Should I Thank You / Part 2

3622 Kata
Should I Thank You? chap // 2 *** Tak ada obrolan yang berarti di dalam mobil hitam milik Rasya yang tengah melaju itu. Bukan karena adanya pertengkaran, namun karena masing-masing yang berkelit dalam pemikiran mereka. Rasya yang fokus terhadap kemudinya, sedangkan Ava masih memikirkan hal apa yang akan ia dapatkan nantinya di rumah sang mertua. Hari ini adik Rasya yang juga sahabatnya pulang setelah lima tahun menatap di London. Bahagia? Tentu saja. Akan tetapi hati Ava ikut terganjal kala ia tak akan hanya bertemu dengan Kafka. Melainkan ia juga akan bertemu ibu mertuanya. Ah, mengingat itu membuat Ava merasakan tidak nyaman dalam duduknya. Asyik bergelut dengan pemikirannya, Ava tidak menyadari jika mobil yang dikendarai suaminya telah berhenti. "Sayang," panggil Rasya. Panggilan itu membuat Ava tersadar dari lamunannya. Ia menatap Rasya dengan tatapan bertanya. Rasya menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Tangan kirinya terulur untuk membelai sayang kepala Ava. "Ayo turun." Mendengar ajakan suaminya, tak lantas membuat Ava turun. Ava malah mengedarkan pandangannya keluar kaca mobil, dan benar saja. Mereka kini telas sampai di depan rumah yang sebenarnya tak ingin Ava kunjungi. Katakanlah Ava ini menantu durhaka. Tapi Ava masih ingat betapa sakit hatinya saat berbagai ucapan-ucapan yang dilontarkan mertuanya mengenai kekurangan dirinya. "Sayang, ayo!" Ava menarik napas dalam sejenak. Menutup mata dan membuang napas perlahan. Hanya untuk mencari kekuatan sebelum berperang. Ya, berperang untuk menguatkan telinganya akan kalimat-kalimat tajam dari ibu mertuanya. Hal itu tak luput dari pengamatan Rasya. Dengan sigap, Rasya menggenggam tangannya. "Semuanya akan baik-baik saja." Mendengar kalimat semangat dari suaminya, membuat Ava tersenyum sejenak. Segera membuka pintu mobil untuk turun bersama suaminya. Dengan tangan yang berkeringat, Ava menggenggam tangan Rasya dengan kuat. Rasya mencoba memberi ketenangan pada sang istri dengan mengelus pelan punggung tangan istrinya. "Rasya!" Baru saja mereka memasuki pelataran rumah, suara mertua Ava terdengar. Terlihat Desi yang tak lain mamanya Rasya yang berlari menuju keduanya. Dengan senyuman yang merekah, keduanya berpelukan. "Akhirnya kamu datang juga. Mama udah kangen sama kamu." Setelah pelukan keduanya terlepas, tatapan mertuanya kini beralih padanya. "Kalian datang cuma berdua?" Mamanya Rasya bertanya dengan meneliti tubuh Ava dari atas hingga bawah. Tak perlu di perjelas apa maksud dari ucapan mertuanya, Ava mengerti arah pembicaraannya. Namun, tidak dengan Rasya. "Memangnya mau sama siapa lagi, Ma?" jawab Rasya dengan tawanya. Sama sekali tak menyadari raut wajah Ava yang sudah merasa tegang dengan menggigit bibir bawahnya. "Mama pikir sama calon anak," ucap Mamanya Rasya sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan memasuki rumahnya. Saat itulah Rasya mengerti apa yang di maksud mamanya. Menarik nafas dalam, Rasya melihat istrinya yang berada di sebelahnya. Sungguh tak terduga, Ava malah menampakkan senyum manis padanya. Rasya tahu, di balik senyum istrinya itu, tersimpan luka yang mendalam. "Maaf in Mama, ya, sayang." Rasya berucap dengan penuh penyesalannya. Begitu besar hati milik istrinya ini. Ava berusaha tetap tersenyum meski hatinya terasa sakit. Apa lagi saat sang suami mengucapkan maaf dengan wajah penyesalannya. Meski suaminya tahu itu bukanlah salahnya. "Nggak papa," jawab Ava lirih. Setelah memberi kecupan pada kening istrinya, rasya menggandeng tangan sang istri untuk memasuki rumah orang tuanya. "Assalamualaikum." Ava dan Rasya mengucapkan salam saat memasuki rumah. Seorang pria paruh baya menyambut kedatangan mereka dengan merentangkan kedua tangannya. Ia adalah Papanya Rasya. Ava masih bisa merasa lega. Meski sang ibu mertuanya telah berubah sikap pada dirinya, Papa mertuanya tetap menyayanginya. Sama seperti dulu saat ia belum menjadi istrinya Rasya. "Papa." Ava memeluk Papa mertuanya dengan sayang. Menumpahkan rasa rindunya pada pelukan itu. Keduanya pun turut bergabung untuk duduk bersama. "Kafka mana, Pa?" "Aku di sini kak." Belum sempat Papa menjawabnya, suara berat terdengar dari arah tangga. Seorang pemuda yang sangat tampan tengah berdiri di tengah-tengah tangga. "Kakakku sayang." Sembari melangkah lebar, pemuda tadi melangkah mendekati sang kakak. Memeluknya erat untuk menumpahkan rasa rindu akibat bertahun-tahun tak bertemu. "Apa kabar, Kafka?" pemuda tampan itu adalah adik Rasya. Razali Kafka Yarendra. Adik yang selama 5 tahun tidak ia temui. "Baik Kakak," jawabnya setelah ia melepas pelukan sang kakak. Tatapannya sekarang beralih pada wanita cantik yang ada di dekat kakaknya. Siapa lagi jika bukan Ava istri sang kakak. Ah wanita ini. Selalu terlihat cantik. Apa lagi dengan senyuman yang ia tampilkan. "Ah, Kakak Ipar mungilku," ucapnya sembari memeluk istri sang kakak. Memeluk wanita yang ia cintai. Yang ia cintai dalam diam. Yang ia cintai di belakang kakaknya. "Ih, Kafka." Begitulah Ava. Di hadapan Kafka, tanpa beban ia menunjukkan sikap manjanya. Kafka pun tanpa risi selalu menerimanya. Karena itu telah menjadi kebiasaan Ava pada Kafka. "Papa," rengeknya terdengar. Membuat semua yang di sana tertawa. Kecuali Mama mereka. "Kaf. jangan kamu goda terus kakak iparmu itu,” ucap Yarendra. "Tak apalah, Pa. Sudah lima tahun aku tak menjailinya. Bukan begitu, Kakak?" Kafka bertanya pada sang Kakak seolah-olah meminta izin. Oh Kafka. Kau meminta izin pada Rasya untuk menjaili Ava? Benarkah? Tapi kenapa kamu tak meminta izin saat kamu membobolnya untuk yang pertama? "Ya. Ya. Ya. Terserah. Kalian selalu seperti itu." Rasya menjawabnya mudah yang membuat Ava mengerucutkan bibirnya. "Iya kakak. Selalu seperti ini. Begitu pun perasaanku yang masih sama.” Ucapan itu Kafka lanjutkan dalam hatinya. "Jadi, Kaf, kau sudah siap untuk memimpin perusahaanmu?" "Seperti yang kau lihat, Kakak." Kafka berucap dengan membentangkan tangannya. Ingin memperlihatkan bahwa ia telah siap dalam segala hal. Untuk memimpin perusahaan, ataupun memperjuangkan cintanya. "Oh ya. Ngomong-ngomong, mana anak kalian? Kalian tidak mengajaknya kesini?" raut wajah bahagia yang sebelumnya terlihat dari wajah Ava, kini berubah menjadi awan mendung. "Gimana mau punya anak, kalau istrinya aja mandul?" belum sebuah pertanyaan dari Kafka yang membuat hati Ava gelisah, ucapan Mama mertuanya semakin membuat hatinya terasa nyeri. Rasya yang berada di sampingnya hanya bisa menggenggam tangan istrinya. Ingin melawan pun, Rasya tak ingin keadaan menjadi lebih rumit. Apa lagi jika harus merusak hari penyambutan sang adik. "Ma. Ava tidak mandul. Ava itu sehat," bela Yarendra. Hal inilah yang membuat Ava masih bisa mendatangi rumah ini. Semua karena Papa mertuanya. Papa mertua yang tidak menganggapnya menantu. Papa mertua yang lebih menganggapnya seperti anak sendiri. "Sehat gimana? Kalau benar sehat, pasti mereka sudah punya anak." Ava semakin mencengkeram ujung dresnya dengan kuat. Ok. Ava mulai mengerti keadaan saat ini. "Be.." "Ok. Ok. Ok. Kita lupakan." Kafka menghentikan Papanya sebelum berucap. Tak ingin pula keadaan menjadi lebih panas. "Mendingan kita makan sekarang. Kafka sudah lapar." Kafka mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tak ingin wanita yang ia cintai semakin terluka dengan ucapan mamanya. "Sebentar Kafka. Kita masih nungguin yang lain," jawab Mamanya dengan tanpa mengalihkan tatapannya dari majalah yang ia pegang. "Yang lain? Siapa, Ma?” Ali menaikkan satu alisnya. "Temennya Mama sama Papa," jawab Mamanya. Saat itulah, mamanya menutup majalah yang tengah di pangkunya. Beralih menatap penuh pada Kafka. "Mereka punya putri yang juga belum nikah loh, Kaf. Dia cantik banget. Mama mau kenalin kamu sama dia." Ali memutar matanya malas saat ia menyadari maksud dari mamanya. "Mama mau jodohin aku?" Tunjuk Kafka pada dirinya. "Oh come on, Ma. Seriously?" "Kenapa enggak?" "Ma, Kafka ini tampan loh, Ma. Masak mau dijodohin? Enggak ah. Kafka mau cari sendiri aja." Tidak, Kafka tidak akan membiarkan hal ini. Kafka hanya ingin menikah dengan wanita yang ia cintai. Yaitu Ava. Bagaimana pun caranya. "Kafka. Anak Mama tinggal kamu aja, ya yang masih sendiri. Mama mau nyari yang terbaik untuk kamu. Dan terutama. Yang. SEHAT. Biar Mama bisa punya cucu." Desi sengaja menekan kata sehat bermaksud untuk menyindir. "Assalamualaikum." belum sempat Kafka membalas ucapan Mamanya, suara kedatangan seseorang menghentikannya. Melihat siapa yang datang, Mama dan Papanya langsung berdiri untuk menyambut tamunya. Terlihat sepasang paruh baya yang diyakini adalah sepasang suami istri dan seorang gadis yang diyakini putri dari pasangan tadi. "Ah Zizi, tambah cantik aja," puji Desi pada gadis itu sembari memeluknya. "Tante bisa aja," ucapnya dengan malu-malu. Tatapan mamanya kini beralih pada Kafka. "Gimana, Kaf, cantik, kan?” "Lumayan." Kafka yang tadinya bersikap ramah, kini kembali memasang wajah dinginnya. Begitulah Kafka. Bersikap tak acuh pada orang yang di anggapnya tak penting. Membuat Mamanya merasa tak enak hati. "Maafin Kafka, ya, Sayang. Dia emang gitu kalau sama orang yang belum ia kenal. Tapi sebenarnya ia baik kok." "Nggak papa Tante. Mmmm Tante. Sebelumnya maaf. Tadinya, ada temen Zizi yang nginep di rumah Zizi. Jadi, Zizi ajak kemari. Nggak papa kan Tante?" "Nggap papa sayang. Terus, temen kamu mana?" "Masih di luar Tante. Sebentar lagi juga, pasti masuk." "Maaf." sebuah suara dari arah pintu lagi-lagi membuat semua orang memandang ke arah pintu. Sosok gadis dengan rambut panjang dan badan tinggi berdiri di sana. "Tasya?" *** "O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama nggak pernah tahu, ya?" Suara Desi terdengar begitu antusias dalam berucap. Saat ini, Rasya, Desi, tamunya dan dua wanita cantik tengah berkumpul di ruang keluarga. Ava? Jangan tanyakan dia dimana. Karena 1 akan selalu melakukan hal yang tak membuat ia mendapatkan kata-kata menyesakkan dari mertuanya. Dengan kata lain, menghindari sang ibu mertua. Sedangkan Kafka, ia mengikuti Papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya. Katanya, ingin membicarakan pekerjaan Kafka. "Cantik ya, Sya? Kenapa bisa kamu dulu nggak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari mamanya Rasya. Merasa tidak enak dengan ucapannya. Bagaimanapun juga, gadis itu mengetahui kalau Rasya sudah memiliki istri. Bagaimana jika istrinya mendengar nanti? "Mama nggak tahu aja. Dia itu murid paling cantik di sekolah. Banyak yang ngejar-ngejar dia. Mana mungkin dia mau sama Tasya?” ucapan itu diiringi dengan tawa menggelegar dari Rasya. "Oh ya?" tanya Desi. "Cocok sih memang. Terus, selama ini kamu kuliah dimana?" "Sebenarnya satu univ sama Rasya Tante. Cuma, pas waktu semester 2, saya harus ikut Papa pindah ke Belanda." "Coba aja saya kenal kamu udah lama. Pasti kamu sekarang sudah jadi menantu saya." Desi berucap dengan tawanya. Seolah berkata seperti itu tidak akan ada yang terluka. Mereka melanjutkan obrolan mereka di ruang tengah. Melanjutkan rencana Desi dimana anak dari temannya yang bernama Zizi ingin ia jodohkan dengan Kafka. Dan mungkin, satu rencana lagi telah ia susun dalam otaknya. "Rasya. Ajak keliling rumah gih, Tasyanya." Mendengar usulan dari Desi membuat Tasya semakin merasa tidak enak. Namun tidak dengan Rasya. Dengan senang hati ia menerima tawaran dari mamanya dan segera mengulurkan tangannya pada Tasya. "Ayo Tasya, nggak Papa." Desi tersenyum kala melihat putranya mengulurkan tangan pada Tasya. Rasya menarik tangan Tasya saat wanita itu tak kunjung menerima uluran tangannya. "Zizi nunggu Kafka aja." Wanita yang bernama Zizi itu pun hanya tersenyum dan mengangguk. *** Ava masih berada di dapur dengan seorang pembantu yang bernama Bi Rumi yang menemaninya. "Kenapa Neng Ava nggak ikut kumpul yang lain aja?" Bi' Rumi yang sedari tadi diam kini mengutarakan pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan. Meski seperti biasa, entah kenapa Bi Rumi tidak suka jika nyonya mudanya membantunya hari ini. "Bukannya memang seperti ini, ya, Bi jika Ava ke sini?” jawab Ava tanpa mengalihkan pandangannya. "Iya sih, Non. Tapi kan hari ini ada tamunya ibu juga, emang ibu nggak ngenalin Non ke temannya?" Ava mengerti akan maksud dari ucapan dari pembantu di sampingnya. Menghela nafas sedikit, Ava melihat sang pembantu yang masih tetap memandangnya. "Itu nggak akan pernah terjadi Bi. Bibi kan tahu mama kayak gimana sama Ava?" raut kesedihan kini muncul dari wajah Ava. Bi' Rumi yang mengerti keadaan nyonya mudanya pun menggenggam tangan Ava. "Yang sabar, ya, Non." Ava tersenyum dan melanjutkan membantu mencuci piring. Ava mengeringkan tangannya dengan sebuah kain bersih yang baru saja di berikan oleh Bi' Rumi. Ava aat selesai, Ava bergegas untuk menemui sang suami yang tadinya tengah berkumpul dengan ibu mertua dan juga tamu dari ibu mertuanya. Dan jangan lupakan Zizi wanita cantik yang akan di jodohkan oleh Kafka. Mengingat itu, senyum Ava terbit begitu saja. Sang sahabat kini akan mempunyai pasangan. Ia berharap, Kafka bisa bahagia dengan wanita pilihan mamanya. Senyum yang sebelumnya terbit kini hilang begitu saja. Saat Ava mengingat bahwa masih ada satu lagi wanita yang berada di sana. Wanita yang bernama Tasya yang tak lain adalah teman suaminya sejak SMA yang harus terpisah sejak kuliah karena wanita yang bernama Tasya itu harus pindah ke luar negeri. Ava masih mengingat betul wajah bahagia sang suami saat melihat wanita itu. Dan tanpa ragu pun, Rasya menyambut wanita itu dengan pelukan hangat. Sempat terbesit dalam pikiran Ava bahwa keduanya sempat memiliki hubungan dulunya. Namun kembali lagi. Sifat Ava yang memang tidak berpikir negatif pada orang lain, membuat ia membuang pikiran yang menurutnya akan menjadi masalah di antara hubungannya dengan sang suami nantinya. Jika memang benar suaminya dulu memiliki hubungan dengan gadis yang bernama Tasya, Ava hanya berusaha berpikir positif. Itu dulu. Dan sekarang, Rasya telah menjadi suaminya. "Rasya, ajak keliling gih, Tasyanya.” Ava mendengar jelas suara mama mertuanya. Ava dapat melihat suaminya Rasya yang menarik tangan Tasya. Entahlah, melihat hal itu, Ava tak dapat melakukan apa-apa. Ava hanya berdiri mematung dibalik dinding tanpa bisa mencegahnya. "Emang istrinya nggak marah, Des kalau Rasya ngajak Tasya keliling rumah?” pertanyaan dari teman mertuanya membuyarkan lamunan Ava akan sikap Kafka pada teman lamanya. "Biarin aja marah. Kalau perlu nih, ya Sampai berantem terus cerai." Sungguh menyakitkan ucapan mertuanya. Dengan begitu mudah dan lantangnya ia menyampaikan keinginannya pada temannya. Seolah perceraian dari putranya bukanlah hal yang memalukan jika memang terjadi. "Baru kali ini loh, Des. Aku lihat orang tua pengen anaknya bercerai." Ucapan itu di sertai senyuman yang terkesan mengejek bagi Ava. Namun tidak bagi sang mertua. "Orang tua mana yang nggak ingin anaknya bercerai Kalau menantunya nggak bisa kasih cucu? Aku kan juga mau nimang cucu," jawabnya dengan lugas dan lancar. Kentara sekali akan ke tidak sukaannya pada Ava. Mendengar hal itu, air yang sedari menggenang di pelupuk mata Ava pun mulai luruh. Sembari menekan kuat dadanya, Ava menahan sesak yang mulai terasa. "Emang, beneran menantu kamu nggak bisa kasih cucu?” Pertanyaan dengan nada suara mengejek pun mulai terdengar kembali. "Iya. Udah lima tahun berumah tangga tapi belum punya anak juga. Kalau nggak mandul apa coba." Tatapan Desi kini beralih pada gadis yang bernama Zizi. Gadis yang tak lain putri dari teman yang duduk di depannya kali ini. Tangan Desi terulur untuk menggenggam tangan Zizi. "Tapi, kayaknya sebentar lagi aku bisa nimang cucu. Kalau anakmu ini, mau nikah sama Kafka,” ucapnya dengan senyum merekah. "Nah, kalau Kafka udah punya anak dengan Zizi, pasti Rasya nanti iri kan sama Kafka. Jadi, aku mau deketin Rasya sama Tasya dari sekarang. Siapa tahu mereka bisa nikah dan punya anak." Cukup. Ava tak mampu lagi mendengar ungkapan dari ibu mertuanya. Tak ingin sakit lebih dalam akan ucapan mertuanya, Ava dengan segera meraih tasnya yang terletak tidak jauh dari keberadaannya. Ingin segera mengajak suaminya pulang. Namun, hal tak terduga kembali terjadi. Saat Ava mencari suaminya Rasya, Ava melihat Rasya dan Tasya tengah asyik mengobrol di taman belakang rumahnya dengan tawa lepas. Tawa begitu meriah terdengar dari keduanya. Seakan Rasya bukanlah seorang suami. Air mata Ava semakin deras kala melihat suaminya begitu perhatian terhadap gadis yang saat ini tengah bersamanya. Tanpa beban Rasya menggandeng tangan milik Tasya saat berjalan. Dan sesekali menatap dengan tatapan yang mampu Ava artikan dengan tatapan memuja. Memejamkan mata, Ava berusaha menghalau rasa sesak yang kian menyiksa. Memutuskan untuk pulang sendiri tanpa sang suami. Ava menghentikan langkahnya sejenak saat ia sampai di ruang keluarga. "Ma. Ava izin pulang dulu ya?” meskipun ucapan mertuanya sering menyakiti hatinya, Ava masih mempunyai sikap sopan santunnya. Seperti saat ini. Ia masih menghormati mama mertuanya dengan meminta izin saat akan meninggalkan rumah mertuanya. Dengan tatapan sinisnya, Desi memandang Ava. Seolah ia bukanlah siapa-siapanya. "Pulang? Ya udah pulang sana. Tapi bisa sendiri kan? Rasya masih Mama suruh nemenin Tasya soalnya." Ava hanya bisa mengangguk mendengar ucapan ibu mertuanya. Tak ingin ada tambahan yang akan menyakitinya lagi, Ava pun dengan segera ingin berlalu. "Loh sayang. Kamu mau ke mana?" Ava menghentikan langkahnya saat ia mendengar sang suami yang tiba-tiba bertanya. Ava memejamkan mata dan menghembuskan nafas leganya saat ia mendengar suara itu. Baru saja Ava ingin menjawabnya, namun ibu mertuanya telah lebih dulu bertanya pada Rasya. "Tasyanya mana, Sya?” Ava hanya mampu menggigit bibir bawahnya. "Masih di taman. Tadi aku mau ambilin dia minum." Tatapan Rasya kini beralih pada Ava. "Kamu mau ke mana sayang?" "Aku mau pulang, Mas" jawab Ava lirih. "Kok nggak bilang?" Tak menjawab pertanyaan Rasya, Ava hanya mampu diam. Tidak mungkin jika ia akan menjawab "Aku tidak ingin mengganggu waktumu dengan Tasya." "Ya udah. Aku antar kamu pulang." "Emangnya kamu sudah selesai mengajak Tasya keliling, Sya?" Pertanyaan dari Mamanya menghentikan langkah Rasya yang akan menghampiri Ava. "Belum sih, Ma," jawab Rasya singkat. "Ya lanjutin dong. Kasian, kan Tasyanya. Lagian Ava tadi juga mau pulang sendiri. Ya kan, Va?" Mau tak mau pun, Ava hanya mengangguk. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Ava sangat berharap kalau suaminya akan menolak keinginan dari mana mertuanya. "Kamu nggak papa, Va pulang sendiri?" Napas Ava tercekat kala mendengar pertanyaan suaminya. Dari pertanyaannya saja, Ava yakin jika suaminya akan menuruti keinginan mamanya. "Bisa, Mas." "Kalau gitu, aku di sini dulu, ya. Kamu hati-hati pulangnya." Bak di hantam batu besar, keputusan Rasya begitu menyakitinya. Meski Rasya sempat memberi pelukan dan kecupan kecil di keningnya, rasa sakit itu malah lebih terasa. Rasya, suaminya. lebih memilih untuk menemani temannya dari pada mengantarnya pulang. Ava dapat melihat jelas senyum kemenangan yang terukir dari bibir mertuanya. Dengan menahan tangisnya, Ava mulai melangkah keluar dari rumah mertuanya. Dengan sesekali menghapus aliran air matanya yang entah kenapa tidak juga mau berhenti mengalir. Ava memutuskan untuk mencari taxi dengan jarak yang cukup jauh dari rumah mertuanya. Karena ia tak ingin terlihat lemah oleh penghuninya. *** Kafka meninggalkan ruang kerja Papanya. meninggalkan sang Papa dan temannya. Ingin segera melihat wajah wanita pujaannya. Matanya, hidung mungilnya, bibir tipisnya, senyum manisnya, ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Kafka hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum dengan menuruni tangga. Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, Kafka pun memutuskan untuk mengejarnya. Langkah Kafka turut terhenti kala melihat Ava yang tiba-tiba saja berhenti dan mematung di tengah pintu penghubung rumah dan pintu belakang. Merasa penasaran, Kafka pun mencoba mencari tahu. Di sana, Kafka dapat melihat sang Kakak bersama dengan wanita yang ia tahu adalah teman kakaknya dulu. Kafka pun tak merasa heran mengapa Ava menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Karena Kafka tahu, Ava pasti merasa sakit hati saat melihat kakaknya saat ini. Apalagi, kakaknya bersikap terlihat begitu mesra dengan wanita yang Kafka ketahui bernama Tasya. Melihat hal itu, entah kenapa Kafka tak merasa kasihan pada Ava. Yang ada, Kafka malah merekahkan senyumnya. Katakanlah Kafka sinting. Karena lebih suka melihat Ava seperti ini. Syukur-syukur kalau Ava sampai membenci Rasya. Saat melihat Ava berbalik, dengan segera Kafka menyembunyikan tubuhnya. Kafka bisa melihat jelas Ava yang berusaha menghilangkan tangisnya. Tak tinggal diam, Kafka tetap mengikutinya. Kafka dapat melihat Ava yang saat ini tengah berpamitan pada ibunya. Kafka yang sebelumnya tersenyum, kini nampak mengepalkan kedua tangannya saat ia melihat sang kakak yang dengan bodohnya malah memilih untuk tetap tinggal dari pada mengantarkan Ava untuk pulang. Kafka memang senang saat melihat Rasya dan Ava jauh. Tapi, jika melihat raut wajah Ava yang terluka. Sungguh, ia pun merasa ikut tersakiti. Kafka tahu, pasti saat ini pasti Ava merasa terluka. Dengan langkah santainya, Kafka berjalan ke arah ruang keluarga. "Ma. Kafka mau ketemu teman dulu." "Eh, kok pergi. Temani Zizi dong, Kaf." Desi yang melihat putranya akan keluar rumah, mencoba membujuk Kafka untuk tetap tinggal. "Maaf, Ma. Kafka udah janji sama teman Kafka," jawabnya dingin. "Ya udah. Kamu ajak saja Zizi." Kedua tangan Kafka yang masih berada di saku celananya terkepal melihat kegigihan ibunya untuk menjodohkan ia dengan wanita bernama Zizi. "Semua teman Kafka laki-laki, Ma. Jadi aku nggak bisa ajak Zizi." Tak ingin mendengar alasan lagi dari mamanya, Kafka segera berlalu dari ruangan yang menurut Kafka terasa memuakkan. Sedangkan Zizi yang melihat sikap Kafka seperti itu, semakin merasa terobsesi untuk mendekatinya dan mendapatkannya. Kafka dengan segera mengendarai mobilnya sembari melihat sisi jalan. Mencari seseorang yang ia cintai. Embusan nafas kelegaan ia hela kala melihat sosok mungil yang selalu ia cintai. Kafka bisa melihat betapa sedihnya wanita itu. Dengan segera, Kafka menghentikan mobilnya di depan Ava. Begitu terlukanya Ava saat ini. Hingga kedatangan mobil Kafka pun ia tak menggubrisnya. Tak ingin wanita yang ia cintai lebih bersedih, Kafka segera turun untuk menghampirinya. "Ava," panggil Kafka saat ia berada di depan Ava. "Kaf ...," panggil Ava dengan nada lirihnya. Oh tidak, Kafka benci air mata itu. Dengan sigap ia menghapus lelehan air asin itu. Mengecup dua kelopak mata sembab itu dan segera merengkuh tubuh mungil yang ia cintai dalam dekapannya. Dan tanpa ragu pun Ava membalas pelukan itu. "Ssst udah. Jangan nangis. Aku udah bilang. Aku nggak suka lihat kamu nangis." Ava masih sesenggukan dalam dekapan Kafka. Sedang Kafka tak henti-hentinya mengusap punggung Ava. "Aku antar kamu pulang, ya?” Ava hanya bisa mengangguk. Dengan perlakuan manisnya, Kafka membantu Ava untuk masuk dalam mobilnya. Membantu Ava untuk memakai sabuk pengamannya, dan segera memutari mobil ke arah kemudi. Tak ada percakapan dalam perjalanan mereka. Hanya ada kesunyian yang melingkupi. Tapi Kafka merasa tenang kala tak mendengar isakan Ava lagi. Mobil Kafka berhenti saat lampu merah menyala. Tatapan Kafka kini beralih pada Ava yang sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin, ia merasa lelah karena terlalu lama menangis. Dengan keberanian penuh, Kafka membelai wajah Ava. "Aku nggak akan biarkan kamu terus-terusan bersedih. Kamu ada hanya untuk bahagia. Dan akulah yang akan membuatmu bahagia. Aku janji," ucap Kafka pada Ava. Meskipun Kafka yakin, Ava tak akan mendengarnya. Kafka mendekatkan wajahnya pada Ava. Dengan gerakan pelan, ia mengecup kening Ava penuh kasih sayang. Dan segera melepasnya agar Ava tidak terbangun. Kafka kembali melajukan mobilnya saat lampu telah berubah warna. Tatapan tajam elangnya terarah pada jalan di depannya. Dengan mengendarai penuh kehati-hatian, dalam hati Kafka berkata, “Melihat kelakuan lo kayak gini, membuat gue semakin yakin untuk merebut Ava dari lo, Kak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN