Should I Thank You?
Chap 3
***
Tasya memberikan satu gelas jus jeruk pada Tasya. Dengan senang hati, Tasya menerimanya. Segera Tasya teguk air jeruk itu hingga tandas. Saat itulah, Rasya tak dapat mengalihkan pandangannya dari Tasya.
"Kamu tahu, Sya?” tanya Tasya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga mawar yang selalu ia sukai. "Aku tuh suka banget bunga mawar. Meskipun berduri, mereka sangat cantik. Mama juga suka nanam mawar di rumah ...,"
Tasya menceritakan tentang dirinya pada Rasya dengan begitu antusiasnya. Tak menyadari jika sedari tadi Rasya hanya menikmati keindahan wajahnya. Tak menghiraukan cuapan Tasya yang terus bercerita. Rasya tidak menampik. Jika wanita di hadapannya saat ini begitu cantik. Rasya menyadari itu. Bahkan, sejak dulu. Sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Rasya masih ingat. Betapa dulu ia mengagumi wanita ini. Mengaguminya melalui kejauhan. Kebaikan, kecantikan, kecerdasan, kemolekan, semua Rasya menyukainya. Paras Tasya yang cantik membuatnya menjadi most wanted di sekolahnya dulu. Bahkan, dua semester di perkuliahan pun Tasya tetap menjadi yang terhebat baginya. Banyak murid laki-laki yang mengidolakannya. Apalah daya Rasya yang saat itu menjadi murid yang tidak terlalu mencolok dan hanya menjadi sebagian keping kecil dari pengagum rahasia Tasya.
Ya. SMA dulu Rasya hanya lah seorang yang tidak terlalu banyak bicara dan bergaul. Bila dikatakan murid pendiam dan culun pun Rasya juga tidak seperti itu. Hanya saja, Rasya lebih mementingkan masa depannya kala itu dari pada mengurusi hal yang berhubungan dengan masalah wanita. Ia pun masih kurang percaya jika saat bertemu tadi, Tasya juga mengenalinya.
Mengenai Ava, Rasya merasa dirinya telah menjadi seseorang yang beruntung karena telah mendapatkan seorang istri yang cantik dan baik hati seperti Ava. Belum lagi rasa sabar sang istri saat mendapat cercaan dari mamanya. Ahh, bicara mengenai Ava, apakah istrinya sudah sampai di rumah?
Tasya mengalihkan pandangannya. Saat itulah ia menyadari jika Rasya tengah menatapnya intens. "Kamu kenapa, Sya?" Tasya bertanya saat Rasya telah tersadar sepenuhnya.
"Ah—Nggak papa, kok." Tasya mengangguk.
"Oh iya. Ngomong-ngomong, istri kamu mana, ya? Kok dari tadi aku nggak lihat? Aku juga pengen ngobrol sama dia."
"Oh ... Ava?" Tasya menganggukkan kepala. "Dia udah pulang,” jawab Rasya.
Hal itu membuat Tasya melotot seketika.
"Kamu kenapa melotot gitu?" Tanya Rasya dengan kekehannya yang merasa lucu melihat pelototan dari Tasya.
"Kalau istri kamu sudah pulang, kenapa kamu masih ada di sini?" tanya Tasya heran.
"Kenapa? Nggak boleh?"
"Bukan gitu, Sya! Tapi kan—" Belum sempat Tasya menyelesaikan ucapannya, Rasya memotongnya untuk menghentikan protesan dari Tasya.
"Kan, aku harus nemenin kamu di sini!" Lagi-lagi jawaban Rasya membuat Tasya merasa tidak enak. Ia hanya mampu menggigit bibir bawahnya.
"Aku jadi nggak enak sama istri kamu. Gara-gara kamu ketemu aku, kamu kayak ngelupain dia gitu."
"Apaan sih. Ava juga nggak keberatan kok kalau aku nemenin dulu kamu di sini. Dia ngerti kok."
"Tetep aja, Sya, aku—” Suara deringan ponsel milik Tasya membuatnya harus menghentikan ucapannya kembali. Setelah melihat ID si penelepon, dengan segera Tasya menerima panggilan itu. Rasya pun hanya diam sembari kembali memperhatikan Tasya. Tak bersuara karena tak ingin mengganggu Tasya.
"Ya?... Masih di rumah Zizi ... iya ... pasti ... bye."
Tasya membuang nafasnya kasar setelah menutup panggilannya barusan.
"Siapa?" tanya Rasya.
"Tunangan," jawab Tasya yang terkesan ogah-ogahan dalam menjawab.
"Ada masalah?"
"Nggak ada," jawabnya dengan senyuman dan gelengan. "Ya udah. Kita gabung sama yang lain yuk!" Rasya hanya mengangguk. Meski ia merasa janggal, ia pun tidak bisa mencampuri urusan Tasya.
***
"Kafka mana, Ma?" Yarendra bertanya ketika ia bergabung bersama sang istri di ruang keluarga.
"Keluar. Ketemu sama temen-temennya katanya." Yarendra hanya menganggukkan kepalanya santai.
"Kalau, Ava?"
"Dia udah pulang," jawab Desi dengan nada malas. Yarendra hanya menghela nafas menyikapi sikap istrinya.
“Pa. Menurut Papa, Zizi gimana?" tanya Desi pada sang suami.
Yarendra yang ditanya hanya mengerutkan alisnya tak mengerti. "Gimana apanya?"
"Iihh ... Papa. Cantik, nggak?" Yarendra yang sebelumnya memperhatikan sang istri kini beralih menatap Zizi dengan tatapan yang sulit di artikan. Yang mampu membuat Zizi menunduk malu dan memilin jarinya.
"Biasa aja." Jawaban dari Yarendra membuat Zizi dan ibunya melotot.
"Aduh. Kenapa sih, Ma?" Yarendra menggosok lengannya yang terasa panas akibat pukulan istrinya.
"Papa ini gimana, sih? Orang Zizi cantik gitu, Kok," ucap Desi dengan wajah marahnya.
"Ma. Zizi itu nggak cantik. Biasa aja," jawab Yarendra kembali. Semakin membuat Desi ingin naik pitam. "Dia itu nggak ada apa-apanya di banding Mama. Bagi Papa, Mama itu wanita yang paling cantik," ucap Yarendra dengan senyuman menggodanya. Membuat Desi dan dua wanita di depannya menghilangkan uap panas mereka seketika.
Desi yang mengerti bahwa suaminya kini tengah menggodanya, kembali menepuk pelan lengan sang suami. "Ih Papa. Bikin malu aja."
"Kenapa harus malu? Emang bener, Kok. Bagi Papa, Mama adalah wanita yang paling cantik." Ayah Zizi hanya tertawa melihat godaan temannya pada istrinya.
"Udah ah. Mama itu tanya Zizi, cocok nggak untuk jadi istri?" Tatapan Yarendra kini kembali beralih pada gadis yang bernama Zizi.
"Memangnya, umur Zizi berapa?"
"Sama kayak Kafka, Pa." Bukan Zizi yang menjawab pertanyaan Yarendra. Melainkan Desi istrinya.
"Kalo itu ya cocok aja. Umur segitu, kan memang sudah mantap untuk menikah!" Jawaban dari Yarendra terdengar ambigu. Namun tidak bagi tiga wanita yang ada di sana. Bagi mereka, jawaban itu seperti lampu hijau bagi niatan mereka.
Tatapan Yarendra kini beralih memicing pada sang istri. "Jangan bilang Mama suruh Papa untuk poligami," tuduhnya yang membuat Desi melotot, "Papa nggak mau ya, Ma. Apalagi kalo poligaminya sama Zizi. Dia kan anaknya Bram, Ma. Sahabat Papa."
"Ihhh Papa apaan sih?" Tawa kembali menggelegar di ruang keluarga itu. "Maksud Mama, Zizi itu cocok dong buat jadi menantu kita, Pa," ucap Desi antusias dengan memeluk lengan Yarendra, "jadi istrinya Kafka Pa," imbuhnya kemudian.
Yarendra pun mengerti ke mana arah tujuan ucapan sang istri. Yarendra bukanlah orang tua yang kolot. Dimana ia akan menjodohkan anak-anaknya dalam urusan pernikahan. Namun, menolak saat ini pun terasa tidak etis. Selain seseorang itu saat ini berada tepat di hadapannya, wanita yang bernama Zizi ini pun juga putri dari sahabatnya. Yang saat ini juga tengah duduk di hadapannya. Akhirnya, tanpa mengubah ekspresinya secara mencolok, Yarendra pun mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk ia ucapkan.
"Kalau Papa sih, setuju-setuju aja, Ma." Terlihat wajah kebahagiaan yang terpancar dari istrinya dan juga dua wanita berbeda umur di hadapannya. Dan juga senyum yang berkembang pada wajah sang sahabat.
"Tapi kita juga tidak bisa mengabaikan keputusan Kafka, Ma. Kita kenalkan dulu saja mereka. Bukan begitu, Bram?" Tanya Yarendra pada sang sahabat.
"Kamu benar, Dra." Jawaban dari dua orang laki-laki ini membuat Desi mendengus seketika. Bagaimanapun juga, ia tak ingin putranya salah dalam memilih pasangan. Sudah cukup Rasya yang menurutnya gagal dalam berumah tangga. Ya, meskipun gagal bukan dalam kata perceraian. Tapi gagal dalam memiliki momongan.
Baginya, Kafka adalah harapan satu-satunya untuk ia bisa memiliki cucu. Ya, meskipun tidak ia pungkiri ada rencana lain yang telah ia susun dalam masa depan Rasya. Ah, jika seperti itu. Desi benar-benar berharap akan adanya perceraian dalam rumah tangga Ava dan Rasya.
"Pa, Ma." Baru saja Desi ingin berucap, suara seseorang yang baru saja terdengar mengalihkan pandangan semuanya. Terlihat Rasya yang baru saja memasuki rumah dengan menggandeng tangan Tasya. Dan hal itu, membuat Yarendra menautkan kedua alisnya merasa heran akan keberadaan Rasya saat ini.
"Loh, Sya. Katanya Ava sudah pulang? Kok kamu masih di sini?" Yarendra bertanya ketika Rasya sudah duduk di sampingnya.
"Ohh, itu. Ava memang sudah pulang, Pa. Tapi dia pulang sendiri," jawab Rasya.
"Sendiri?"
"Iya, Pa. Tadi, kan Rasya mama suruh nemenin Tasya untuk keliling rumah, jadi Ava pulang sendiri. Lagian Avanya juga nggak papa, kok,” ucap Desi. Ia ingin mengontrol sedikit suaminya.
Yarendra tanpa berkomentar, akhirnya memilih untuk diam. Bukan untuk membenarkan tindakan sang putra. Akan tetapi, ia masih ingat jika ia memiliki tamu.
***
Mobil Kafka baru saja sampai di pelataran rumah Ava. Wanita yang menjadi istri sang kakak dan juga wanita yang sangat ia cintai.
Kafka menengok untuk melihat Ava yang masih tertidur. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Mungkin, wanita ini merasa sangat lelah setelah menangis. Hingga mobil yang berjalan pun tak mengganggu tidurnya.
Tak ingin menjadi pengganggu, Kafka memilih untuk turun terlebih dahulu dan memilih untuk membopong tubuh yang tengah terlelap itu. Ohhh, come on Kafka. Tidur Ava tak ingin kau ganggu? Tapi rumah tangganya ingin kau ganggu?
Kafka semakin mengembangkan senyumnya saat Ava menyamankan posisinya dalam gendongannya. Suasana rumah Ava yang terlihat sepi, membuat Kafka berani untuk membawa Ava ke dalam kamarnya. Sepi? Bahkan jika ramai pun Kafka tidak peduli.
Dengan pelan, Kafka meletakkan tubuh cantik itu di atas kasur empuknya. Tak ada niatan dari Kafka untuk segera beranjak. Yang ada, Kafka malah memosisikan dirinya untuk berbaring di samping Ava. Ia rengkuh tubuh mungil itu. Ava yang pada dasarnya selalu nyaman dalam dekapan sang sahabat pun tak merasa terusik, karena itu hal biasa baginya. Hanya saja, setelah ia menikah ia tak melakukannya kembali. Kafka merasa bersyukur dengan keadaan Ava yang saat ini terlelap. Membuat Ava tak menolak dekapannya. Hingga ia turut menyusul Ava dalam mata terpejamnya, keduanya mengarungi mimpi bersama dalam satu pelukan hangat.
***
Empat jam telah berlalu, Ava menggeliat di dalam tidurnya hingga kesadarannya pun kembali utuh. Ia mengedarkan pandangannya pada sekelilingnya. Ah, kamarnya. Dengan perlahan, ia mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Mencoba mengingat apa yang baru saja ia alami.
Yah, dia ingat. Kejadian yang baginya menyakitkan yang terjadi di rumah mertuanya. Setelahnya, ia pulang dengan menangis, bertemu Kafka dan diantarkan pulang oleh Kafka. Kafka? Kening Ava terlipat saat mengingat Kafka. Ia kembali teringat suatu hal. Merasa lelah dengan tangisnya tadi, Ava tertidur dalam mobil Kafka. Apa Kafka juga yang membawanya kemari? Ah Kafka. Merepotkan saja. Ia kembali mengedarkan pandangannya. Ia tak mendapati keberadaan Kafka. Mungkin Kafka sudah pulang setelah meletakkan dirinya di kamar.
Memilih untuk beranjak dari tidurnya, Ava memilih melangkah ke arah kamar mandi untuk mencuci mukanya. Bangun dari tidurnya, Ava merasa perutnya kembali berbunyi. Sepertinya, perut itu meminta haknya.
Saat ia keluar dari kamarnya, rumah terlihat masih sepi. Sepertinya sang suami pun juga belum pulang. Ava menghela nafas menyadari itu. "Segitu bahagianya kamu, Mas bertemu teman lamamu? Hingga jam segini kamu belum juga pulang.”
Ava yang perutnya sudah berbunyi memilih untuk menuju meja makan. Kening Ava kembali terlipat kala tak mendapati satu makanan pun di meja makan. Apa pembantunya tidak memasak?
Ava mendengar seperti masih ada orang dari arah dapur. Ava pun berjalan ke arah dapur untuk melihatnya.
Ava menggelengkan kepala saat ia mendapati pria tampan yang saat ini berkutat dalam dapurnya.
Ava tak menampik saat ini merasa kagum pada Kafka. Dengan kaos hitam polosnya, Kafka terlihat begitu mempesona saat di lihat dari belakang. Otot punggung yang tercetak begitu jelas, terlihat bergerak seiring tangannya yang berkutat pada alat masaknya. Wanita mana yang tak kan jatuh cinta padanya?
"Mengagumi, eh?" Suara berat Kafka membuyarkan keterpesonaan Ava pada Kafka. Kembali mengembangkan senyumnya, Ava mendekati Kafka.
"Masak apa?" tanya Ava. Ava tahu, Kafka tidak bisa memasak. Tapi entah dari mana keberaniannya hingga ia memilih untuk mengacaukan dapur miliknya.
"Mengingat aku yang tidak terlalu handal dalam memasak. Aku memilih memasak yang mudah saja. Satu bungkus spageti siap saji." Jawaban Kafka membuat keduanya tertawa bersama.
"Aaa." Kafka mengarahkan satu sendok pada Ava. "Ayolah!" paksa Kafka ketika Ava tak kunjung menerima suapannya. Jujur, Kafka merasa tersinggung.
Tak ingin mengecewakan Kafka yang telah berkorban dengan dapur, Ava pun menerima suapan itu. "Bagaimana?" tanya Kafka mengenai masakannya.
"Bagaimana pun hasilnya, yang namanya masakan tinggal matang rasanya, ya sama saja,” jawab Ava enteng tak menghiraukan raut wajah Kafka yang telah berubah.
"Setidaknya, pujilah sedikit karyaku ini, Va!" Ava tertawa melihat raut wajah dari Kafka. Sembari menepuk pelan pundak Kafka, Ava meminta maaf. "Sudahlah! Mari kita makan."
Kafka membawa dua piring masakannya pada meja makan. Dan dengan senang hati, Ava mengikutinya. "Makanlah, Va." Tanpa ragu pun Ava memakannya.
Selain perut yang memang terasa lapar, Ava juga tak ingin mengecewakan Kafka yang telah mau repot-repot memasak untuknya. Dengan begitu lahap, Ava memakannya hingga tandas. Tak peduli dengan sikap harus bersikap jaim di hadapan laki-laki. Toh ini Kafka. Sahabat sekaligus adik iparnya ini. Hingga suara tawa Kafka membuat Ava menautkan kedua alisnya. "Kenapa?"
"Kamu masih aja sama. Makan selalu berlepotan." Tangan Kafka terulur untuk membersihkan saus pada sudut bibir Ava. Saat itulah pandangan keduanya bertemu. Menatap bola mata satu sama lain. Menyelami pemandangan dari iris keduanya. Hingga tidak ada yang menyadari jarak wajah di antara keduanya mulai menipis. Deru nafas yang saling menerpa wajah keduanya tak menjadi pengganggu mereka. Suasana yang begitu dominan dan menguasai, membuat Ava memejamkan matanya tanpa komando. Hingga sesuatu kenyal itu telah menyatu tanpa halangan.
***
"Baiklah. Kita pulang dulu. Aku harap, kerja sama kita bisa berjalan dengan lancar, Yarendra." Bram dan keluarganya memutuskan pulang di sore hari.
"Semoga, Bram,” ucap Yarendra.
"Semoga niatan kita terlaksana ya Des," ucap Yanti Mamanya Zizi.
"Harus itu," jawab Desi dengan keyakinan. Sedangkan Zizi yang berada di samping mereka hanya tersenyum dengan merapalkan keinginannya dalam hati. Semoga memang terlaksana. Tasya menyenggol sedikit lengan Zizi yang sedari tadi menahan senyum malunya.
Setelah melepaskan pelukan mereka, Yarendra dan istrinya mengantarkan Bram beserta keluarganya sampai pintu depan rumah mereka. Tapi tidak dengan Rasya. Ia memilih tetap duduk di ruang keluarga dengan mengecek ponselnya. Memeriksa ada atau tidak panggilan dari sang istri.
"Rasya." Suara berat Yarendra yang memanggilnya mengalihkan perhatian Rasya dari ponselnya.
"Ada apa, Pa?"
"Ada apa?" Yarendra mengulang pertanyaan Rasya dengan mengangkat satu alisnya. "Kamu bilang ada apa? Kamu sadar nggak? Kalau hari ini kamu salah?" Meski tak ada nada tinggi dalam ucapan Yarendra, Rasya mengerti kalau saat ini Papanya tengah marah padanya.
"Maksud, Papa?" Tanya Rasya yang belum mengerti.
Tampak Yarendra menghela nafasnya dalam. Tak ingin sampai emosinya terluapkan. Selain akan mempengaruhi kesehatannya, menyelesaikan masalah dengan emosi pun baginya tidak benar. "Kamu tahukan kalau Ava sudah pulang?" Pertanyaan Yarendra di jawab anggukan oleh Rasya, "lalu kenapa kamu membiarkan dia pulang sendiri?"
Rasya pun mulai mengerti arah pembicaraan Papanya. "Ya, tadi, kan aku masih nemenin Tasya, Pa." Jawaban yang tidak dapat Yarendra terima.
"Sya. Kamu itu sekarang punya istri. Prioritas kamu itu istri kamu. Bukan teman kamu," ucap Yarendra mencoba memberi tahu putranya.
"Aduh. Papa ini gimana sih? Biarin ajalah. Rasya, kan memang udah lama nggak ketemu sama temennya. Emangnya salah kalau dia nemenin Tasya? Anggap aja reunian." Yarendra menggelengkan kepala tak habis pikir akan sikap istrinya yang masih membela kelakuan salah Rasya. Oh, bagaimana dia bisa lupa jika istrinya itu tidak menyukai Ava saat ini?
"Ma. Jelas itu salah. Boleh aja dia nemenin temannya. Tapi satu yang harus Rasya ingat. Dia sudah mempunyai istri. Kalau dia mau nemuin temannya, yang apalagi itu perempuan, setidaknya harus ada Ava, istrinya Rasya. Biar nggak terjadi hal yang nggak diinginkan. Ini malah, ngebiarin istrinya pulang sendirian. Coba kamu pikir bagaimana perasaan istri kamu, Sya?" Rasya tetap tak mampu menjawab ucapan sang Papa. Rasya hanya diam sembari mencerna ucapan Papanya yang menurut hati kecilnya memang benar apa adanya.
Sedangkan Desi yang mendengar suaminya membela Ava memutar bola matanya jengah. "Papa ini nggak usah mikir yang macem-macem deh. Meskipun itu yang sebenarnya Mama harepin,” ucap Desi dalam hatinya.
"Lagian Ava-nya juga nggak masalah, kok dia pulang sendiri."
"Dilihat nggak papa, Ma. Tapi hatinya, siapa yang tahu? Sekarang gini deh, Ma. Kita coba perumpamaan. Gimana kalau Mama ada di posisinya Ava? Dan Papa jadi Rasya yang lebih memilih menemani teman perempuan SMA Papa dulu dari pada nganterin Mama pulang? Gimana perasaan Mama?"
Mendengar ucapan suaminya, membuat mata Desi melotot. "Mama nggak akan biarin Papa. Mama bakalan seret Papa pulang," ucapnya dengan tangan bersedekap di depan d**a. Hal itu membuat Yarendra mengulum senyumnya.
"Nah, Mama nggak terima, kan? Itulah yang sebenarnya Ava rasakan." Desi merasa tertohok. Tak mampu lagi membalikkan ucapan suaminya. Sedangkan Yarendra yang sedari tadi memandang istrinya kini beralih memandang sang putra.
"Sekarang kamu pulang. Temui istri kamu. Minta maaf sama dia," ucapnya dengan nada datar dan tegas.
"Iya, Pa." Rasya segera menyalami tangan kedua orang tuanya dan segera berlalu untuk pulang menemui sang istri. Ahh, mungkin ia akan mampir ke suatu tempat untuk membelikan Ava sesuatu. Sebagai tanda permintaan maafnya.
Setelah Rasya berlalu, Yarendra kembali memandang sang istri. "Satu lagi, Ma. Apa maksud mama menjodohkan Kafka dengan Zizi?"
Tatapan Desi kini pun beralih pada sang suami. "Loh, emang salah? Zizi masih sendiri. Kafka juga masih sendiri. Apa salahnya kalau mama jodohin mereka?"
"Ma. Ini tahun 2019. Bukan jamannya Siti Nurbaya. Ngapain pakai acara jodoh-jodohin kayak gitu. Biarkan Kafka memilih calonnya sendiri." Desi yang mendengar itu menjadi marah. Dengan amarah yang sudah memuncak, Desi berdiri di hadapan suaminya yang membuat Yarendra harus mengangkat kepalanya untuk melihat sang istri.
"Udah deh, Pa. Mama nggak mau Kafka salah pilih istri. Cukup Rasya aja yang salah cari istri." Mendengar ucapan istrinya, Yarendra turut berdiri.
"Salah cari istri bagaimana maksud kamu?” ucapnya masih mencoba untuk menekan emosinya.
Desi kembali bersedekap d**a. "Iya. Salah cari istri. Cari istri kok mandul,” jawabnya dengan senyum meremehkan.
"Ava tidak mandul, Ma. Hanya belum dipercaya sama tuhan," bela Yarendra akan kondisi menantunya.
"Alah. Nggak usah membela menantu mandul itu lagi, Pa. Mama udah muak dengernya," ucap Desi mengibaskan tangannya di depan wajah mereka.
"Ma—"
"Udah deh, Pa. Setuju nggak setujunya Papa, Mama tetep mau jodohin Kafka sama Zizi. Karena mama juga pengen punya cucu," ucap Desi final. "Bahkan kalau bisa, mama juga mau jodohin Rasya sama Tasya."
Ucapan Desi mampu membuat Yarendra membulatkan matanya. "Astagfirulloh, Ma. Sadar, Ma,” ucapnya seperti seseorang yang merasa frustrasi.
"Terima nggak terima, Mama tetep bakal jodohin mereka." Setelah mengatakan hal itu, Desi meninggalkan suaminya yang menatap tak percaya pada dirinya. Ia hanya mampu menghempaskan tubuhnya pada kursi sembari memijit keningnya. Tak kuasa melihat tingkah istrinya.
***
Dua benda kenyal itu masih saling bersilat. Beradu dalam decapan kepuasan. Saling menggigit kecil. Memberi kenikmatan melalui tukaran salifa.
"Enghhh." Erangan milik sang wanita membuat sang lelaki tersenyum dalam pagutannya. Dengan pasti ia mulai membawa tangan sang wanita melingkari lehernya. Merapatkan duduk di antara keduanya. Meremas pelan pinggang sang wanita.
Terlepasnya tautan yang sedari tadi menyatu, meninggalkan deru napas yang memburu. Pengaturan napas yang saling memburu dalam keadaan kening yang masih menyatu. Kedua sudut bibir mereka tertarik untuk membentuk seutas senyuman di sela deru nafas. Kilatan cahaya mata yang menampakkan gairah. Berkobar seakan sama-sama menginginkan.
"I love you," ucap parau sang lelaki.
"I love you to," balas sang wanita lirih membuat sang lelaki kembali menarik senyuman di bibirnya. Tak ingin membuang waktu. Ia mulai kembali menyatukan bibirnya. Kembali melumat dan mengeksplornya. Ciuman itu kini beralih pada leher jenjang nan putih. Memberi hiasan dengan warna keunguan.
Tak ingin menyia-nyiakan suatu hal, tubuh kokoh itu mulai membopong tubuh mungil cantik itu. Membawa tanpa melepas pagutan bibir mereka. Menempatkan pada tempat empuk yang tak jauh dari mereka. Merebahkan tubuh b*******h pada sofa.
Masih dengan penyatuan bibir, tangan mulai berlaku nakal. Mulai meneliti setiap kancing yang ada. Membuka satu persatu melepas halangan. Membuang semua serat kain yang menutupi halusnya porselen. Dua tubuh, telah polos.
"May i?" tanya sang lelaki dengan suara parau yang telah b*******h. Meminta perizinan atas jamahan yang akan ia laksanakan.
"Do it." Setarik senyuman saat mendengar jawaban pasti. Membuatnya semakin yakin akan hal pasti. Mulai memosisikan diri, mencoba untuk melakukan dengan hati-hati.
“Kafka, Kaf, Kafka!" Kibasan tangan dan panggilan keras menyadarkan lamunan Kafka. Membuatnya mengerjapkan mata beberapa kali. "Udah bersih belum?" Oh tidak. Apa yang kau pikirkan Kafka? Kau baru saja—
Dengan gerakan cepat Kafka melepaskan jari dari sudut bibir Ava. "Udah. Udah nggak cemong lagi," ucap Kafka yang sudah kembali dalam kesadarannya. Ava yang tak tahu apa yang terjadi pada Kafka kembali memakan spagetinya. Tak melihat Kafka yang dalam keadaan tersiksa.
Kafka yang baru saja menyadari hal apa yang terjadi menggeram dalam hatinya. Ia menggelengkan kepala atas khayalannya. Shitt. Membayangkannya saja membuat adik kecilnya benar-benar berdiri. Membuatnya terasa sesak di bawah sana. Kepala Kafka benar-benar terasa pusing.
Penuntasan. Ya. Ia butuh penuntasan. Mencari alasan, Kafka melihat jam yang melingkar di tangannya. "Va. Aku pergi dulu, ya. Kamu nggak papa, kan sendiri di rumah?" Ava mengangguk.
"Kamu yakin?" tanya Kafka meminta kepastian. Ava menjawabnya dengan anggukan lagi dan senyuman. "Ya sudah. Sepertinya aku bisa terlambat jika tidak bergegas. Aku harus pergi. Jaga diri baik-baik," wanti Kafka terhadap Ava.
"Ck. Ucapanmu seperti akan terjadi sesuatu saja padaku."
"Ya. Aku hanya ingin kamu berhati-hati." Setelah mengatakan itu, Kafka segera mengecup kening Ava dan berlalu dari hadapan Ava. Jika tidak, Kafka tidak bisa memungkiri apa yang baru saja ia khayalkan akan benar-benar ia lakukan. Melihat tingkah Kafka, membuat Ava menggelengkan kepalanya. Kafkanya memang tak pernah berubah.
Kafka menutup pintu mobilnya dengan keras. Segera melajukan mobilnya ke tempat yang ia inginkan. Saat mobilnya mulai berjalan, Kafka mencoba menghubungi seseorang melalui sambungan bluetooth ponselnya.
"Kau dimana?" tanya Kafka pada seseorang di seberang sana.
"Aku akan ke sana. Dan, siapkan satu untukku." Memutuskan panggilannya, Kafka segera melajukan mobilnya ke tempat orang yang baru saja ia hubungi. Ingin segera menyelesaikan segalanya.
Tak membutuhkan waktu lama untuk Kafka sampai di tempat itu. Setelah memarkirkan mobilnya, Kafka segera memasuki lift untuk menuju ke lantai 7. Dengan mengetukkan sepatunya pada dasar lift, Kafka menunggu lift sampai dengan rasa gusar. Kafka segera mencari apartemen yang tak lain milik temannya. Tanpa mengetuk pintu, Kafka memasukinya begitu saja.
Kafka memutar bola matanya jengah saat ia disuguhi pemandangan ketika memasuki apartemen itu. Menyebalkan. rutuknya dalam hati. Si pemilik apartement, tengah b******u dengan seorang wanita yang dalam keadaan setengah telanjang.
"Tidak adakah kamar kah di apartement ini?” Suara Kafka menghentikan kegiatan dua manusia di atas sofa. Membuat si laki-laki mendengus kesal akan kehadiran Kafka.
"Kau ke kamarlah dulu, Baby." Setelah memberikan kecupan kilat pada bibir lelaki itu, si wanita berlalu begitu saja ke dalam kamar. Tak mempedulikan keadaan tubuhnya yang akan bisa di lihat oleh Kafka.
"Kapan kau sampai di Indonesia, Kaf?" tanyanya sembari bertukar kepalan tangan dengan Kafka.
"Tadi malam,” jawab Kafka singkat. "Mana pesananku, Ziq?" tanya Kafka tanpa basa basi. Ya, yang di hubungi Kafka sebelumnya adalah Ziqri. Teman Kafka yang membantunya pada kejadian lima tahun lalu.
"Hey, kau baru memesannya dude. Dia belum datang. Tunggulah sebentar lagi.” Jawaban Ziqri membuat Kafka mendesah keras. Sepertinya penuntasannya akan tertunda sebentar. "Kau sepertinya terlihat frustrasi sekali, Kaf. Apa yang terjadi?”
"Kau tahu? Aku mengantarkan Ava pulang. Saat kita makan, aku membersihkan bibirnya dari saus," ucapnya terhenti.
"Lalu?"
"Aku sudah membayangkan s*x dengannya hanya karena memegang bibirnya." Jawaban Kafka Membuat Ziqri tertawa hingga terpingkal-pingkal. Membuat Kafka memandang Ziqri dengan tatapan dinginnya. "Diamlah! Brengs*k."
Mendengar nada tegas dari Kafka membuat Ziqri mau tidak mau harus menghentikan tawanya. Jika tidak, ia harus menerima kepalan tangan dari Kafka. "Kenapa tidak kau wujudkan saja? Ava sudah ada di depanmu. Kenapa kau harus jauh-jauh datang kesini untuk memesan seorang jalang?"
"Sialan. kau ingin Ava membenciku?" tanya Kafka dengan tatapan yang mengerikan.
"Ok. Ok. Kau mengatasnamakan cinta dalam urusan Ava." Melihat tak ada respon dari Kafka, membuat Ziqri mencebikkan bibirnya. Tak lama, suara pintu apartemen milik Ziqri terketuk. Merasa tahu siapa yang datang, Ziqri pun dengan segera membukakan pintu.
Kafka hanya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sembari memejamkan matanya. Masih menahan sesuatu yang bergejolak di bawah sana. Hingga kedatangan Ziqri membuatnya membuka matanya kembali.
"Pesananmu dude,” ucap Ziqri dengan menunjuk wanita dengan pakaian minim di sampingnya.
Dengan satu lambaian tangan, wanita itu pun mendatangi Kafka dan duduk di pangkuannya. Tanpa di minta, wanita itu mulai memberi sentuhan-sentuhan pembangkit panas pada rahang Kafka. Melihat itu adalah hal biasa, Ziqri hanya memutar matanya malas. "Lanjutkan saja dude. Jika butuh kamar, kau tahu tempatnya." Selesai mengatakan itu, Ziqri berlalu masuk pada salah satu kamar. Mungkin, meneruskan hal yang sempat Kafka kacaukan.
Sedangkan Kafka yang masih menikmati belaian wanita di hadapannya, tampak menikmati setiap sentuhan wanita di pangkuannya. Ingin menuntaskan sesuatu yang menyiksanya akibat ulah Ava. Ulah Ava? Hey, pikiranmu saja yang kotor Kafka.
Tak ingin berlama-lama, Kafka segera menyeret wanita itu pada salah satu kamar dengan sedikit kasat. Mendudukkan dirinya kembali pada sofa di dalam kamar. "Kau yang bekerja,” titah Kafka tak mendapat bantahan sedikit pun. Dengan cekatan wanita yang Kafka bawa bekerja sesuai dengan keinginannya. Kafka cukup puas dengan kerja wanita di hadapannya.
Hingga ringisan dan erangannya keluar tak terduga. Menanti datangnya hal yang telah hampir sampai di ujung kepala. Meremas rambut wanita yang bekerja di bawahnya, meski bayangan wajah cantik lain di kepalanya. Hingga sesuatu itu tiba di depan mata.
"Ava." Nama cantik itu tetap yang ia sebut.
***
Rasya menuruni mobilnya setelah ia memarkirkannya di dalam garasi. Dengan gerakan pelan, Rasya membuka pintu kamarnya. Di sana, seorang bidadari berdiri di depan almari. Bidadari cantik yang tengah membelakanginya hanya dengan balutan handuk yang melilitnya. Sepertinya, sang istri baru saja selesai mandi. Ingin memberi kejutan, Rasya melangkah dengan pelan mendekati tubuh indah milik sang istri.
"Kamu sudah pulang?" Suara halus Ava menghentikan gerakan tangan milik Rasya. Membuat Rasya mengembuskan napas kesalnya. Dan hal itu, membuat Ava berbalik menghadapnya sembari menahan senyum. "Kamu tidak bisa mengejutkanku."
Dengan tawanya, Rasya mulai merengkuh tubuh istrinya. Satu kecupan manis Rasya berikan pada pucuk kepala Ava. "Ini untukmu." Rasya memberikan bunga yang memang sengaja ia bawa.
Ava menerima bunga itu dengan senyum manisnya. "Maafkan aku," ucap Rasya yang kini memberi kecupan pada kening Ava. "Maafkan aku karena telah membiarkanmu pulang sendiri dari rumah Mama,” ucapnya penuh sesal dengan memeluk erat tubuh Ava.
Ava yang mendengar ucapan maaf dari Rasya, membuat ia tersenyum dalam pelukan Rasya. Dengan mengangguk pelan, tanda Ava memaafkan Rasya. "Terima kasih," ucap Rasya masih dalam memeluk Ava.
"Ya sudah. Mandi sana! Kamu bau," ejek Ava pada Rasya.
"Bau eh? Ingat kamu. Setelah mandi nanti, habis kamu!" Keduanya sama-sama tertawa. Suara tawa bebas mengiringi langkah Rasya yang memasuki kamar mandi. Begitu mudah masalah mereka terlupakan.