•Tergoda•

4670 Kata
Memang hal yang paling mudah untuk dilakukan manusia-manusia lain pada sesama manusia adalah mencela, menghakimi. Tanpa tahu ada alasan apa dibalik keputusan yang diambilnya. • Manusia lupa untuk bercermin, introspeksi diri. • Manusia lupa bahwa setiap jalan yang ditempuh manusia lain itu berbeda-beda untuk mencapai puncaknya masing-masing. • Namun, tujuan mereka sama. Sama-sama ingin hidup bahagia, hidup sukses, hidup yang sebagaimana mestinya. •••••••••• "Bu, Rahma berangkat sekolah dulu, ya. Ibu jangan terlalu capek kerjanya," kata Rahma sambil menutup kotak bekal makanan berwarna merah yang biasa ia bawa ke sekolah semenjak dirinya SD. Kotak bekal makanan itu tidak pernah berubah. "Nanti pulang sekolah biar Rahma yang lanjutin pekerjaannya." Kemarin malam, Marni terlihat lemah sekali. Dalam tidur wanita setengah baya itu pun merintih. Rahma menduga, ibunya kelelahan bekerja. "Belajar yang pinter, ya, Nduk." Marni mengusap helaian rambut Rahma. Melihat anaknya tumbuh dewasa, bisa bersekolah sesuai keinginanya, menuntut ilmu untuk mencapai cita-citanya membuat Marni menangis haru. "Ibu, nggak usah nangis." Rahma segera memeluk ibunya erat saat tahu Marni berlinang air mata. "Rahma, janji bakal bahagiain Ibu, Bapak, sama Reno. Janji. Ibu tunggu, ya." Marni menganggukkan kepalanya. Melambungkan tinggi-tinggi berbagai doa pada Tuhan untuk keberhasilan anak-anaknya, yaitu Rahma dan Reno. Adiknya itu keluar dari kamar mereka, mencangklong tas hitam di pundaknya. "Nih, udah Kakak siapin bekal. Uang sakunya kalau bisa ditabung aja. Nggak usah jajan," Rahma menyerahkan kotak bekal makanan serupa dengan miliknya, tapi berbeda warna. "Tempe sama nasi lagi?" Reno memutar bola matanya, dengan mulut berkomat-komit ia memasukkan kotak bekal itu ke dalam tasnya. "Itu ada ayam bakar sisa kemarin, udah Kakak panasin." Rahma tahu adiknya pasti bosan dengan makanan mereka yang itu-itu saja. Ia lalu ikut mencangklong tasnya. "Yuk, berangkat." Rahma dan Reno berpamitan pada Marni, mereka berdua berangkat sekolah bersama naik angkutan umum. Sekolah mereka memang searah, tapi sekolah Rahma jaraknya lebih jauh dari sekolah Reno. "Kak..." Rahma pernah bilang, jika butuh uang, minta sesuatu jangan langsung minta kepada Marni. Ibu mereka itu sudah terlalu banyak yang dipikirkan. Jadi, Reno jika ada apa-apa selalu mengeluhnya pada Rahma. "Kak Rahma punya uang lebih?" "Buat apa?" tanya Rahma langsung to the point. Seketika ia menolehkan kepalanya pada Reno yang ada di sampingnya. "Buat ngeprint tugas." "Ah," Rahma buru-buru merogoh saku di rok abunya-abunya, mengambil uang yang ia punyai. Di sana ada selembar sepuluh ribuan. Dan di saku seragam putihnya ada lima ribuan dua lembar. "Segini cukup?" Reno langsung mengangguk. "Cukup, Kak." Rahma melongokkan kepalanya sedikit keluar dari jendela angkutan umum yang mereka tumpangi. Di dalam angkutan umum itu sesak, penuh penumpang karena memang jam-jamnya anak-anak berangkat sekolah dan beberapa orang lainnya juga berangkat kerja. "Udah sampai, Ren. Cepet turun, gih. Belajar yang pinter, ya." Reno tersenyum, keluar dari angkutan umum dan melambaikan tangannya pada sang kakak. Rahma menghela napas. Menatap kosong orang-orang yang ada di sana. Ini hidup yang harus dijalani. Jadi, jalanilah sepenuh hati. Sebenarnya, Rahma menjadi tidak suka sekolah. Padahal, ia selalu mendambakan hari ini tiba. Hari di mana ia bisa menuntut ilmu, mengenakan seragam berserta almamater impiannya, mengejar impiannya. Nyatanya, Rahma di sekolah dikucilkan. Tidak ada yang mau berteman dengan dirinya. Rahma duduk sendirian, tanpa ada teman sebangku yang mau duduk dengan dirinya. Dipandang kotor, hina, dan layaknya parasit yang merugikan sekitar. Saat Rahma berjalan, banyak siswa-siswi yang mencibirnya. Namun, Rahma harus bertahan bersekolah di sana. Ia harus lulus dengan nilai terbaik, melanjutkan pendidikan kuliah pada jurusan yang ia inginkan, cari pekerjaan sekaligus mewujudkan cita-citanya untuk jadi dokter. Entah mengapa, profesi dokter sedari Rahma kecil, tetap yang paling ia dambakan. Rahma turun dari angkutan umum, berjalan tergesa menuju ruang kelasnya karena bel masuk sudah berbunyi. Ia segera duduk tenang di sana. Tak berapa lama kemudian Bu Meta guru mata pelajaran Matematika-nya masuk ke dalam kelas, bersiap untuk memulai pelajaran pertama pagi ini. Namun, di belakang Bu Meta ada sosok wajah baru yang Rahma lihat. Kemunculan sosok baru itu juga menjadi cuit-cuitan seisi kelas yang penasaran siapa perempuan itu? Ada keperluan apa di sana? Perempuan itu berambut panjang hitam legam, bola matanya membeo, senyumnya manis, seragamnya rapi, barang-barangnya pun branded semua dari ujung kaki sampai atas kepala. Perempuan itu... murid baru di kelasnya. "Xaxa, silakan perkenalkan diri kamu." "Heum," seseorang yang disebut Xaxa itu mengepalkan kedua tangannya yang berada di sisi kanan dan kiri tubuhnya, pandangannya menunduk untuk beberapa detik lalu mulai ia dongakkan lagi kepalanya setelah dirasa kepercayaan dirinya sudah mulai terkumpul. "Nama saya Xaxa Oktavia Kamajaya. Lulusan SMP Bina Bangsa." "Ada yang ditanyakan anak-anak?" tanya Bu Meta, wali kelas mereka. "Nama panggilannya siapa, Neng Cantik?" sorak-sorai langsung bergemuruh dari segala penjuru kelas kala salah satu dari mereka mulai ada yang berani menggoda Xaxa secara terang-terangan. Rahma tersenyum tipis melihat teman-teman cowoknya yang 90% tertarik pada murid baru itu. "Xa-xa..." cicit Xaxa gugup menjadi perhatian seisi kelas. "Xaxa, silakan duduk di samping Heksa. Kebetulan bangku di sampingnya kosong." Perintah Bu Meta. "Tapi, Bu!" Heksa menginterupsi sebelum Xaxa berjalan ke bangkunya. "Saya sebangku sama Raka." "Ah, iya. Ibu lupa." Merasa Heksa menolak kehadirannya, Xaxa pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Dan ada satu bangku kosong lagi, tapi letaknya di pojok belakang sendiri. Di sana ada seorang perempuan yang tengah fokus pada buku bacaannya. Duduk satu bangku dengan yang sesama perempuan mungkin menyenangkan, pikir Xaxa. "Ya, sudah kamu duduk di bangku pojok itu saja." Bu Meta menunjuk bangku yang ada di pikiran Xaxa. Wah, pas sekali. Bangkunya Rahma. Perempuan itu langsung nendongakkan kepala saat tahu murid baru itu akan duduk sebangku dengannya. Pasalnya dari tadi Rahma masih fokus pada bukunya, tapi ia mendengarkan apa saja yang dikatakan gurunya itu. Heksa mendesah kesal. Ia menyesali keputusannya berbicara tentang Raka, teman sebangkunya yang menjadikan Xaxa mengurungkan niatnya untuk duduk di dekat laki-laki itu. Ah, andai saja Heksa tak membicarakan perihal Raka tadi. "Baiklah, anak-anak. Kita mulai pelajarannya. Buka buka kalian halaman 31." Serentak siswa-siswi mengeluarkan buku pelajarannya masing-masing. Xaxa hanya mengeluarkan buku tulis kosong yang ia bawa dari rumah karena belum mendapatkan buku materi. Rahma sebagai teman baru sebangkunya yang seakan peka dan cepat tanggap itu segera menggeser buku materi yang dipunyainya, untuk berbagi dengan Xaxa. Seulas senyum terbit di bibir Xaxa. Lalu ia mengulurkan tangannya sebagai tanda berkenalan. "Gue Xaxa. Lo?" "Rahma," jawabnya tanpa menoleh pada Xaxa sedikit pun. Karena fokus seutuhnya ada di papan tulis. Rahma mempunyai kekurangan pada penglihatannya, ia sedikit menyipitkan matanya kala harus melihat pada jarak jauh. Xaxa pikir, ia akan mendapatkam teman sebangku yang baik, yang memahaminya, yang peduli dengannya, dan bisa bersahabat nantinya. Nyatanya, Rahma cuek sekali. Xaxa paling benci dengan seseorang yang diajak berbicara, menjawab. Namun, tatapannya ada di lain hal. Seperti tak memerhatikan. Bangku Rahma dan Xaxa yang terletak di paling belakang menjadikannya terkepung dengan deretan bangku laki-laki. Ya, kalian tahu 'kan peta persebaran murid di dalam kelas itu dimulai dari area murid sok pintar, berlanjut ke area murid pengin duduk di belakang, tapi tidak ada tempat yang kosong. Lalu posisi yang ketiga area murid yang bisa jawab pertanyaan guru, tapi malas menjelaskan jawabannya. Dan terakhir, posisi yang Xaxa tempati saat ini. Posisi paling melegenda, pojok paling belakang. "Ke kantin, yuk?" ajak Xaxa pada Rahma setelah pelajaran Matematika usai sedang perempuan itu masih membaca buku. Xaxa bertanya dalam hatinya, berapa buku yang Rahma bawa ke sekolah? Rahma tak menjawab dengan kata-kata ia hanya mengeluarkan kotak makannya lalu menunjukkannya pada Xaxa. "Oh, lo bawa bekal dari rumah." Xaxa bertopang dagu. Sejujurnya, ia mengajak Rahma ke kantin semata agar teman barunya itu menunjukkan letak kantin di sekolah itu. Ia mengamati Rahma yang mulai menutup bukunya dan beralih membuka kotak bekal makanannya. Bola mata Xaxa terbeliak kala tahu menu makanan Rahma hanya tempe goreng dan nasi. Hanya itu! "Emang kenyang, ya, makan gitu doang?" pertanyaan itu tanpa sengaja meluncur begitu saja sebelum disaring oleh sang pemilik mulut. "Eh, maksud gue bukan gitu..." Xaxa segera meralat ucapannya. "Gue traktir ke kantin, yuk." "Nggak usah." Ketus Rahma dingin. "Yaaah, elah." Xaxa tahu Rahma ini sebenarnya orang baik. "Gue juga laper kali, Ma. Tapi, gue nggak tahu kantin ada di mana." Rahma masih diam saja dan meneruskan melahap makanannya. "Anterin gue, yuk. Gue traktir sebagai tanda perkenalan gue ke elo. Anggep aja sebagai ucapan selamat datang." ••••••••• Susah sekali membujuk Rahma hingga perempuan itu mau mengantarkannya ke kantin. Rahma sudah menolak kala Xaxa bertanya, Rahma ingin ditraktir makan apa. Rahma berkilah ia sudah kenyang. Jadi, Rahma hanya akan menunggu Xaxa makan saja. Tapi, siapa yang percaya dengan omong kosong itu? Makanan Rahma tadi sangat sedikit dan tidak bergizi. Xaxa memutuskan memesan dua mangkuk mi ayam. "Nggak usah, Xa. Lo kenapa, sih? Budek, ya?" Rahma tidak mau Xaxa dekat dengannya lalu kena imbas nama buruknya di sekolah. "Seperti kata gue tadi, ini sebagai tanda perkenalan gue ke elo, Rahma." Tekan Xaxa. "Udah, ah. Buru dimakan. Bentar lagi masuk kelas." Rahma menatap Xaxa penuh binar. Ia mengucapkan banyak terima kasih dalam hatinya. "Eh, gila. Pedes banget. Ini gue kebanyakan kasih sambel. Hua," Xaxa gelagapan mencari minum. Di atas meja itu hanya ada air putih yang tidak dingin. Ia langsung bangkit berdiri dan berlari menuju lemari pendingin yang berada tak jauh dari sana. Xaxa langsung membuka lemari pendingin itu dengan kasar dan mengambil asal satu minuman dingin lantas segera diteguknya. Rahma tertawa melihat tingkah laku Xaxa yang menurutnya berlebihan. Namun, tawanya itu hanya berlangsung sementara sebab iblis penggoda dari neraka mulai datang kepadanya. "Ah, tumben nih anak babu makan di kantin?" sindir mereka yang membuat Rahma meletakkan sendoknya. "Baru dapet duit kali dari Om-Om simpenannya. Semalem habis ngapain aja?" perempuan bername tag Key Laila itu tertawa meremehkan membuat Rahma geram. "Kira-kira nanti malem nginep di hotel mana lagi, ya? Ah. Jablay." "Cukup!" Rahma menggebrak meja. Mereka sudah memfitnahnya. Rahma tidak pernah menginap di hotel mana pun itu. "Berani lo sama kita?!" nada suara Key sama tingginya dengan Rahma. Xaxa yang baru saja menyirami kerongkongannya dengan air dingin tampak mengerutkan kening melihat Rahma dikelilingi perempuan yang ia yakini juga sekelas dengannya. "Key, nih anak mulai kurang ajar. Tunjukkin kekuasaan lo, Key. Biar dia kapok." Perempuan bernama Key itu menyeringai bak iblis lalu tanpa diduga mengambil semangkuk mi ayam milik Xaxa yang ada di sana lalu menyiramkannya ke tubuh Rahma. "UPS!" ia memasang wajah pura-pura kaget sama seperti yang lainnya. Semua yang ada di sana tampak antusias menjadi penonton. "Maaf, ya, disengaja." Xaxa menggenggam erat botol minumannya. Ia tidak suka pemandangan ini. Pemandangan orang tengah dirundung. Xaxa tanpa pikir panjang langsung maju ke depan dan berteriak murka pada Key beserta teman-temannya. "Lo-lo siapa, sih? Gangguin Rahma terus? Gue lihat dari tadi kelakuan lo makin ngelunjak." "Hey, anak baru!" Key mendorong bahu Xaxa tidak suka ada yang mencampuri urusannya. "Lo nggak usah ikut campur, kalo lo nggak mau jadi sampah juga." "Lo tuh yang sampah!" Xaxa malah menantang iblis dari neraka j*****m itu. Key menggeretakkan giginya. "Rahma, lo nggak apa 'kan?" Xaxa mengambil banyak tisu lalu mulai membersihkan tubuh Rahma sekenanya. "Mereka emang nggak waras." "Lo bilang apa?" Key membalikkan tubuh Xaxa dengan kasar agar berhadapan dengannya. "Ulangi sekali lagi!" "Lo dan temen-temen lo nggak waras!" "Kurang ajar!" tangan Key sudah melayang di udara, tamparan itu siap mendarat di pipi mulus Xaxa. Sontak Xaxa memejamkan matanya. Pasrah. Bego lo, Xa! Xaxa merutuki dirinya. Setelah beberapa menit tak ada apa-apa yang terjadi, ia pun membuka matanya. Di depan matanya bukan lagi iblis j*****m itu, melainkan punggung tegap laki-laki yang rumahnya bersebelahan dengannya. Ah, Heksa. Rahma sempat berpikir, Heksa ini makhluk apa? mengapa laki-laki itu selalu muncul di saat yang dibutuhkan, saat yang tepat. Sangat tepat. "Nggak ada yang boleh nyentuh cewek ini," Heksa menepis tangan Key. "Sekali lo sentuh dia, balasannya hal lain yang nggak bakal lo duga." "Heksa, lo nggak usah bercanda!" Key membuang napas kasar. "Minggir! Gue ada urusan sama murid baru itu. Dia harus tahu gue siapa!?" Heksa berdecih. Ia benci melakukan hal ini, tapi mau bagaimana lagi? Key bersikeras maju ke depan, menarik bahu Xaxa secara kasar. Xaxa hanya bisa pasrah, menyesali keinginannya untuk ikut campur tadi. "Lo budek, tuli, atau emang nggak tahu bahasa gue? Jangan sentuh cewek ini!" Heksa membawa Xaxa ke belakang punggungnya. Mengamankan perempuan itu. Rahma yakin, keduanya mempunyai hubungan khusus. Terlihat sekali ada yang berbeda dengan Heksa, jika itu menyangkut Xaxa, si murid baru. "Sejak kapan, sih, lo ikut campur urusan cewek? Lo gentle 'kan?" Ya, sejak semua hal yang menyangkut Xaxa maka Heksa akan ikut campur. Heksa tahu Key ini ketua geng yang paling sok berkuasa di sekolahnya. Sejak hari pertama masuk sekolah Key sudah kenal dekat dengan kakak kelas OSIS, menjadikannya bahan perbincangan. Apalagi, Key kerap bergaul dengan yang kelakuannya sama dengan dirinya. Suka menindas yang lemah. Heksa benci perempuan yang seperti itu. Tidak berguna. "Sini lo!" Key menarik pergelangan tangan Xaxa. "Lo belain Rahma, itu artinya gantian diri lo yang kita caci maki. Salah lo sendiri mancing emosi gue!" "Merasa bangga bisa bully verbal orang, hah?!" Xaxa masih tidak percaya ada tingkah siswi seperti Key sekarang ini. Ia pikir, itu sudah punah. Memang orang yang tidak waras itu masih bertebaran di muka bumi ini. "Kurang ajar banget ini cewek!" desis para pengikut Key yang berada di sisi kanan-kirinya. "Udah," Heksa berucap penuh penekanan. Suaranya keras dan tegas. "Gue nggak bisa untuk nggak terlibat di sini." Pelan-pelan Heksa membawa Xaxa menjauh lagi dari Key dan gengnya. "Siapa lo, sih? Cuma ketua kelas! Nggak usah sok ikut campur." "Yap, betul sekali." Heksa tertawa sambil menganggukkan kepalanya. "Tapi, kalian belum tahu satu hal, 'kan?" Semua mata dan telinga tertarik pada pengumuman yang akan Heksa beri. Mereka semua setia menonton petunjukkan drama dadakan itu. Rahma pelan-pelan membersihkan seragam putih abu-abunya yang kotor. Dalam hatinya ia menangis. Ia hanya punya satu seragam putih abu-abu. Kehidupannya tak seperti teman-teman lainnya yang mempunyai harta melimpah. Satu-satunya seragam putih abu-abu yang saat ini kotor dan tak layak pakai melekat di tubuhnya. "Gue hanya akan bilang ini satu kali," kata Heksa. Ia mundur lalu mengambil tangan kanan Xaxa. Menautkan dengan jemarinya. Terasa pas sekali. "Nggak ada yang boleh nyentuh Xaxa. Cewek ini milik gue," Heksa memandang Xaxa yang tampak terkejut. Bola matanya melebar dan ekspresinya seperti artis-artis yang baru kena prank di Youtube. "Kalian pacaran?" tanya salah satu siswa yang setia menjadi penonton drama itu sedari tadi. "Nggak perlu gue ulang dua kali," jawab Heksa. "Lo semua ganggu Xaxa, itu artinya kalian harus siap berhadapan sama gue." Setelah itu Heksa buru-buru membawa Xaxa pergi dari kantin. Tak lama setelah itu bel masuk pelajaran pun berbunyi. Semua siswa-siswi ikut kembali ke kelasnya masing-masing. Sesampainya di kelas, masih menggandeng tangan Xaxa, Heksa menuju ke bangku gadis itu. Memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas lalu membawanya duduk di samping laki-laki itu. Kepala Xaxa penuh tanda tanya. "Loh?" "Mulai sekarang kita sebangku." "Tapi, 'kan..." Xaxa mengamati tempat duduk di samping Rahma tak rela. Ia suka duduk dengan perempuan itu. Meskipun baru terhitung beberapa jam saja. "Nggak ada alasan, Xaxa. Duduk sekarang." Perintah Heksa. Laki-laki itu lalu mengeluarkan buku Biologi-nya. Xaxa masih menoleh ke belakang. Bangku Rahma masih kosong. Teman-teman yang lain sudah berada di dalam kelas semua, termasuk Key dan teman-temannya. Yang belum masuk ke dalam kelas hanya Rahma. Di mana perempuan itu? "Fokus ke depan, Xa." Heksa memutar bahu Xaxa agar ke depan. "Rahma belum balik ke kelas." Adu Xaxa pada Heksa. "Nggak usah peduliin dia." Jahat! Guru Biologi masuk ke dalam kelas. Sebelum memulai pelajaran, Bu Ina---- guru Biologi itu mulai mengabsen siswa-siswi dan menanyakan kehadiran Rahma. "Rahma bolos, Bu!" seru-seruan dari geng yang dipimpin Key. Perempuan berwajah iblis dengan make up tebal itu menyeringai pada Xaxa. "Bu! Rahma nggak----" sebelum Xaxa mengadu yang tidak-tidak, Heksa terlebih dahulu membungkam mulut perempuan itu. "Ada apa, Heksa? Xaxa?" Bu Ina memincingkan matanya. "Nggak apa, Bu. Silakan dilanjutkan saja mengajarnya." Heksa menyengir. Menahan pekikan kala Xaxa menggigit tangannya. "Xaxa, apa yang ingin kamu katakan?" tanya Bu Ina masih penasaran. "Nggak usah bilang yang aneh-aneh," bisik Heksa sebelum melepaskan bungkamannya pada mulut Xaxa. Perempuan itu menggeram marah. Menarik napas dalam-dalam lalu menuruti perkataan Heksa. "Nggak jadi, Bu. Bukan hal penting." Jika Xaxa memgadu pada guru tentang apa yang telah dilakukan Key dan teman-temannya itu, maka bisa dipastikan korban selanjutnya adalah Xaxa. Karena Xaxa sendiri yang melempar diri dan berlapang d**a menjadi umpan untuk dirundung Key. •••••••••• Rahma duduk di taman. Pekerjaan rumah yang ditugaskan padanya sudah selesai ia kerjakan, jadi sekarang waktunya Rahma bersantai membaca buku. Ada alasan tersendiri mengapa Rahma memilih duduk di taman samping rumah majikannya itu sambil membaca buku, karena cahaya di sana sangat terang. Di dalam kamarnya sendiri, lampunya sangat redup, remang-remang seperti di gudang anggur. Bola mata Rahma perih, jika sering dipaksakan membaca di tempat gelap. Rahma hanya memiliki satu lampu duduk yang digunakan saat belajar dan lampu itu tadi dipakai lebih dulu oleh Reno. Jadilah Rahma mengalah. Perempuan itu merasakan ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Bulu kuduk Rahma meremang, ia merasa tercekam. Terlebih di taman itu sepi, sunyi. "Hey," sapaan itu diikuti tepukan di bahunya. "MAS!" Rahma langsung memegangi dadanya saat berbalik dan tahu ada Reyhan di sana. "Mas, ngagetin aja." "Hahaha," Reyhan tertawa melihat ekpresi menggemaskan Rahma saat sedang terkejut. "Salah kamu sendiri melamun sendirian di sini." "Siapa yang melamun? Aku lagi baca buku, nih." Rahma menunjukkan buku yang ada di tangannya pada Reyhan. Reyhan lalu duduk diam di situ menemani Rahma membaca buku. Perempuan itu terlihat sesekali mengucek matanya saat sedang membaca. Reyhan mengamatinya, karena penasaran ia menangkup wajah Rahma. "Kenapa matamu memerah, Rahma?" "Ng-nggak apa. Mungkin kelilipan." "Saya tanya lagi, kenapa matamu memerah?" "Nggak apa, Mas Rey..." Rahma menjawabnya pelan sambil mengesampingkan wajahnya. "Jangan bohong," Reyhan mendekatkan lagi wajah mereka. "Kamu menangis? Kenapa kamu menangis? Ada yang menyakitimu?" "Nggak ada, Mas." Meskipun, sebenarnya banyak yang menyakiti hati Rahma, tapi ia tak mau ambil pusing. "Bagaimana sekolahmu? Sudah punya teman?" tanya Reyhan lagi. Ingin tahu ada cerita apa mengenai Rahma di sekolah. "Hem, biasa aja, Mas Reyhan. 'kan tahu aku orangnya kayak apa, jadi, ya, gini-gini aja." Rahma tersenyum lagi. "Seharusnya, kamu tidak membaca di tempat yang seperti ini. Matamu bisa rusak, Rahma." "Ini... kurang sedikit lagi bacanya," kata Rahma. "Oh, iya, Mas Reyhan udah pulang ke sini lagi? Nggak nginep di hotel lagi?" Kemarin Reyhan sempat bercerita sedikit ia harus menginap di tempat lain, asalkan bukan rumah ini karena ada saudaranya yang tiba-tiba muncul. Namun, malam itu pun Tuan Muda, adiknya Reyhan juga segera pulang kembali. Rahma mengintip secara diam-diam. "Seperti yang kamu lihat. Sekarang saya ada di sini," Reyhan melihat gerak-gerik Rahma yang masih mengucek-ucek matanya. "Matamu sakit?" "Sedikit perih," Rahma segera menutup bukunya, menaruh buku itu di pangkuan. "Mungkin karena terlalu lelah membaca." "Istirahat, Rahma." Wah, Rahma merasa diperhatikan. Kalimat itu begitu sederhana dan singkat, tapi Rahma rasa hatinya sudah cukup menghangat karena sebuah pengucapan sederhana itu. Reyhan tiba-tiba berdiri, menarik tangan Rahma dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Setiap Rahma bertanya mereka akan ke mana, Reyhan hanya mengerlingkan matanya lalu kembali fokus pada jalanan. Jalanan ibu kota malam ini cukup ramai, tapi tidak macet. Mobil Reyhan bergerak menuju salah satu klinik optik terpercaya yang biasa ia kunjungi. Rahma tak lagi banyak tanya. Ia hanya mengekori langkah kaki Reyhan. Ternyata, laki-laki itu membawa Rahma ke klinik dokter mata untuk memeriksakan kesehatan penglihatannya. "Sebelum terlalu fatal nantinya, mari kita lihat ada apa dengan matamu." Reyhan menggandeng tangan Rahma, menemaninya masuk ke dalam ruang periksa. "Tapi, Mas..." "Ssstt... diam dan turuti saja, Rahma." Rahma pasrah setelah menghela napas panjang. Namanya Dokter Dina. Dokter mata itu terlihat cantik sekali di mata Rahma. Rambutnya sebahu, hitam legam, mempunyai gigi gingsul, pipi yang tidak chubby tapi cukup berisi, yang paling menarik di mata Rahma adalah jas putih kedokteran yang ia kenakan. Rahma berharap, suatu hari nanti ia bisa cepat mewujudkan mimpinya menjadi dokter. Entah dokter apa pun itu. Dokter umum, dokter anak, dokter mata, dokter gigi, dokter spesialis jantung, atau banyak lainnya. Dokter Dina memeriksa kondisi kesehatan mata Rahma setelah semua hal yang Reyhan jabarkan. Rahma heran, mengapa Reyhan bisa detail sekali tahu kebiasaan-kebiasaannya dan mengetahui keresahan hatinya. "Adeknya pasti suka banget membaca," kata Dokter Dina setelah memeriksa Rahma. "Membaca memang kebiasaan baik yang membuat otak manusia bekerja dengan lebih baik. Entah itu membaca buku pengetahuan atau pun non pengetahuan. Dibandingkan menonton, misalnya, membaca lebih meningkatkan aktivitas otak dalam berimajinasi. Itulah sebabnya membaca merupakan salah satu aktivitas yang diperkenalkan orang tua kepada anak sejak kecil." Rahma menatap Reyhan secara bergantian dengan Dokter Dina saat hasil pemeriksaan terkait matanya akan disampaikan. "Sayangnya, beberapa anak sering nekat membaca di tempat kurang cahaya, yang mana itu dapat menyebabkan ketegangan pada otot mata. Kurangnya pencahayaan membuat mata bekerja lebih keras agar lebih fokus. Dalam riset disebutkan bahwa retina mata akan memproduksi zat kimia yang lebih sensitif terhadap cahaya." Rahma layaknya sedang mendengarkan penjelasan pelajaran biologi di kelas. "Kedua, otot selaput pelangi menjadi rileks. Hal ini memungkinkan mata mengumpulkan cahaya sebanyak mungkin, sehingga sel-sel saraf retina bisa beradaptasi dengan cahaya rendah. Membaca di tempat yang kurang gelap berdampak pada mata yang harus bekerja keras agar objek yang dilihat bisa lebih jelas. Nah, begitu pula yang terjadi sekarang pada Adek. Karena terlalu lama atau mungkin terlalu sering membaca di tempat yang redup, otot matanya menjadi cepat lelah. Efek yang timbul seperti mata terasa perih dan gatal, sakit kepala, serta nyeri pada leher." Rahma memegangi lehernya. Memang beberapa hari ini terasa nyeri, tapi Rahma mengartikan itu karena terlalu lelah beraktivitas lain. "Dampak jangka panjangnya," lanjut penjelasan dari Dokter Dina. "... rabun jauh dan butuh kacamata untuk bisa melihat dengan jelas." Reyhan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Jadi, kesimpulannya Rahma disarankan untuk memakai kacamata? Mengapa penjelasannya tidak langsung pada intinya saja? Reyhan menarik napas dalam-dalam, menyetujui saran dari dokter. Rabun jauh umumnya dapat didiagnosis melalui beberapa jenis tes, seperti mengecek kesinambungan kinerja di antara kedua mata, mengukur tekanan dalam bola mata, retinoskopi untuk melihat reaksi retina terhadap cahaya, dan mengukur ketajaman visual. Dalam proses ini, tadi Dokter Dina meminta Rahma untuk membaca dan menyebutkan tiap huruf atau angka dengan ukuran berbeda-beda pada tabel (diagram Snellen) dari jarak tertentu. Reyhan sempat mengusulkan agar Rahma memakai lensa kontak saja, daripada kacamata yang dinilai kurang efektif. Namun, Rahma takut lensa kontak itu tidak bisa lepas dari matanya. Wajar, Rahma belum pernah memakai hal-hal seperti itu. Setelah dari klinik spesialis mata itu, Reyhan tidak mampir-mampir ke mana-mana lagi karena hari sudah terlalu larut. Bisa-bisa orang di rumah nanti ada yang mencurigai hubungan keduanya. Rahma merasa di perutnya ada ribuan kupu-kupu yang tengah membuncah, di kepalanya di kelilingi bintang-bintang bergemerlip. Dari kemarin Reyhan memberinya terlalu banyak hal, sedangkan Rahma belum memberi apa-apa. "Ada yang kamu inginkan lagi? Mengapa menatap saya seperti itu?" Reyhan tahu Rahma sedang menatapnya, meskipun ia tidak menoleh pada perempuan itu. "Ada yang salah? Kaca matamu kurang nyaman?" Rahma menggelengkan kepalanya lalu dengan gerakan cepat ia memajukan wajahnya dan mengecup tepat di bibir Reyhan. Dan malam itu berakhir dengan ciuman panjang yang Reyhan berikan sewaktu mereka baru turun dari mobil. •••••••••• Rahma menganggap hari kemarin yang terjadi biasa saja. Tekadnya untuk tetap sekolah di sana sudah bulat. Ia harus bertahan sampai lulus. Ini baru tahun pertama, ini adalah ujian hidupnya. Dan Rahma harus melewati ujian hidup ini agar hidupnya naik ke tahapan selanjutnya. Reyhan pagi ini mengeyel ingin mengantarkan Rahma ke sekolah. Rahma sudah menduga ini akan semakin menjadikan rumor tentang dirinya memburuk. Namun, niat baik Reyhan tidak bisa Rahma tolak. Siapa, sih, yang berani menolak atau pun membantah sepatah kata yang Reyhan lontarkan? Rahma yakin, tidak ada yang berani melakukannya. Rahma turun dari mobil Reyhan, ingin cepat-cepat masuk ke dalam kelas sebelum teman-temannya tahu lebih banyak lagi tentang Reyhan. Sebelum itu terjadi, murid baru yang kemarin baru saja memperkenalkan dirinya sudah muncul di hadapannya. Rahma heran, dari mana Xaxa muncul? Tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Xaxa mencengkeram tali tasnya dan berjalan menghampiri Rahma dengan senyuman di bibir. Jaraknya tidak sampai satu meter dari gerbang utama. "Selamat pagi, Rahma." Sapaan riang itu Rahma abaikan, ia gelagapan dan berusaha menutupi kaca jendela mobil. "Siapa lo, Ma?" tanya Xaxa penasaran. "Bokap?" "Lo ngapain di sini? Buruan masuk sana!" Jelas, Rahma mengusir Xaxa. "Nanti Mas Reyhan jemput. Belajar yang pinter di sekolah." Suaranya lirih, tapi masih bisa Xaxa dengar. "Iya, Mas. Makasih." Rahma gugup. Bibirnya ia basahi dengan air liurnya. Untung saja, Xaxa tidak terlalu kepo. Setelah tangannya ditarik Rahma menjauh dari sana, ia mengikut saja. Xaxa pikir, itu kakak laki-lakinya Rahma. Karena panggilan yang disematkan dengan tambahan 'Mas' itu terucap. "Buruan, Xa. Pelajaran pertama Fisika, lho." "Hah? Gue nggak bawa buku Fisika?" Xaxa menggaruk kepalanya. "Kok bisa? Kan, kemarin lo udah masuk grup dan ada juga kok yang share jadwal pelajaran di sana." Xaxa menyengir. "Gue lupa." Rahma mendengus, bersalaman dengan guru piket yang ada di depan gerbang lalu melangkahkan kaki di koridor sekolah. Tidak ada hal-hal penting yang Rahma dan Xaxa obrolkan, hanya hal sederhana. Hingga suara nyaring itu kembali mengganggu mereka berdua. "Enak banget, ya, diantar-jemput Om-Om. Udah nggak sembunyi-sembunyi lagi. Malah langsung dianterin depan sekolah lagi." Key menyulut pembicaraan pagi ini. "Om-Om? Yang tadi itu?" Xaxa dengan tampang polosnya yang mulai terpancing obrolan dari Key. "Lo liat juga, Xa?" Xaxa menganggukkan kepalanya. "Dia bukan Om-Om kok. Dia Kakaknya Rahma." "Dari mana lo tahu? Dia itu simpenannya Om-Om!" Key menunjuk-nunjuk Rahma dengan jarinya. "Tadi, Rahma manggilnya 'Mas', gitu. Mas itu dalam bahasa Jawa, kan? Kayak panggilan Abang gitu. Setahu gue," jelas Xaxa. "Lo jangan nyebarin berita yang nggak bener tentang Rahma yang katanya simpenannya Om-Om." "Emang kenyataannya, gitu." "Apa buktinya?" tantang Xaxa kemudian. Key mendesis sinis. Ini bisa dijadikan jebakan. "Udahlah, Xa. Nggak usah diladenin." Rahma mengajak Xaxa untuk kembali melangkah kaki. "Gue bakal buktiin omongan gue. Tunggu aja." "Oke, gue tunggu." Xaxa membalas tatapan tajam Key. "Lo apa-apaan, sih, Xa?!" Rahma tidak suka Xaxa mulai ikut campur terlalu jauh urusannya. Ia melangkah lebih dulu, sedangkan Xaxa mengekorinya. "Lo nggak usah sok peduli sama gue. Dan anggep aja omongan Key itu angin lalu. Nggak usah ditanggepin." "Ma, kita harus buktiin kalo omongan dia itu nggak bener. Dan stop menyebarkan fitnah buruk tentang elo." Rahma mengepalkan tangannya. Berbalik badan, menatap lurus kedua mata Xaxa. Menarik napas dalam-dalam lalu mengutarakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. "Kalo ternyata omongan Key bener gimana?" Karena kenyataannya, memang seperti itu adanya. •••••••••• Bel masuk pun berbunyi. Heksa dan teman-temannya mematikan rokoknya lalu berjalan menuruni anak tangga menuju ruang kelas. Heksa teringat sesuatu, ia menepuk pundak Raka sebentar. "Ka, lo mulai hari ini duduk sama Rahma." "Lah ngapa dah?" Raka memiringkan kepalanya. Baru saja ia tidak masuk sehari, orang baru sudah menempati posisinya . "Heksa sekarang duduk sama pacarnya," jawab Bimo sambil cengar-cengir. "Sama Xaxa?" Raka memastikan. "Gercep banget anjir anak ini." Heksa hanya tersenyum tidak jelas. Teman-temannya menyimpulkan iya akan senyum itu. Jarang sekali Heksa tersenyum. Ia selalu memasang raut wajah yang datar dan dingin, acuh tak acuh. Namun, saat nama Xaxa disebut raut bahagia terlukis di wajah Heksa. "Semoga langgeng aja dah, doa gua mah." Raka mengerlingkan matanya saat Heksa memasuki kelas dan duduk di bangku paling depan, tepat di sebelahnya Xaxa. Raka duduk bersama Heksa pun karena dipaksa oleh laki-laki itu. Raka juga sepertinya lebih senang duduk di bangku paling belakang. Bisa tidur saat gurunya sedang menjelaskan, sedangkan kalau duduk di depan? Ingin banyak gerak saja sudah mendapatkan perhatian guru. Agus, Bimo, Ciko, dan termasuk Raka duduk di bangkunya masing-masing. Raka menyapa teman sebangkunya yang baru. Ia sudah tahu nama perempuan ini dan segala desas-desus tentang dirinya. "Hai, Manis." Rahma melengos, mengabaikan sapaan Raka. Ia membenarkan letak kacamatanya yang terasa tidak pas. "Sombong amat, Cuk." Bimo berbisik pada Raka. "Dia nggak lihat lo kali. Kan, lagi pake kacamata." "Kacamata baru, tuh!" celetuk Agus. "Apa hubungannya, Dodol?!" Raka mendengus. "Budek sama buta nggak ada hubungannya." Rahma menoleh, melotot pada dua anak manusia itu. Bimo mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua. Yang artinya, peace. Damai. "Gue nggak buta dan gue nggak budek." Tukas Rahma dingin. "Nih, cewek lagi PMS kali, ya. Judes amat." Raka pura-pura mengalihkan pandangannya. Daripada terus berdebat dengan Rahma, perempuan yang susah diajak bercanda. Lebih baik ia menghemat energinya. Dan mulai hari itu, Rahma menjadi tertutup. Rahma menolak berinteraksi dengan yang lainnya, dengan teman sebayanya. Rahma sampai rela keluar dari kegiatan ekstrakurikuler yang ia sukai demi menghindari mereka. Rahma tahu, dirinya sering menjadi bahan guncingan. Rahma hanya perlu menutup kedua telinganya karena ia tidak bisa menutup banyak mulut yang mencacinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN