Telpon dari Abi
Dret... Dret... Dret...
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Aku yang merasa handphoneku berdering pun langsung mengambilnya dan terlihat nama 'Abi sayang❤️' tertera di layar ponselku. Lalu aku langsung menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel tersebut di telingaku.
"Tumben sekali Abi menelponku," gumamku dalam hati.
"Assalamualaikum, Sayang," terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki paruh baya di seberang sana. Siapa lagi jika bukan Miftah Hengkara, Abi ku.
"Waalaikumsalam, Abi," jawabku girang, "bagaimana kabar Abi di sana? tumben, Abi menelepon Ana?" sambungku.
"Alhamdulillah, Abi baik. Ana sendiri, bagaimana?" tanya Abi .
"Alhamdulillah, Ana juga baik, Bi," jawabku.
"Abi doang nih yang di tanya kabar?" sambung Aisyah Hengkara, Umi ku.
"Eh, Umi sayang. Ana kira Umi enggak ada, hhhe. Gimana kabar Umi, baik juga kan?" jawabku tak berdosa.
"Alhamdulillah, Umi juga baik," jawabnya.
"Alhamdulillah. Oh, iya, bang Rafan kemana? gimana kabarnya?" tanyaku, penasaran. Biasanya, jika umi sedang menelponku, pasti bang Rafan yang selalu rusuh.
"Ada tuh di kamarnya, lagi ngurusin berkas kantor!" jelas Abi.
"Mau Umi panggilin?" usul Umi.
"Eh, enggak usah, Umi. Biarin aja abangnya fokus dulu kerja. Nanti juga kalau Abang rindu, pasti bakal nelpon Ana, kok. Salamnya aja buat bang Rafan," tolakku pada Umi, karena takut mengganggu pekerjaan bang Rafan.
"Iya, nanti Umi, salamin sama Abang," ucap Umi.
"Oh, iya, ada apa Bi telpon Ana? Tumben banget. Biasanya juga Umi atau bang Rafan yang suka nelpon Ana," tanyaku, karena tidak seperti biasanya Abi menelponku. Pasalnya, Umi lah yang selalu menelponku.
"Tidak ada apa-apa kok. Cuma lagi rindu aja sama anak Abi yang satu ini!" ucap Abi padaku, yang mampu membuatku terkekeh.
"Jujur saja lah, Bi. Tidak perlu gombalin Ana segala. Ana juga sudah tahu, jika Abi seperti ini, Abi pasti lagi ada maunya sama Ana. Iya kan?" desakku pada Abi. Ya, seperti ini lah Abi, ia akan mengeluarkan semua kata-kata manis jika sedang ada inginnya.
"Wah, anak Abi ini sudah pandai ternyata, hhha," ucap Abi sambil tertawa.
"Ya iyalah, masa mau gitu-gitu aja, hhha," jawabku sembari tertawa, "sudahlah Bi, katakan saja, apa yang Abi inginkan!" desakku pada Abi.
"Jadi begini, nak, Ana kan sudah lama tinggal di Kairo bersama Abu dan Ummah. Apakah Ana tidak merindukan Umi dan Abi disini? Apa Ana tak ingin pulang ke kampung halamanmu? Atau jangan-jangan Ana sudah melupakan semuanya?" tanya Abi bertubi-tubi.
Abu dan Ummah adalah orang tua Umi Aisya . Ya , Umi berasal dari Kairo. Umi tinggal di Indonesia karena mengikuti langkah Abi sebagai suaminya, Abi tidak bisa tinggal di Kairo karena Abi memiliki beberapa perusahan besar di Indonesia, yang tidak bisa di tinggalkan begitu saja. Apalagi perusahaan tersebut Abi sendiri yang rintis dari nol.
"Bukan gitu, Abi. Bukannya Ana sudah melupakan Abi dan Umi atau kampung halaman Ana. Lagi pula, Ana kan 6 bulan lalu baru saja pulang. Nanti juga, jika sudah waktunya, Ana juga akan pulang menemui Abi dan Umi,"
"kapan?" tanya Abi kembali.
"Entahlah, Bi. Ana juga belum tahu, Ana masih betah tinggal di sini bersama Abu dan Ummah. Abi juga tahu kan kalau beberapa bulan lalu Ana baru saja diterima sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan di sini. Masa Ana harus keluar, kan sayang, Bi,” jelasku panjang lebar pada Abi. Berharap jika Abi tidak mempermasalahkan hal ini.
"Iya, Abi juga tahu. Tapikan di sini juga Ana masih bisa bekerja. Jika Ana tidak ingin bekerja di kantor Abi dan membantu abangmu, Abi bisa mengenalmu dengan sahabat Abi," bujuk Abi.
"Perasaanku mulai enggak enak nih," gumanku dalam hati.
"Pulanglah, dek! Bantu Abang di sini! Emangnya Adek enggak kasihan apa sana Abang?" kali ini bang Rafan yang bicara.
"Kasihan Abangmu, sayang. Dia udah cape ngurus perusahaan Abi sendirian," jelas Umi.
"Biasanya juga kan Abang kerja sendiri, enggak suka kalau Ana bantu. Abang inget gak, dulu aja Ana mau bantuin suka di larang sama Abang. Kenapa sekarang malah nyuruh Ana buat nemenin?” tanyaku.
“Itukan dulu, dek. Sekarang mah udah beda lagi!” ucap bang Rafan.
“Beda dari mananya, Abang?” protesku.
“Ya bedalah, sayang. Dulukan Adek masih kecil, sekarang mah kan udah besar, jadi beda," jelas bang Rafan.
"Sama aja kali, bang!" tegasku.
"Ih, bedalah, dek. Kalau dulukan Adeknya masih sekolah. Jadikan Abang enggak enak kalau harus ganggu sekolah Adek. Nah, sekarang kan sekolahnya udah Lulus, jadi Abang minta bantuan sama Adek," jelas bang Rafan panjang lebar.
"Tapikan, bang," ucapanku terpotong.
"Ayolah, dek. Abang j****t deh," rayu bang Rafan.
"kok jadi maksa gini!" ujarku.
“Abang bukan maksa, sayang.” Lirih bang Rafan.
"Lah, terus apaan kalau bukan maksa?" ketusku. Pasalnya aku terasa terpaksa,
"Nyuruh!" dengan ringannya bang Rafan berkata.
"Sama kali, bang. Dulu aja, giliran Ana enggak betah di sini dan mau pulang ke Indonesia, enggak boleh tuh pulang, terlebih oleh Abang. Lah, sekarang, giliran Ana udah betah di sini sama Abu dan Ummah malah di suruh pulang. Egois banget, sih," kesalku.
"Berarti, Adek juga egois dong," timbal bang Rafan.
"Loh, kok Ana?" tanyaku, semakin kesal.
"Ya, iyalah, Adek!" jawab bang Rafan yang mulai kesal juga. Terdengar dari suaranya yang mulai bernada tinggi.
"Abang lah!" ucapku tak terima.
"Adek lah!"
"Abang, ih!"
"Adek!"
"Ih, Abang!"
"Udah-udah! Apaan sih kalian ini, kok malah ribut!" ucap Abi, menengahi ku dan bang Rafan beradu mulut.
"Abangnya aja yang nyebelin,"
"Loh, kok malah nyalahin Abang lagi!”
“Ya, terus, Ana harus salahin siapa, Abi? Umi? toh, yang Salakan Abang,” cibirku.
"Ade lah!"
"Abang lah!"
"Adek!"
"Abang!"
“Astaghfirullah, udah pada gede juga masih aja berantem, enggak malu apa, hah?” kali ini Umi, angkat bicara.
"Gara-gara Adek, sih. Di marahin kan jadinya," sambung bang Rafan.
"Loh, kok Abang malah nyalahin Ana Lagi, sih," kesalku.
"Emang Adek yang...," ucap bang Rafan yang terpotong oleh Umi.
"Kata Umi kan udah, kenapa masih di lanjutin!" kali ini Umi yang kesal.
"Adeknya, Mi, ngeselin" adu bang Rafan pada Umi.
"Udah tahu adeknya kek gitu, masih aja dilayani. Udah gede bukannya ngalah," ucap Umi.
"Dengerin tuh, bang," ucapku dengan bangga karena dibela oleh Umi.
"Adek juga, kalau abangnya ngomong, jangan di bantah," ucap Abi padaku.
"Kedengaran gak, dek?" ledek bang Rafan, yang merasa dibela oleh Abi.
"Ngeselin!" cibirku.
"Tuh kan, Abi denger sendirikan Adek ngomong apa!" adu bang Rafan pada Abi.
"Ana sayang, sudah ya, jangan membantah lagi. Ana tahukan dosa membantah orang tua seperti apa. Jadi, dengan mohon, Abi menyuruh Ana untuk pulang ke Indonesia. Bantulah Abang Ana di sini, kasihan dia udah capek mengurus semua perusahan di sini. Apakah Ana tidak kasihan pada Abi dan Abang? Lagi pula kuliah Ana kan sudah selesai 2 bulan yang lalu. Jadi, tidak ada malah kan?" ucap Abi panjang lebar,
"Pekerjaan Ana bagaimana?" tanyaku.
“Ana kan bisa berhenti.” titah Abi.
"Tapi, Abi," bantahku.
"Tidak ada tapi, Ana sayang, Keputusan Abi udah bulat. 1 minggu lagi Abang akan menjemput Ana ke sana sembari silaturahmi kepada abu dan Ummah," ucap Abi.
"1 minggu lagi? Ayolah Abi, berikan Ana waktu lebih lama di sini. Semua terlalu mendadak untuk Ana, " lirihku.
"Mendadak bagaimana, bukannya bang Rafan, sudah mengingatkan Ana dari satu bulan yang Lalu?" ucap Abi.
"Benar kok, Abi, Rafan sudah mengingatkan adek dari 1 bulan yang lalu," timbal bang Rafan.
"Ana kira bang Rafan cuma becanda waktu itu," jawabku.
"Jadi benarkan bang Rafan sudah memberi tahu Ana 1 bulan yang lalu . Berarti keputusan Abi udah bulat yah, Ana pulang ke Indonesia 1 minggu lagi,"
"Abi sayang, ayolah kasih Ana perpanjangan waktu, jangan 1 minggu. 1 bulan aja gimana? Ayolah, Abi, Ana mohon!" rengek ku pada Abi.
"Deal, 1 bulan. Tidak ada alasan lagi. Biar nanti bang Rafan yang mengurus kepulangan mu," ucap Abi.
"Baiklah," lirihku.
"Ya, sudah, kalau begitu, jaga diri baik-baik di sanah. Oh, iya, salam buat Abu dan Ummah dari Abi. Kalau begitu, Abi tutup dulu telponnya. Assalamualaikum," ucap Abi di sebrang sana , sembari mematikan telponnya.
"Waalaikumsalam," jawabku, ketika telpon sudah matikan dari sebrang sana.
###
1 bulan kemudian