Katanya, yang membedakan manusia dan hewan itu balas budinya.
•
Makanya, manusia lebih baik dari hewan karena tahu cara balas budi.
•
Benar?
••••••••••
Satu tahun kemudian...
Jumat, 16 Juni...
Kegiatan mengambil rapor biasanya dilakukan oleh orang tua, bisa Bapak atau Ibu. Terkadang murid juga ikut menemani orang tuanya. Akhirnya tiba juga waktu penerimaan rapor yang sudah dinanti-nantikan oleh para murid. Dinantikan oleh murid-murid karena artinya setelah itu mereka akan libur sekolah.
Libur? Yeah, semua menantikan itu.
Perihal hasil akhir, Rahma menyerahkan semua sepenuhnya pada Tuhan. Yang terpenting, ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Katanya, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Menurut prediksi batin Rahma sendiri memang bukanlah dirinya. Dan benar saja saat nama orang lain yang disebut bukan dirinya, ia menjadi yang kedua untuk kesekian kalinya.
Wali murid dipanggil urut sesuai kedatangan dan nomor antrean. Respons orang tua masih dalam tahap wajar dan tidak terjadi kerusuhan. Meskipun, ada kasak-kusuk kecil, itu karena ada sebagian orang tua murid yang ingin mengambil rapor anaknya lebih dulu. Alasannya karena mereka harus mengambil rapor juga di sekolah lain. Hem, orang tua yang lain pun juga begitu. Mereka harus mengambil rapor juga di sekolah lain jika punya anak lebih dari satu.
Ada juga yang melakukan drama, Raka contohnya. Ia membawa perempuan muda yang umurnya lima tahun di atasnya dan mengaku bahwa itu kakaknya. Wali kelas mereka, Bu Meta tidak percaya. Karena menurut formulir data diri siswa-siswi lain yang sempat mereka isi dari awal pendaftaran masuk ke sekolah itu Raka anak kedua dari dua bersaudara, dan ia hanya punya kakak laki-laki, bukan perempuan.
"Raka, jadi siapa yang kamu bawa ke sini?" tanya Bu Meta pelan sambil menahan emosinya.
"Hem, ini... i-ni Kakak saya lah, Bu. Kakak ipar saya," kata Raka mencoba menyakinkan Bu Meta. "Iya 'kan, Kak Tiara?"
Bu Meta menyipitkan matanya, masih tidak percaya.
Perempuan yang bernama Tiara itu mulai buka suara. "Maaf, kalau Ibu tidak percaya. Tapi, saya benar Kakak iparnya Raka. Saya baru menikah dengan Radit dua bulan yang lalu."
"Mengapa anak-anak zaman sekarang suka sekali menikah muda," gumam Bu Meta. Akhirnya, beliau percaya dan memberikan rapor Raka.
Yang menarik perhatian semua murid adalah orang tuanya Key. Seorang ibu yang datang dengan dandanan yang mencolok dengan pakaian kerlap-kerlip, dua buah cincin serupa giok di jarinya, serta gelang emas yang berjejer di pergelangan tangannya lebih dari satu. Ingin menunjukkan seberapa kaya harta benda yang dipunya itu pada khalayak umum.
Tiba giliran Marni yang maju ke depan saat nama Rahma Ayudia yang Bu Meta sebutkan. Raut muka Marni terlihat senang sekali. Nilai yang diperoleh Rahma hampir mendekati sempurna, hampir semua mencapai angka sembilan. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan, 'kan?
"Bu, maafin Rahma nggak bisa dapet peringkat satu lagi," kata Rahma saat Marni baru saja keluar dari ruang kelasnya. "Rahma gagal..."
"Ssstt, kamu nggak pernah gagal, Rahma." Marni membuka buku laporan hasil belajar siswa itu, menunjukkan rentetan nilai-nilai itu pada sang anak. "Lihat, nilai kamu sempurna, Nak. Ibu bangga. Katanya juga tadi Bu Meta bilang, beasiswa kamu bisa diperpanjang lagi..."
"Tapi, Bu... Rahma pengin jadi yang pertama."
Marni merangkul bahu Rahma lalu mengusap puncak kepala anaknya itu. "Nduk, yang pertama belum tentu yang terbaik. Kamu jangan hanya ingin jadi yang pertama. Inginlah kamu jadi yang terbaik dari yang terbaik. Kamu juga harus mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada kita, entah itu nikmat sekecil apa pun atau sebesar sekarang ini."
"Ibu..." Rahma memeluk Marni erat-erat sambil sesenggukkan.
••••••••••
"GILA, YA, KAMU?! KENAPA BARU SEKARANG KASIH TAHU SAYA?!" amarahnya meletup-letup pagi ini mendengar kabar yang tidak mengenakan hati. "SIAL!"
"Tuan Besar yang memerintahkan saya, Pak."
"BOS KAMU ITU SAYA, BUKAN PAPA SAYA!" Reyhan lalu mengambil jas kerjanya, memakainya dan melangkahkan kaki keluar dari ruang kerja dengan emosi yang belum mereda sama sekali.
Tanggal 21 Juni, hari di mana ia yakin akan menciptakan perang lagi. Perang persaudaraan.
Reyhan menutup pintu mobilnya dengan kasar, tidak peduli mobilnya akan tergores atau apa. Ia lalu melajukan mobil itu dengan kecepatan penuh di atas rata-rata, menekan tombol klakson bertubi-tubi untuk memperingati para pejalan kaki agar menjauhkan dirinya. Bahkan, Reyhan tidak peduli jika sampai ia tidak sengaja menabrak para pejalan kaki, pedagang, atau sesama pengendara lain.
Yang Reyhan pikirkan hanya bagaimana caranya bisa cepat sampai ke rumahnya.
Tidak butuh waktu lama, mobil Reyhan berhenti di istananya itu. Ban mobilnya sampai berdecit nyaring saking terjadinya pergesekan dengan aspal yang besar, juga karena tekanan rem yang mendadak.
Dengan langkah kaki lebar, Reyhan memasuki rumahnya. Meskipun, rumahnya itu besar, tapi hanya sedikit para pelayan yang dipekerjakan. Karena tidak ada yang sesuai dengan Alina. Jadilah, rumah terlihat sepi saat dimasuki, sedangkan di luar rumahnya ada tiga sampai lima sekuriti yang diperkerjakan untuk menjaga keamanan.
"Papa!" Reyhan membuka ruang kerja papanya dengan kasar, sampai kenop pintu itu hampir rusak terkena genggaman tangannya yang kuat. "Maksud Papa apa?!"
"Kamu sudah tahu rupanya," Mahendra tersenyum miring, masih dengan posisinya yang semula. Berdiri menghadap keluar jendela. "Masih ada waktu lima hari sebelum perang itu dimulai."
"Papa, nggak bisa giniin Reyhan," Reyhan mengusap wajahnya kasar. "Reyhan ini anak kandung Papa, sedangkan dia cuma anak haram. Papa harus ingat itu."
Mahendra tertawa pendek. "Papa ingat, tapi kalian berdua tetap anak Papa."
"Ah," Reyhan mundur selangkah. Tubuhnya mulai limbung. Yang ditakutkan selama ini terjadi. Papanya tidak benar-benar ingin mempertahankannya, ada saatnya nanti posisinya akan digeser, tergantikan begitu saja. "Apa Papa nggak pernah merasa bersalah telah mengkhinati Mama? Menikah diam-diam hinggi tumbuh anak haram itu. Lalu, sekarang? Papa ingin anak haram itu mendapatkan saham perusahaan? Papa ini lucu, ya."
Mahendra membalikkan badan tegapnya. "Yang salah di sini Papamu. Sudah sepatutnya yang kamu benci Papa, bukan Adikmu."
"Cih, Reyhan nggak akan pernah sudi mengakui bersaudara dengan anak haram," menyebut namanya saja Reyhan ingin muntah. Bisa-bisa mulutnya berbusa. "Karena dia... Reyhan kehilangan sosok Mama. Apa Papa lupa?!"
"Sudah berapa kali Papa bilang, itu bukan karena Ribut."
"Dia pembunuh Mama secara tidak langsung." Desis Reyhan tajam yang begitu mengganggu pendengaran Mahendra karena perkataannya tersirat begitu dalam kebencian yang ada.
"Reyhan," Mahendra berjalan pelan menuju kursi kerjanya dan duduk di sana dengan santai. Menghadapi emosi Reyhan memang tidak bisa dengan sama-sama emosinya. Salah satunya harus ada yang mengalah. "Sudah cukup selama ini Ribut menderita, diasingkan dari keluarga. Kini saatnya dia kembali pulang."
"Papa gila!" Reyhan berbalik dan meninggalkan ruang kerja Mahendra. Ia tidak sanggup mendengar bahwa kenyataannya lima hari ke depan sosok itu akan hadir kembali. Sosok yang paling ia benci.
Tangan Reyhan terkepal kuat. Ingin meninju apa pun yang ada di hadapannya saat ini.
"Rey, sudah pulang?" sapa mama tirinya ramah. Alina heran, tumben Reyhan sudah ada di rumah jam segini.
"Nggak usah sok baik!" Reyhan melengos pergi.
•••••••••
"Rahma, cepat kamu antarkan anggur ke ruangannya Tuan." Suruh Marni pada putrinya.
"Tu-Tuan, Bu?" terhitung dari tiga hari kemarin, Reyhan tidak memunculkan dirinya di hadapan Rahma. Ia pikir, Reyhan sedang pergi ke luar kota atau sedang sibuk-sibuknya.
"Iya, cepat sana. Mood Tuan sedang tidak baik akhir-akhir ini."
Rahma segera menuju ke gudang anggur, mengambil minuman kesukaan Reyhan dari sana, dan membawanya ke ruangan laki-laki itu. Sebelum masuk, Rahma mengetuk pintunya terlebih dahulu dengan pelan. Baru ia berani masuk ke dalam.
Dilihat di sana ada Reyhan dengan raut muka murung, tidak seperti biasanya yang berekspresi wajah datar nan dingin. Rahma meletakkan dua botol anggur dan gelas kecil yang ada di nampan itu ke atas meja.
"Mas Reyhan, kenapa?" tanyanya seraya menyentuh pundak Reyhan.
Bukannya menjawab, Reyhan yang sedang duduk di kursi kerjanya lalu menarik Rahma agar terjatuh dalam pangkuannya. Tentu saja itu membuat Rahma terpekik kaget karena perlakuannya yang tiba-tiba. Laki-laki itu melingkarkan tangannya di pinggang Rahma, lembut. Tidak terlalu erat, diiringi usapan-usapan halus di bagian perutnya. Reyhan tetap fokus pada pekerjaan di layar monitor itu, sedangkan Rahma duduk dengan resah. Posisi mereka berdua sangat intim.
Rahma menggigit bagian bawah bibirnya, menghalau rasa gugup yang tiba-tiba merayap perlahan melalui sentuhan demi sentuhan.
Yang terjadi di antara keduanya hanya keheningan belaka, Reyhan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya lalu menekan tombol shut down pada laptopnya. Ia mengembuskan napas berat setelah itu lalu menumpukan kepalanya pada bahu Rahma. Menghirup banyak-banyak harum tubuh Rahma yang selama tiga hari ini tidak ia rasakan.
"Mas Reyhan, lagi ada masalah, ya?" Rahma tahu Reyhan yang sekarang berbeda dari biasanya. Tangannya perlahan-lahan mengusap lengan Reyhan masih pada posisi yang sama.
"Banyak. Banyak masalah," kata Reyhan lalu menciumi bahu Rahma dengan bertubi-tubi.
"Geli, ih." Rahma menggelinjang sebentar. Tangan mungilnya berganti menahan kepala Reyhan.
"Saya kangen kamu, Rahma."
Hubungan keduanya sudah berjalan kurang lebih selama satu tahun, tapi Reyhan tetap kaku. Lihat saja, Reyhan masih menggunakan pola kalimat saya-kamu. Rahma pernah menegurnya dan meminta Reyhan mengganti pola kalimat saat sedang bersamanya menjadi aku-kamu saja agar tidak terlalu formal. Dan tahu apa jawaban Reyhan?
"Iya, nanti..."
"Kapan, Mas? Nggak enak tauk. Dengarnya terkesan jadi kayak percakapan resmi."
"Emang kenapa, sih? Aku-kamu sama saya-kamu artinya sama aja. Nggak ada yang berbeda."
"Ya, beda."
"Lebih romantis saya-kamu. Jarang ada yang pake."
Reyhan meraih ponselnya yang letaknya tak jauh di sisinya. Membuka tombol kuncinya lalu menggeser layarnya perlahan. Senyum tipis terbit pada bibirnya yang di atasnya mulai ditumbuhi kumis tipis. Laki-laki itu lalu memeluk tubuh mungil Rahma lagi. "Kamu mau minta kado apa dari, Mas? Tomorrow will be your special day."
"Ah, iya. Rahma lu-pa." Sebenarnya, hari itu juga yang membuat Rahma tidak bisa tenang. Jika ia belum menyerahkan dirinya, maka Rahma seperti merasa punya hutang pada Reyhan.
"Gadis Mas Reyhan udah dewasa, mau punya KTP. Bukan anak bawang lagi."
"Hahaha," Rahma tertawa renyah. "Mas bisa aja."
"Jadi, apa kado yang kamu inginkan dari Mas?" tanya Reyhan lagi. "Mas pasti beliin."
Rahma menggelengkan kepalanya. "Mas Reyhan terlalu baik buat Rahma selama ini."
"Gimana Mas nggak baik? Kamu 'kan calon istri Mas."
Rahma langsung mencubit pelan lengan Reyhan dan bangkit berdiri dengan wajah yang memerah. "Rahma masih pengin sekolah, Mas."
"Iya, iya. Mas Reyhan tahu. Kamu masih harus namatin SMA. Kuliah. Jadi Dokter. Perjalanan kamu masih panjang," Reyhan menarik tangan Rahma lagi agar tubuhnya tidak jauh-jauh darinya. "Mas mau kok nunggu kamu. Eh, tapi kalau kita nikah setelah kamu jadi dokter bisa lama banget itu. Dua tahun lagi kamu lulus SMA, terus kuliah kedokeran kira-kira hem... dibuat aja tujuh tahun. Itu belum ambil spesialisnya. Duh, nanti Mas Reyhan keburu tua gimana? Nanti kamu nggak cinta lagi."
Rahma hanya tertawa. Percakapan seperti itu sudah lazim Reyhan lontarkan seakan-akan memberi kode bahwa laki-laki yang ada dihadapannya itu ingin segera membangun hubungan rumah tangga dengannya. Dan setiap Reyhan menjabarkan semua hal-hal indah yang ia rencanakan untuk hubungan keduanya, Rahma langsung memeluk laki-laki itu untuk menghentikan racauannya.
Sebaiknya, semua itu dijalani apa adanya. Biarkan mengalir begitu saja seperti air.
"Gimana kalau kita nikah setelah kamu lulus SMA? Mas udah nggak sabar."
"Mas..." Rahma membisikinya pelan.
"Kan, bisa kuliah meskipun udah nikah."
Rahma melepaskan pelukannya, menatap intens kedua bola mata Reyhan. "Selama Bapak belum sadar, Rahma nggak mau nikah."
Deg.
Reyhan langsung bungkam. Ini juga pernah dibahas oleh Rahma. Dan berakhir dengan turunnya hujan dari dua bola matanya.
"Rahma pengin Bapak yang jadi wali nikah... hiks..." tangis Rahma semakin kencang. Reyhan langsung menepuk-nepuk punggungnya disertai pelukan menenangkannya yang selalu ada. "Ta-tadi Rahma ke rumah sakit, kata dokter belum ada perubahan."
"Iya, udah. Kamu jangan nangis lagi," Reyhan menjadi merasa bersalah sudah membahas masalah yang sangat sensitif di hati Rahma. "Mas nggak bakal bahas pernikahan lagi setelah ini."
"Tapi, Mas Reyhan selalu bahas itu."
"Iya, 'kan nggak sengaja." Reyhan tersenyum garing.
"Mas Reyhan ngebet banget, ya, pengin nikah? Hem, dasar!" tangis Rahma perlahan mulai reda, ia mengucek-ucek matanya yang basah karena hujan yang ia ciptakan sendiri.
Reyhan menahan tangan Rahma yang terus saja mengucek matanya, mengisyaratkan perempuan itu untuk diam. "Kan, kamu tahu sendiri umur Mas Reyhan udah berapa. Hampir tiap hari ditanyain Papa kapan nikah, bahkan mau dicariin pendamping. Mas 'kan udah punya calonnya. Eh, tapi Papa malah ketawa nggak percaya. Jadi sebel. Pengin cepet-cepet ngasih tahu orang-orang juga," lalu Reyhan menarik ujung hidung Rahma. "... kalau Mas udah punya pacar yang cantik banget, calon istri juga."
"Mas Reyhan ih gombal terus kalau sama Rahma."
"Siapa yang gombal, Sayang?" Reyhan mengecup bibir Rahma sekilas. "Udah, sana. Waktunya kamu tidur. Besok sekolah."
"Ih, Mas Reyhan." Rahma mendengus sebal.
"Kenapa lagi?"
"Kan, lupa 'kan. Emang dasar udah tua. Pikun."
"Eh?"
"Rahma 'kan kemarin udah cerita kalau sekarang udah libur sekolahnya. Udah terima rapor juga," jelas Rahma dengan bibir cemberut.
"Oh, iya? Kapan kamu bilangnya? Kok Mas Reyhan nggak denger?"
"Pas di gudang anggur waktu itu," kata Rahma lagi.
"Ah, iya. Mas lupa," Reyhan lalu menjetikkan jarinya. Waktu itu Reyhan sedang tidak fokus dengan semua cerita Rahma. Jadilah, ia hanya diam tanpa mendengarkan dengan saksama. "Jadi, gimana nilai kamu semester ini? Turun atau naik?"
"Ih, masak harus Rahma ulang lagi ceritanya? Kan, udah Rahma ceritain. Kebiasaan deh Mas Reyhan."
"Ya, maaf. Sini-sini, cium dulu biar nggak gampang lupa." Reyhan menarik Rahma, menangkup kedua sisi muka perempuan itu lalu mulai melumat bibirnya. "Nah, kalau gini 'kan Mas jadi nggak gampang lupa nantinya."
"Alesan!"
"Jadi, kamu tetep jadi nomor dua?"
Rahma menganggukkan kepalanya pelan. "Susah tahu ngalahin dia, Mas. Pinter banget anaknya."
"Siapa namanya?" Reyhan memiringkan kepalanya. "Rak-sa?"
"Ih, bukan! Namanya Heksa."
"Ya, pokoknya itulah. Kamu jangan sampai suka sama dia dengan alasan karena dia pinter. Makanya, kamu tertarik. Mas Reyhan nggak akan terima itu."
"Posesif!"
"Biarin," Reyhan membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja. "Ya, udah kamu istirahat. Besok akan menjadi hari yang paling melelahkan buat kamu."
Dan hari yang paling Reyhan benci.
Di satu sisi ia senang karena bisa memiliki Rahma seutuhnya, tapi kenyataan bahwa adiknya pulang di hari yang sama dengan ulang tahun Rahma itu lebih menyiksanya.
Bisa-bisanya tanggal lahir mereka sama?! Permainan takdir macam apa ini?
••••••••••
"Kak, kok lo lama banget, sih, di ruangannya Tuan? Ngapain aja?" tukas Reno saat Rahma baru kembali ke kamar mereka.
"Dek..." Rahma mendelikkan matanya.
"Ya, 'kan gue cuma tanya."
Ada benarnya juga, sih. Kini, mulai timbul kecurigaan di benak Reno yang sialnya sudah muncul sedari dulu, tapi ditahannya. Marni pun merasa ada yang aneh dengan Reyhan, majikannya itu. Sejak Reyhan sering memberi keluarga mereka bantuan, itu pun disuruh merahasiakan dari Papa dan Mamanya. Seakan menegaskan bahwa Reyhan melakukan itu memang untuk Marni dan keluarganya, tanpa ada campur tangan dari orang tuanya.
"Sini, Nduk. Duduk," perintah Marni. "Kamu tadi ngapain aja?"
"Ya... nganterin anggur, Bu, buat Tuan."
"Kok lama? Kenapa nggak langsung kembali setelah kamu menaruhnya? Kamu pasti diomelin sama Tuan, ya?" bukan. Bukan Reyhan yang sering mengomelinya, tapi Alina. Nyonyanya itu selalu saja merasa tak puas dengan pekerjaan Rahma.
"Enggak, Bu." Rahma menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Tuan tadi malah ngajak ngobrol Rahma," kata Rahma yang semakin membuat tanda tanya besar muncul di pikiran Marni dan Reno yang mendengarnya. "Ngobrol tentang masalah sekolahnya Rahma. Kan, baru aja libur dan baru aja terima rapor. Tuan nanyain gimana nilainya. Mungkin, beliau mau memastikan nggak salah ngasih bantuan ke kita? Untung aja nilainya Rahma lumayan. Jadi, nggak ngecewain Tuan." Jelas Rahma panjang lebar, berharap ibu dan adiknya percaya. Penjelasan itu tidak sepenuhnya berbohong karena tadi memang seperti itu kejadiannya.
"Ya, udah. Kamu tidur sekarang, ya. Besok kita harus bangun pagi-pagi banget, Tuan Muda dateng. Katanya akan tinggal di sini, jadi kita harus masak banyak untuk sambutannya disuruh Nyonya."
"Hah? Besok?" Rahma menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Kok bisa samaan, sih.
"Tuan Muda besok tepat berusia 17 tahun, jadi akan ada pesta kecil di rumah ini," jelas Marni lagi.
Rahma menghela napas berat. Ia membenarkan letak bantalnya dan mulai berbaring di atas kasur tipisnya itu. Kepalanya menoleh pada sang ibu yang sudah memejamkan matanya.
Ibu lupa lagi kayaknya. Gumam Rahma pelan lalu ikut memejamkan mata juga.
••••••••••
Pukul sepuluh siang rumah itu sudah riuh dengan pengantar paket, kue pesanan, dekorasi rumah, dan lain sebagainya.
Marni hanya ditugaskan memasak makanan rumah oleh Alina. Selebihnya, semua pesan di luar.
Rahma melirik ibunya yang masih tidak peka hari apa ini. Selalu saja seperti ini di tahun-tahun sebelumnya. Hari spesialnya dilupakan, berjalan biasa, tak ada yang terjadi.
Pukul satu siang, mobil yang katanya milik Tuan Muda itu sudah terparkir di pelataran rumah. Rahma menduga akan ada kejadian ribut lagi antar majikannya. Secara Tuan Besar, Tuan, dan Tuan Muda sekarang ada di satu ruang lingkup. Entah apa yang menjadi masalahnya.
Lagi dan lagi, Rahma hanya bisa melihat Tuan Mudanya dari belakang.
Rahma mengambil ponselnya, di sana sudah ada beberapa pesan masuk. Cukup banyak. Ia segera membuka dan membacanya satu per satu. Senyum manis terbit di bibirnya secara spontan saat tahu siapa pengirim pesan-pesan singkat itu.
Mas Rey
Keluar, gih.
Diterima 00.02
Mas Rey
Rahma, keluar kamar sebentar aja.
Diterima 00.05
Mas Rey
Rahma, kamu tidur? Ini 'kan hari ulang tahun kamu.
Diterima 00.09
Mas Rey
RAHMAAAAAAAA
Diterima 01.11
Mas Rey
Saya nungguin kamu di sini sampe digigitin nyamuk. Kamunya malah tidur. Good night.
Diterima 02.34
Rahma segera membalas pesan-pesan singkat itu. Ia lalu melangkahkan kaki ke ruang keluarga, berniat mengintip Reyhan di sana. Ternyata, ia tidak menemukan sosok Reyhan di situ.
Apa Reyhan pergi ke kantor hari ini? Tapi, 'kan adiknya baru saja pulang. Semua anggota keluarga menyambut kedatangan Tuan Muda, hanya Reyhan yang tidak.
"Udahlah. Buat apa, sih, kamu cari-cari Kakakmu," kata Alina. "Paling dia sedang merenung memikirkan betapa kejam dia selama ini sudah mengasingkan adiknya."
"Mama..."
Kejam?
Memangnya apa yang sudah Reyhan lakukan pada adiknya?
Ah, sudahlah.
Dengan langkah gontai Rahma berjalan ke dapur, mencuci piring kotor yang menumpuk yang menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Suatu hari nanti, Rahma juga ingin bersenda gurau di rumahnya sendiri, tidak takut melakukan hal-hal lain karena merasa bukan tempatnya, bebas mau tidur seharian tanpa takut ada yang memarahinya, atau bahkan ingin mendekam di rumah seharian pun tidak akan ada yang melarang.
"Happy birthday," bisikkan lembut di telinga kanannya. Otomatis Rahma menoleh pada sumber suara. Dan mendapati Reyhan berdiri di sampingnya dengan gagah. Rahma akan memekik, tapi segera Reyhan tahan. "Ssstt..."
"Mas Reyhan, ih. Ngagetin, tauk."
"Yuk, ikut Mas..." Reyhan menarik tangan Rahma keluar dari dapur. Lewat pintu belakang rumahnya, Reyhan membawa Rahma ke tempat parkir mobilnya.
"Kita mau ke mana, Mas?"
"Mau ngerayain ulang tahun kamu lah," jawab Reyhan. "Dari tadi malam dihubungi nggak bisa. Kamu tidur, ya?" Rahma langsung meringis, membenarkan. "Make a wish, Rahma. Seharusnya tadi malam tuh tepat pukul 12 malem. Kamu malah tidur, hadeh."
Mobil Reyhan mulai dihidupkan mesinnya dan melaju keluar dari halaman rumahnya.
"Mas, kita mau ke mana? Aku belum izin ke Ibu."
"Tenang. Mas udah izinin ke Ibu kamu, mertua Mas juga." Satu alis Reyhan naik-turun meyakinkan Rahma.
••••••••••
Reyhan membawa Rahma ke vila miliknya yang ada di Bogor. Tentu saja Rahma riang bukan main. Ia tidak pernah liburan, selain liburan yang diwajibkan di sekolahnya. Study tour.
Reyhan dan Rahma tiba di sana saat hari sudah menjelang sore. Udara dingin yang sejuk langsung menyapanya.
"Mas, ini vila siapa? Kenapa kita kok ke sini? Sepi banget, Mas."
Reyhan hanya tertawa santai saat Rahma mencercanya dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan silih berganti. "Malam ini kita akan menginap di sini."
"HAH?!!!!" Rahma terkejut bukan main lagi.
Reyhan langsung menaruh telapak tangannya di atas kepala Rahma lalu menepuk-nepuk pelan seraya tersenyum kecil. "Ayok, masuk. Mas udah siapin pesta kecil buat kamu."
Vila berukuran minimalist, bertingkat, di teras depan banyak terdapat tanaman hias yang tumbuh menjalar. Keadaannya bersih, seperti ada yang merawatnya setiap hari. Saat masuk ke dalam, Rahma tidak menyangka di sana sudah ada balon-balon yang menggantung, rangkaian tulisan "Happy Birthday, Rahma" dengan kerlip lampu, ada dua botol anggur di meja, dan yang menyempurnakan di sana ada kue tar.
Sempurna!
Reyhan menggandeng Rahma, mendudukkan perempuan itu yang masih tak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Perasaan Rahma saat ini campur aduk antara terharu, senang, sedih, bersyukur. Setelah menemukan sakelar lampu, Reyhan mematikan lampu yang ada di sana. Kegelapan langsung menyelimuti keduanya.
"Ssstt, diam sebentar, Rahma." Reyhan tahu Rahma bergerak-gerak mencari keberadaannya dalam kegelapan.
Kue tar brownies bertabur keju yang di atasnya sudah ada lilin dengan angka tujuh belas tahun itu Reyhan nyalakan. Seketika yang bisa Rahma lihat dengan jelas raut muka Reyhan.
"Selamat ulang tahun, saya ucapkan..." dengan suara serak-serak basahnya, Reyhan menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan suara ala kadarnya. Sebenarnya, rencananya ia akan menyanyikan lagu happy birthday, tapi malah yang terlontar di bibirnya yang sekarang ini. Rahma awalnya tertawa lalu berganti menangis haru.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya, sekarang juga... sekarang juga..." Reyhan mendekatkan kue tar yang ia bawa ke hadapan Rahma. Dengan perlahan, Rahma mencondongkan tubuhnya lalu meniup kue itu. "Make a wish dulu, Rahma."
Rahma menganggukkan kepalanya pelan.
Tidak ada yang lebih berharga dari keluarga, impian, dan cita-cita.
Tidak ada yang lebih aku inginkan selain umur yang panjang dan selalu diberkahi kesehatan.
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain Engkau memberikanku kebahagiaan pun bagi orang-orang yang ada di sekitarku.
Reyhan menunjuk pisau kue yang terletak di meja dengan dagunya. Rahma langsung mengambil pisau itu dan menuruti perintah Reyhan untuk memotong kue itu. Kini, posisi keduanya sedang duduk bersebelahan dalam kegelapan.
"Potongan pertama untuk?" tanya Reyhan saat Rahma selesai memotong kue tar itu menjadi segitiga kecil dan meletakkannya di piring kue.
"Hem, sebenernya sih untuk Bapak sama Ibu..." Rahma menahan tawa di kedua pipinya saat tahu wajah bete Reyhan. "...karena Bapak sama Ibu nggak ada di sini, jadi orang yang aku sayang... yang ada di hadapanku."
"Siapa?" pancing Reyhan.
"Sok pura-pura nggak tahu lagi," Rahma mengambil garpu lalu mulai menyuapkan sepotong kue itu ke mulut Reyhan. "Ah," otomatis Reyhan membuka mulutnya. "Mas Reyhan lah."
Reyhan mengunyah pelan kue yang ada di dalam mulutnya. Setelah kue itu habis, ia berganti menyuapi Rahma. Sesekali Reyhan menyelipkan anak rambut Rahma ke belakang telinganya.
"Mas, nggak tahu apa yang kamu suka," kata Reyhan saat Rahma menaruh kepala di dadanya, bersandar. "Mas cuma tahu kamu suka ini."
Sebuah kotak kado warna merah muda kini berada di pangkuan Rahma. Ia sempat bertanya-tanya apa isinya, bonekakah? Kotak musikkah? Uangkah? Rahma memutuskan membuka kotak itu dan menemukan beberapa buku yang ia sukai. Sontak Rahma memandang Reyhan tidak percaya.
"Kamu suka baca buku. Cuma itu yang Mas tahu hehehe."
"Ini udah lebih dari cukup, Mas." Rahma memeluk tubuh tegap Reyhan.
••••••••••
Reyhan menjatuhkan Rahma di ranjang berukuran besar miliknya, ia sendiri membuka satu per satu kancing kemejanya sampai bertelanjang d**a lalu merangkak naik menghampiri Rahma.
"Percaya sama, Mas, ya."
Rahma hanya bisa menganggukkan kepalanya. Inilah harga yang harus ia bayar selama ini. Balas budi yang Reyhan berikan pada keluarganya sudah sepatutnya Rahma bayar. Reyhan sudah membiayai pendidikannya, pendidikan adiknya, biaya rumah sakit bapaknya, dan hutang-hutangnya yang ada di desa perlahan mulai terbayar lunas.
Dress yang Rahma kenakan, ditarik dengan sedikit kasar oleh Reyhan. Udara dingin khas dataran tinggi mulai menyapa kulit halus Rahma membuatnya memeluk diri saat hanya mengenakan underwear.
Reyhan memagut bibir mungil Rahma. Awalnya hanya ciuman biasa yang lambat laun menjadi kian memanas. Sepanjang perjalanan hubungan mereka, ini adalah ciuman terpanas yang pernah Reyhan berikan. Decapan lidah, lumatan kecil di bagian bawah bibirnya, lalu gigitan kecil saat Reyhan mengakhirinya.
Tangan Reyhan menangkup buah d**a Rahma. Tentu saja itu membuat Rahma tersentak dengan bola mata yang membeo untuk beberapa saat. Reyhan menundukkan kepalanya, seakan menyeruduk dadanya. Dengan rayapan perlahan, Reyhan membuka kaitan bra milik Rahma hingga terpampanglah buah d**a yang ranum itu. Refleks Rahma menutupinya dengan kedua tangan, menghalau Reyhan untuk melihatnya.
"Nggak usah ditutupin, Sayang." Reyhan menyingkirkan tangan Rahma lalu mulai meremasnya secara perlahan.
Melihat Rahma merem melek karena ulah tangan nakalnya, Reyhan menginginkan lebih. Satu buah d**a Rahma yang menganggur ia hisap layaknya dot s**u. Malam ini Reyhan berubah menjadi bayi besar yang tengah menyusu.
Desahan pelan itu perlahan keluar dari bibir Rahma dengan sangat menggoda dan menggairahkan.
Reyhan tersenyum tipis. Lalu ia bergerak ke bawah, menarik lepas penutup kewanitaan perempuan itu yang berbentuk segitiga, pelindung makhkotanya.
Satu jarinya masuk ke dalam setelah lama bermain-main di area sana hanya untuk menggoda si perempuan. Rahma menggelinjang tak keruan, sedangkan Reyhan merasakan jarinya diremas kuat di dalam sana serta ada kehangatan yang terasa. Jari itu keluar-masuk dengan cepat hingga membuat Rahma amat basah dibuatnya.
"Mmhhh, Mas... Rah-ma... a-ah."
Hanya seperti itu saja sudah bisa membuat Rahma klimaks.
Reyhan menjauhkan dirinya, turut melucuti celana panjangnya yang sedari tadi belum ia lepaskan. Setelah celana panjangnya, ia juga menurunkan yang menjadi pembungkus miliknya. Rahma yang melihat itu buru-buru mengalihkan pemandangan ke arah lain. Tertangkap basah mengagumi milik Reyhan.
Reyhan menindih tubuh Rahma dengan bertumpu pada lututnya. Wajah mereka berdua saling berhadapan, jarak keduanya begitu dekat. Napas Rahma yang naik-turun saja bisa ikut dirasakan oleh Reyhan. Pipi Rahma diusap pelan oleh Reyhan lalu dikecupnya. Dengan masih menatap intens Rahma, tangan Reyhan melebarkan kedua kaki perempuan itu, membuatnya mengangkang agar aktivitas keduanya dipermudah.
Melalui tatapan intens Reyhan yang begitu dalam Rahma tahu bahwa laki-laki itu tidak akan menyakitinya. Rahma mengalungkan tangannya pada leher Reyhan, membawa kepala laki-laki itu mendekat. Tubuh keduanya seakan menyatu, melebur satu sama lain, tak menyisahkan jarak apa pun.
"Ja-jangan buat Rahma hamil, ya, Mas."
Reyhan menggerakkan kepalanya menyerupai sebuah gelengan. "I love you..."
Dan malam itu Rahma resmi menukarkan harga diri, menyerahkan mahkotanya pada Reyhan.