"Wanita itu mudah terkena fitnah, mudah memasuki neraka, dan mudah memasuki syurga."
➖➖➖➖
Pagi ini Hikmah sedang sibuk mondar-mandir di kamarnya. Hari ini ia akan ada kerja kelompok hingga sore atau bahkan malam hari sehingga ia harus mempersiapkan segalanya dengan matang.
"Hikmah, Ibu sama ayah berangkat dulu, ya?" tanya Ibu yang sedang melongokkan kepalanya ke dalam kamar Hikmah. Mendengar suara ibunya, Hikmah pun berbalik lalu mendekat.
"Iya, Bu. Hati-hati ya, kabari jika sampai dan ingin pulang, jangan lama-lama ya, Hikmah takut!"
Nina tersenyum, ia lalu mengelus puncak kepala Hikmah. "In syaa Allah, nunggu urusannya selesai dulu. Enggak sampai malam juga, Hikmah hari ini berangkat sama Rani kan, ya?"
"Iya, nanti Rani jemput."
"Ya udah, persiapan kerja kelompoknya udah lengkap? Udah dicek lagi? Jangan lupa charger dibawa," tanya Nina pada Hikmah secara beruntun. Hikmah yang mendengar hal itu pun tertawa. Ibunya ini tidak pernah berubah.
"Udah semua, Bu," jawab Hikmah sambil tersenyum lebar. Nina yang mendengarnya pun merasa lega, lalu ia berpamitan pada Hikmah. "Kalau ada apa-apa kabari Ibu, Ibu berangkat dulu. Kamu hati-hati di jalan dan jangan sampai lupa makan," pesannya sambil mengecup dahi Hikmah. Hikmah mengangguk paham, ia pun mengantar ibunya ke luar rumah. Di luar sudah ada Juno yang sudah siap di balik kemudi. Setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan, Nina dan Juno pun meninggalkan rumah.
Setelah mobil orang tuanya pergi, Hikmah lekas masuk ke rumahnya dan bersiap untuk menunggu Rani yang akan menjemputnya. Sementara itu, dalam perjalanan Nina hanya terdiam. Ia tidak bersikap seperti biasanya. Juno yang berada di samping Nina pun merasa heran karena Nina hanya diam mengunci mulutnya. Biasanya saat sedang berdua seperti ini, mereka akan berbicara hangat atau mengulas masa muda mereka, tetapi sekarang Nina hanya terdiam.
"Tumben diam Bu, enggak mau ngomongin masa muda kita?" tanya Juno jahil. Ia tahu bahwa Nina pasti akan menunjukkan senyum malunya saat ia telah menjahilinya. Lama Juno menunggu, hal itu tak kunjung terjadi.
Nina menggeleng sambil memegang dadanya khawatir. "Ayah, kok perasaan Ibu enggak enak, ya?" tanya Nina gelisah. Entah kenapa sejak kemarin ia selalu uring-uringan. Juno menengok dan bertanya.
"Kenapa?"
"Enggak tahu Ibu juga, aneh aja."
"Cuma perasaan ibu aja kali, jangan dipikirin nanti malah jadi penyakit." Nina mengangguk pelan tak menjawab. Pandangannya ia alihkan pada jalanan yang sedang mereka lalui. Ia juga ingin menyangkal, tetapi hatinya benar-benar gusar saat ini, terlebih harus meninggalkan Hikmah sendiri.
***
Sekarang sudah jam tujuh malam dan Hikmah masih berada di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Tugas yang diberikan cukup sulit sehingga mampu membuat waktunya terkuras. Sebenarny a ia tak masalah hanya saja ini sudah malam dan pekerjaan mereka belumlah selesai. Seharusnya, mereka selesai sore hari, tetapi karena jam kerja kelompok yang ditunda membuat mereka baru memulainya sore hari tadi.
Ia kemudian melirik ke arah Rani yang nampak terburu-buru mengerjakan tugas, karena heran ia pun bertanya, "Kenapa, Ran?" tanyanya khawatir melihat raut sedih di wajah Rani.
Rani menengok dengan lemas dan mata yang berkaca-kaca. "Aku dapat SMS dari kakak aku, katanya Mamah sakit lagi dan sekarang ada di rumah sakit."
"Astaga, Ibumu sakit, Ran?" tanya Devi, teman mereka.
"Iya Dev, aku mau ke rumah sakit!"
"Ya udah, lo tunggu apalagi, gih cepet berangkat!" titah Diva, saudara kembar Devi.
Rani terduduk ragu, "Maunya si gitu, tapi ...." ia lalu melirik pada Hikmah yang tampak sangat khawatir.
"Tapi apa?" desak Hikmah pelan.
"Aku bingung!"
"Kenapa bingung, udah cepet ke rumah sakit sekarang, tugas kamu biar aku yang kerjain!"
"Iya, Ran. Gampang tugas mah!"
Rani menggeleng frustasi. Bukan itu yang ia khawatirkan. Jika hanya masalah tugas, ia yakin teman-temannya tidak akan sejahat itu. Mereka tidak akan membiarkan nilainya kosong karena bagaimanapun Rani telah mengerjakan sebagian tugasnya.
"Bukan itu, aku bingung sama Hikmah,"
"Kamu sama siapa nanti? Kamu kan datang sama aku tadi," ucapnya bingung dan lesu. Di satu sisi ada ibunya dan di sisi lain ada Hikmah yang telah menjadi sahabatnya.
Hikmah terdiam sebentar lalu menjawab, "Aku bisa pakai ojek online, kok! Tenang aja, udah sekarang kamu pulang, sisanya biar aku yang beresin!" Hikmah mencetuskan solusinya pada Rani yang kini tampak bernapas lega.
Namun, Rani masih meragu. "Tapi aku khawatir sama kamu, Hikmah!"
Hikmah berdecak pelan, ia kemudian mengusap pundak Rani lembut. "Enggak usah khawatir, ibumu jauh lebih penting, ingat bukan?"
Rani mengangguk pelan, ia kemudian memeluk Hikmah, entah kenapa hatinya gelisah dan bersedih, mungkin karena mendengar kabar bahwa ibunya terbaring di rumah sakit, lagi.
"Makasih, ya!"
"Sama-sama, dah sana berangkat. Kerkomnya juga sebentar lagi selesai,"
"Ran, jangan lupa bilang sama kak Riri aku nengok lain kali ya, enggak bisa ikut sekarang."
"Ran, bilangin ibu lo, semoga cepet sembuh ya!"
"Gue titip salam, Ran!"
Rani mengangguk sambil mengulas senyum, "Iya, nanti aku bilang mamah,"
"Ya udah, aku berangkat dulu ya. Wassalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam warohmatullohi wabarakaatuh, hati-hati Rani!" ingat Hikmah yang diacungi jempol oleh Rani.
"Dah, kita kerja lagi yuk!" ajak Devi yang langsung diangguki oleh Hikmah dan Diva.
Mereka kemudian kembali bekerja dengan hati yang berharap cemas. Takut keadaan ibu Rani kembali berada di titik terendah. Ibu Rani memang sering keluar masuk rumah sakit, tetapi tetap saja mereka khawatir.
Hikmah mengambil bagian tugas milik Rani dan mengerjakannya. Satu jam kemudian mereka selesai mengerjakan dan Hikmah langsung bergegas pulang, tak lupa ia memesan ojek online.
"Dev, Div, aku pulang dulu, ya!"
"Mau balik sekarang, Mah?"
"Iya, sekarang aja, udah malam, nih."
"Tapi mau hujan loh Hikmah, dari tadi udah ada gledek!" beritahu Diva. Hikmah terdiam lalu mengangguk.
"Enggak apa-apa, deh. Doain aja, ya. Ya udah, aku pulang dulu, ojeknya udah dateng di depan rumah!"
Diva dan Devi lalu mengantarkan Hikmah hingga pagar. Mereka lalu melambaikan tangan saat motor yang membonceng Hikmah telah berjalan.
"Gue harap dia baik-baik aja,"
"Sama!"
Hikmah terdiam di tengah perjalanan. Di sekelilingnya saat ini adalah rumah-rumah kosong dan sebagian lagi hanya hamparan sawah. Rumah Diva dan Devi memang terletak di perkampungan, tetapi tidak terlalu jauh dari kota.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba motor berhenti secara mendadak membuat Hikmah kaget. "Ada apa, Pak?" tanyanya Khawatir.
Bapak ojek itu menengok sebentar. "Maaf Neng, saya angkat telpon dulu ya, barangkali penting."
"Ouh, iya enggak apa-apa, Pak!"
Bapak itu pun mengangkat panggilannya dan langsung terkejut saat mendengar kabar tentang istrinya."Haduh, yang bener atuh teh, ibu pendarahan?"
"Iya, Pak! Cepet ke sini, Pak, teteh takut sendirian liat ibu berdarah!"
"Bapak lagi ngojek, teh. Tunggu bentar lagi ya, tanggung ini."
Tutt ....
Setelah panggilan mati, Hikmah bertanya. "Kenapa, pak? Kayaknya gawat."
Bapak itu nampak sungkan, namun tetap menjawab."Istri saya masuk rumah sakit, Neng, karena pendarahan habis ngelahirin anak ketiga, dan sekarang yang nungguin cuma anak saya yang pertama, dia ketakutan."
"Saya bingung!"
Hikmah tampak kaget, tak menyangka bahwa Bapak ini sedang mengalami cobaan yang begitu berat.
"Terus gimana, Pak?"
"Yaaa anak saya teh minta ditemenin, Neng. Soalnya kan butuh untuk urus-urus, tapi saya enggak bisa ke sana, tanggung orderannya. Lagian juga arahnya berlawanan dari tujuan Eneng. Jadi, Bapak enggak bisa ke sana sekarang." Bapak itu menjelaskan dengan wajah yang sedih. Hatinya teremat sakit karena istrinya tengah terbaring di rumah sakit saat ini.
Hikmah terdiam, di satu sisi ia butuh tumpangan untuk pulang dan di sisi lain bapak itu harus menemani istrinya yang pendarahan. Hatinya jadi turut merasakan sakit dan deritanya. Ia kemudian melihat sekitar, area ini sudah lumayan ramai tetapi tetap sepi. Memang masih masuk ke area perkampungan, tetapi cukup untuk memesan pesanan ojek yang lain.
Hikmah kemudian mengambil keputusan. "Ya udah Pak, turunkan saya saja di sini, saya akan pesan ojek lagi nanti, Bapak ke rumah sakit saja sekarang!" saran Hikmah membuat Bapak itu terdiam cengo, merasa tak menyangka.
"Tapi Neng, ini teh masih jauh dari tujuan, saya teh enggak enak," ucapnya tak enak hati.
Hikmah menggeleng pelan lalu turun dari motor, ia lalu merogoh kantung saku gamisnya dan mengambil uang sebesar lima puluh ribu lalu memberikannya pada Bapak ojek itu.
"Ini Pak uang untuk bayaran Bapak,"
Bapak itu terlihat kaget, ia mematikan mesin motornya dan turun.
"Enggak usah, Neng. Saya enggak antar sampai tujuan, ambil aja uangnya, enggak usah bayar enggak apa-apa. Maaf ya Neng, saya enggak bisa anterin sampe tujuan." Bapak itu kemudian ingin kembali naik, tetapi Hikmah langsung mencegahnya.
"Eh tunggu, Pak! Ini ambil uangnya, untuk jajan anak Bapak aja, enggak apa-apa, beneran."
Bapak itu nampak tak enak hati, namun Hikmah kembali meyakinkannya sehingga Bapak itu dengan ragu menerima uang yang Hikmah berikan.
"Makasih ya, Neng. Neng baik sekali, semoga Allah membalas kebaikan Neng ya,"
"Aamiin, makasih doanya ya Pak, sekarang Bapak nyetir dengan tenang, saya hanya titip doa untuk istri Bapak."
"Iya Neng enggak apa-apa, kalo gitu Bapak pergi dulu ya, Neng."
"Iya Pak, hati-hati."
Bapak ojek itu pun kemudian pergi meninggalkan Hikmah sendiri. Suasana di malam hari agaknya membuat Hikmah merinding sendiri. Penerangan seadanya membuat Hikmah dirundung rasa khawatir dan takut.
Ia kemudian membuka ponselnya ingin memesan ojek lain, naas baterai ponselnga habis membuat Hikmah terkejut.
"Astagfirullah ... habis baterainya, gimana aku pulang?"
"Kalau mau ke rumah Devi lagi jauh, mau pesan ojek lagi enggak bisa,"
Ia kemudian menengok ke kanan, arah di mana Bapak itu berbelok. Setelah itu, ia menoleh ke kiri di mana jalan itu yang ia lalui bersama Rani pada awalnya. Akhirnya, ia memutuskan urus berjalan sembari mencari angkutan umum. Meski sulit, Hikmah tetap berusaha. Jika di sini ia tidak menemukan kendaraan umum, semoga di jalan besar ia akan menemuinya.
"Jalan aja dulu deh, ya. Nanti di jalan besar naik ojek lagi."
"Iya deh, gitu aja."
"Bismillahirrahmanirrohiim ...."
Hikmah kemudian mulai berjalan. Ia berjalan sendirian di tengah jalan yang bisa dibilang lumayan sepi. Bayangan orang yang melakukan tindakan kriminal terngiang dalam ingatan Hikmah. Ia pun mempercepat langkah dan hatinya berbunga senang saat mendapati jalan besar sudah bisa ia kuat. Meski terasa masih sangat jauh, ia tetap berusaha. Semangatnya pun kini berubah menjadi semangat 45.
"Ayo, sebentar lagi Hikmah!"
"Semangat!!"
Tess ... tess ....
Craasshh....
Crasshh....
"HUJAN!" Hikmah dengan segera mencari tempat untuk berteduh. Namun, ia sempat kebingungan. Ingin berteduh di mana? Tidak mungkin ia memasuki rumah orang begitu saja. Sementara itu, Hujan semakin deras. Akhirnya, tanpa berpikir panjang ia memasuki rumah kosong yang ia tengah lewati.
"Astagfirullah ... hujan lagi,"
"Gimana ini?"
Hikmah terdiam frustasi, sekarang sedang hujan besar dan tubuhnya telah basah kuyup karena tak bergerak cepat untuk berteduh. Entah di mana dia sekarang.
"Gelap banget, aku neduh di rumah kosong? Serius?"
"Ya Allah ... hanya kepadamu aku berlindung!"
Hikmah meneteskan air matanya tetapi segera ia hapus, ia takut sekarang. Di rumah kosong sendirian, gelap, dan dingin sekarang. Tak ada tempat lain karena rumah lain tertutup rapat dan rasanya tidak cukup untuk menghalau hujan mengenai dirinya.
Krek!
Hikmah terdiam kaku saat telinganya menangkap sesuatu. Seperti ada yang menginjak dedaunan kering, tapi bukankah hanya ia yang berada di sini sendirian? Lalu apa itu?
"Ibu ... ayah ...." Hikmah memanggil lirih orang tuanya. Ia berharap batin mereka saling terhubung satu sama lain.
Krek!
Sreekk!
Hikmah semakin takut. Petir juga menyambar-nyambar ditambah suara aneh itu semakin memasuki indra pendengarannya. Ia kemudian meraba-raba sekitar, berusaha mencari asal suara sambil bergerak perlahan, tidak mungkin bukan ia hanya terdiam kaku, bukan?
Hikmah kemudian menjulurkan tangan dan kakinya melangkah. Namun ....
Di sisi lain, seorang Hans yang baru saja kebut-kebutan menghindari kejaran polisi itu tampak dengan santai menunggu hujan reda di sebuah rumah kosong. Ia dengan santai masuk ke sana tanpa takut apa pun, ia sudah kebal. Motornya ia tinggal di depan jalan tadi, lalu dengan tunggang-langgang ia berlari seperti kesetanan memasuki perumahan.
Otaknya berpikir cerdas saat mendapati rumah kosong. Dengan segera saja ia memasukinya guna menghindar kejaran polisi. Tak lupa ia membuka jaketnya lalu membuangnya ke sawah tadi, ponselnya masih menyala dan baterainya masih penuh, tetapi ia sengaja tak menyalakan ponsel. Karena jika ia menyalakan ponselnya, itu artinya ia akan membongkar persembunyiannya sendiri.
Bukan tanpa alasan ia melakukan semua ini. Tadi, saat ia sedang dalam perjalanan menuju ke markasnya karena ingin pesta, mendadak polisi mengejarnya. Ia yang menyadari kesalahannya pun mempercepat laju motornya lalu menghentikannya secara mendadak di jalan dan ia memilih lari memasuki perumahan. Saat ia melihat sawah langsung saja ia melepas jaket dan membuangnya, karena jaketnya yang mengandung tulisan kontroversial ia jadi dikejar polisi. Tentu ia tak ingin ditangkap, masalah motor ia bisa membelinya lagi.
Dalam hati ia bersyukur karena hujan mendadak datang, karena itu artinya polisi akan sulit mencarinya.
Merasa ia akan bersembunyi untuk waktu yang lama, ia pun membuka bajunya dan mengalih fungsikannya menjadi sapu untuk membersihkan tempat yang akan ia duduki.
Setelah bersih ia duduk dengan santai sambil terdiam, tidak ada ponsel yang menyala atau musik yang terdengar, karena hanya ada keheningan dan kegelapan yang menyapanya.
Ia menikmatinya, tetapi ia kaget seketika saat ada seseorang yang jatuh menubruk dirinya sehingga ia tertidur di lantai yang kotor, ditambah ada beban besar yang menimpanya.
"AAAARRGGGHH!!!"
"ASTAGFIRULLAH!!"