Part 3 PoV Tisha : Salah Paham

772 Kata
"Baraaa! Sudah berapa kali Mama bilang, tunggu sah dulu! Napsuan amat sih, jadi bocah."  ❤️❤️❤️ Ditulis oleh RATNA Aku memang ingin menikah muda, tapi tidak begini juga caranya. Air mataku masih mengucur deras, bisa jadi sudah seember kalau ditampung beneran. Aku masih mengunci diri di kamar tamu rumah Bara, menunggu Ayah dan Ibu sampai Jakarta. Otakku sudah ngeri duluan membayangkan bagaimana sikap mereka ketika bertemu aku nanti. Bisa jadi namaku dicoret dari daftar keluarga, atau malah nyawaku dilenyapkan sekalian. Aku pasrah. Tadi pagi Mama Bara mengantarku pamitan ke induk semang sekaligus mengambil barang-barangku, dengan kata lain aku telah resmi keluar kos. Hanya satu koper dan sebuah ransel saja, karena memang aku tak berniat menetap di Jakarta sebelum mendapat pekerjaan layak. Tapi, apa? Belum juga masukin lamaran, malah dinikahkan sama manusia bernama Bara. "Tisha, buka pintu, Nak!" Rasanya malas sekali mendengar suara Mama Bara. Aku tak enak hati, Mama Bara terlalu baik sama aku. Aneh enggak, sih? Orang tua Bara malah mendorongku menikah dengan anak mereka? Padahal pernikahan Bara dengan calonnya tinggal besok pagi aja. Lagi, ini akan beneran seperti komedi jika Ayah menerima lamaran Papa Bara. Argh! "Tisha." "Iya, Tante." Kedua tanganku mengusap jejak air mata di pipi. Napasku terdengar bengek karena menangis terlalu lama. Mau tak mau aku harus berdiri membukakan pintu untuk Mama Bara. Wanita itu tersenyum lalu menuntunku kembali ke tepi ranjang setelah menutup pintu. Dia menepuk kasur, meminta aku duduk di sampingnya. Tangan kanannya terulur mengusap sisa air mata di pipi. "Jangan sedih, barusan Papa bilang, Ayah Tisha sudah menerima lamaran Bara. Mereka ke Jakarta sore ini juga." Mataku melotot seketika. Apa-apaan mereka? Bagaimana bisa orang tua sekolot Ayah main terima lamaran orang asing. Astaga. Ini Tuhan lagi bercanda apa gimana sih? "Loh, kok Tisha nangis lagi? Mau dipanggilin Bara ke sini buat nemenin kamu?" Apalagi ini? Sejak kapan aku butuh belaian cowok macam Bara? Ibuuu ... Tisha pengin pulang. "Baraaa! Sini, Nak!" Aku menahan lengan Mama Bara. "Enggak gitu, Tan."  "Mulai sekarang, panggil Mama aja," ucap Mama Bara diiringi seny begitu manis tapi menegerikan bagiku. Aku belum siap punya mertua. Meski semanis bundadari begini. Kebayang enggak sih, mantu cewek sama ibu mertua di sinetron udah macem air sama minyak?  Tak lama, Bara muncul di depan pintu dengan muka sengaknya. "Apa sih, Ma?" "Temani Tisha, ajak dia makan." "Males." "Bara!" Mama Bara membentak dengan gaharnya, membuatku sedikit ngeri ingat masa depanku jadi mantu dia. "Iya, Mama. Bawel amat sih." Bara menghampiriku dengan muka malas, menggantikan posisi Mama yang sudah berlalu dari kamar. Aku mengingsut posisi dudukku, menjauhi Bara. "Kita beneran menikah besok pagi?" "Menurut lo?"  Sudah tidak ada harapan untuk bangun dari mimpi buruk. Apa salah hamba, ya, Tuhan? Cobaan gini amat. Aku memberanikan diri melirik cowok nyebelin di sampingku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ya, ganteng sih. Tapi, sengaknya itu loh, lihat aku aja udah kayak lihat lalat. Bawaannya pengin ngusir mulu. Gimana bisa jadi istri dia? Mending juga jadi istri kedua pejabat. Setidaknya aku dapet kasih sayang dari dompet tebel si Om. "Apa lihat-lihat? Naksir? Seneng nikah sama gue? Bangga lo, bisa jebak gue tidur seranjang tadi pagi? Hebat banget akting lo." Kan, apa aku bilang, tuh bibir enggak ada filter sama sekali. Main nuduh sembarangan aja. Sejak kapan aku jadi cewek enggak bener tukang jebak cowok? "Tuh, diem kan? Bener berarti." "Astaga. Mas yang sembarangan nuduh. Aku bukan tipe cewek murahan yang bisa tidur sama siapa aja, ya. Justru aku curiga Mas yang masukin apa-apa di minumanku pas di club biar bisa bawa pulang aku. Buktinya kita berdua bangun di rumah Mas. Mas udah ngapain aku tadi malam? Ngaku!"  Kedua mata mata melebar. "Gue enggak ngapa-ngapain lo, ya." "Bohong!" "Gue enggak pernah bohong." "Mana ada pembohong, ngaku bohong." Bara malah tersenyum miring sembari menipiskan jarak di antara kami. "Segitu penginnya lo, gue apa-apain?" bisiknya di dekat telingaku, membuat bulu kudukku meremang. "Apaan, sih?" Aku mencoba mendorong d**a Bara, tapi Bara malah mencekal kedua tanganku. Sumpah ngeri! Apa sih, maunya ini cowok, bukannya menjauh malah makin mepet. Sini udah sampai pinggir kasur ini. "Kan, lo yang mau gue apa-apain. Kenapa menghindar?" Wajah Bara semakin mendekat sampai embusan napasnya menerpa wajahku.  "Kamu gila!" teriakku panik saat bibir Bara hampir menyentuh bibirku. Refleks aku bergerak menjauh, tetapi karena kedua tanganku masi dicekalan dia, jadinya malah narik Bara juga. Kami berdua terjatuh dalam posisi mengerikan, Bara seperti menindih di atasku. "Baraaa! Sudah berapa kali Mama bilang, tunggu sah dulu! Napsuan amat sih, jadi bocah." s****n, kenapa pula kami terjatuh di lantai saat Mama Bara masuk bawa nampan makanan. Makin salah paham kan, jadinya. Makin nista saja imejku di depan orang tua Bara.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN