa tamat. Posisiku sebagai residen, reputasiku—semuanya bisa hancur.
Aku mengeraskan suaraku, meski jantungku berdebar kencang. “Aku tidak ada hubungannya dengan itu, Martin. Kau menuduhku tanpa bukti!”
Martin tertawa kecil, langkahnya semakin mendekatiku hingga jarak di antara kami tak lebih dari satu meter. “Aku tidak menuduh tanpa bukti, Aya. Kau pasti tidak tahu bahwa sudah ada rekening atas namamu. Uang yang hilang itu, sebagian besar sudah disalurkan ke sana.”
Aku terhenyak. Apa? Rekening atas namaku? Itu tak masuk akal! Aku tak pernah membuka rekening baru, apalagi mengelola uang sebanyak itu. Tubuhku terasa gemetar mendengar pengakuan Martin yang menjijikkan ini.
“Kau gila, Martin! Aku bahkan tidak tahu soal ini!” Aku mencoba melawan, meskipun suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuharapkan.
“Kau bisa berkata begitu, tapi kita lihat nanti siapa yang akan dipercaya oleh Bu Lusiandra. Kau tahu dia lebih mendengarkanku, bukan?” Martin melontarkan senyum miring, penuh kemenangan.
Aku tidak bisa tinggal diam. Jika ini terus berlanjut, karierku sebagai dokter akan habis. Aku harus mencari bantuan. Dan hanya ada satu orang yang mungkin bisa membantuku—Gading. Ya, hanya laki-laki yang setiap saat membuatku penasaran itulah yang bisa membantuku saat ini.
Aku berlari keluar dari gedung, napasku tersengal-sengal. Dalam kepanikan, aku merogoh ponselku dan langsung menelepon Gading. Bunyi dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkat telepon dengan suara santainya yang khas.
“Kenapa, Aya?” tanyanya ringan, seolah-olah tidak ada hal yang mendesak.
Aku mendesah keras, hampir frustrasi dengan reaksinya. “Martin mengancamku lagi. Dia bilang aku terlibat dalam pencurian itu dan dia punya bukti rekening atas namaku. Aku... Aku bisa hancur, Gading!”
Di seberang sana, Gading tertawa kecil. “Tenang, Aya. Aku sudah tahu.”
Aku terkejut mendengar nada santainya. “Tahu? Gading, ini serius! Martin akan melaporkanku ke Bu Lusiandra. Kau tahu apa yang bisa terjadi padaku kalau itu terjadi?”
“Percayalah padaku,” jawabnya lagi, tanpa sedikit pun tanda panik.
Kata-katanya membuatku semakin kesal. Bagaimana bisa dia tetap begitu tenang sementara hidupku berada di ujung tanduk? Aku menghentikan langkahku, berdiri di tengah halaman parkir yang sepi. “Kenapa kau tidak melakukan apa-apa? Kau hanya tertawa! Ini bukan lelucon, Gading!”
Semoga saja Gading bisa menolongku. Entah mengapa, otak ini selalu berpikir jika Gading bisa menolong tanpa tahu siapa sosok laki-laki itu. Ya, aku pun merasa aneh dengan diriku sendiri saat ini. Hati ini selalu yakin pada sosok Gading.
Ada keheningan di telepon, kemudian suaranya berubah menjadi lebih serius. “Aya, aku tahu kau takut. Tapi aku sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Martin. Dia hanya bidak kecil dalam permainan ini. Percayalah padaku. Aku sudah punya cara untuk mengatasinya.”
Kemarahan menggelegak dalam dadaku. Aku tidak bisa mempercayai sikapnya yang seakan tidak peduli. Aku butuh bantuan sekarang, bukan nanti! Dengan penuh emosi, aku berteriak, “Aku tidak butuh permainanmu, Gading! Aku butuh tindakan! Kalau kau tidak bisa membantu, maka aku akan menyelesaikan ini sendiri!”
Tanpa menunggu jawabannya, aku menutup telepon dengan kasar, kemudian menunduk, menahan air mata yang mendesak keluar. Semua ini terasa terlalu berat. Martin terus menghantuiku, Gading tidak peduli, dan aku sendirian. Apa yang harus aku lakukan? Semesta ini seolah sedang mengirim lelucon yang sama sekali tidak lucu pada kehidupanku saat ini.
Beberapa hari kemudian, setelah percakapan singkat yang penuh amarah itu, aku memutuskan untuk menyelidiki Gading. Kecurigaanku semakin kuat. Ada yang aneh dengan dia, dan aku butuh jawaban. Setiap kali aku mencari namanya di Google, tidak ada satu pun informasi yang muncul. Tidak ada profil media sosial, tidak ada catatan publik. Seolah-olah dia tidak pernah ada.
"Siapa sebenarnya dia?" bisikku pada diri sendiri, saat aku duduk di depan laptopku di kamar. Semakin aku mencoba mencari, semakin aku frustrasi. Nama lengkapnya saja aku tidak tahu. Hanya ‘Gading.’
Aku memijit pelipisku yang terasa nyeri. Gading jelas bukan orang biasa, tetapi dia juga bukan seseorang yang mudah dilacak. Satu hal yang pasti—dia punya pengaruh besar di rumah sakit ini, tapi bagaimana? Dan kenapa dia tampak sangat santai menghadapi ancaman Martin?
Pikiranku terus melayang, tetapi terhenti ketika ponselku berdering. Nama Gading muncul di layar, dan aku merasakan jantungku berdebar kencang. Setelah beberapa saat ragu, aku akhirnya menjawab. Benda pipih itu akan terus berdering jika aku tidak segera memjawab panggilannya.
“Maaf." Suaranya terdengar lebih lembut kali ini. “Aku tidak bermaksud membuatmu marah, Aya. Aku hanya ingin kau percaya padaku," lanjutnya dan membuat aku melengkungkan bibir meski dia tidak melihat.
Aku terdiam sejenak, mencoba menahan perasaanku. “Kenapa aku harus percaya padamu, Gading? Kau bahkan tidak mau menjelaskan apa yang sedang terjadi.”
“Aku akan menjelaskannya padamu, tapi tidak sekarang. Ada hal yang lebih penting yang harus aku urus dulu.”
“Lebih penting dari hidupku?” Aku mengernyit, mencoba menahan emosi yang mulai muncul lagi.
Gading terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku tidak akan membiarkan Martin menyentuhmu, percayalah padaku. Aku tahu rencana liciknya. Orang-orangku sedang bekerja untuk memastikan dia tidak akan bisa menjebakmu.”
“Orang-orangmu?” Aku mengulang kata-katanya, bingung.
“Rendra dan yang lainnya. Mereka sudah bergerak.”
Aku merasa seperti jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam. Rendra? Siapa lagi yang terlibat? Semua ini semakin membuatku bingung, dan aku tidak tahu harus mempercayai siapa. Astaga! Aku semakin bingung saat ini.
“Aku tahu ini sulit, tapi kau harus sabar, Aya,” Gading melanjutkan. “Martin sudah membuat rekening fiktif atas namamu. Dia mencoba mengarahkan semua tuduhan padamu, tapi aku punya bukti yang akan menghancurkan rencananya.”
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Bagaimanapun juga, aku tidak punya pilihan lain. Martin semakin gencar menekanku, dan Gading adalah satu-satunya harapan yang kupunya saat ini.
“Aku akan menunggumu, Gading. Tapi tolong, jangan buat aku menyesal mempercayaimu,” ucapku pelan, suara yang lebih pasrah daripada tegas.
“Aku janji,” jawabnya, suaranya tenang dan penuh keyakinan.
Hari berikutnya, saat aku berjalan melewati koridor rumah sakit, hati ini merasa ada sesuatu yang berubah. Suasana terasa lebih tegang, lebih mencekam. Para staf berbisik-bisik, dan aku mendengar beberapa dari mereka menyebut-nyebut nama Martin. Entah apa yang terjadi saat aku off dari rumah sakit kemarin.
“Martin kena masalah besar,” gumam seorang perawat pada rekannya.
Jantungku berdetak lebih cepat. Apa yang terjadi? Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju ruang staf, berharap mendapatkan informasi lebih jelas. Begitu aku masuk, aku melihat beberapa dokter senior berkumpul, wajah mereka penuh dengan kegelisahan.
“Aya, kau dengar tentang Martin?” salah satu dari mereka bertanya padaku.
Aku menggeleng, meskipun sebenarnya sudah ada dugaan dalam benakku. Aku jelas tidak tahu menahu perihal Martin saat ini. Entahlah, kekacauan apa yang dibuatnya lagi? Atau, dia sudah membuat berita baru tentangku dan uang itu?
“Dia dituduh memalsukan rekening dan mengalirkan uang iuran ke dalam rekening pribadinya. Bu Lusiandra menuntut penyelidikan internal.”
Aku tertegun. Itu berarti Gading benar-benar sudah bertindak. Semua yang dia katakan ternyata bukan omong kosong. Aku tersenyum kecil, merasa lega untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir. Namun di balik itu aku sadar, pasti akan timbul masalah baru setelah ini.