I

1137 Kata
"Atasan menghubungiku untuk membiarkanmu bebas kemana saja yang kausuka di rumah ini," Helen menoleh dengan mata melebar. "Tetapi tentu saja dengan pengawasan ketat," jawab Kenta kemudian. Helen mengerutkan dahinya dan menatap sekeliling ruangan terutama sudut-sudutnya. Matanya menyipit saat menemukan ada satu CCTV yang menyala dan merekamnya. Membuat wajahnya berubah kaku. "Aku mengerti," balas Helen dingin. Dia memainkan gelas itu dan membiarkan pria itu mengangguk dan sedikit memberinya kebebasan untuk melihat sekeliling rumah. Helen turun dari kursinya dan membuka tirai jendela besar. Dimana rumah ini sudah diputari pagar tinggi berduri di atasnya dan beberapa orang berbadan besar berjas hitam berjaga di sekeliling rumah. Helen memasang wajah ngerinya dan segera menutup tirai itu cepat. "Aku, Miwaki Kenta," Helen menoleh dengan wajah bingung. "Kenta?" Senyum pria itu terlihat ramah. "Kau boleh memanggilku seperti itu, Nyonya. Maaf karena aku tidak memakai bahasa formal, karena perintah atasan," katanya. Helen hanya mengangguk singkat. Dia kembali duduk di kursinya dan memainkan gelasnya. Membuat Ayame datang. "Ada lagi yang diperlukan?" Helen menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku ingin disini." Helen memposisikan tempat duduknya agar lebih nyaman. Tidak peduli bagaimana tatapan Kenta yang mengikutinya. Ponsel tiba-tiba berbunyi. Helen mengerutkan dahinya saat dia mendengar bunyi ponsel Kenta heboh memenuhi ruangan yang sepi. Kenta segera menyingkir darisana. Membuat Helen memunggungi CCTV yang menyala dan menyuruh Ayame mendekat. "Ayame," panggil Helen hati-hati. Ayame segera mengangguk. Dia menatap Helen takut-takut. "Ada apa, Nyonya?" "Kau tahu dimana pintu keluar melalui taman belakang rumah?" tanya Helen yang sukses membuat mata Ayame membulat takut. Ayame menatap Helen dengan tubuh bergetar. "Maafkan aku, tapi aku ..." Helen menggeleng dengan menaruh telunjuk di bibirnya. "Tolong, kita sedang diawasi sekarang," kata Helen pelan. "Aku harus mencari ayahku karena b******n itu membawanya pergi ke suatu tempat. Aku akan menghubungi polisi dan kau akan selamat," kata Helen berusaha meyakinkan. Kepala Ayame kembali menggeleng. Kedua mata cokelatnya tampak menggenang karena takut. "Tidak, Nyonya ini berbahaya. Anda tidak tahu bagaimana kejamnya Tuan Levante jika menyangkut masalah ini." Helen memandang Ayame dengan ragu. Sikap keras kepalanya masih menjadi juara hingga mengabaikan alarm peringatan di dalam kepalanya. "Ayame percayalah. Mereka akan takluk dibawah polisi-polisi itu. Aku akan pergi ke kantor polisi dan melaporkan ini. Aku akan mencari ayahku," ucapnya meyakinkan. Ayame terdiam meskipun wajahnya pucat dan matanya menggenang. Dia mengangguk kecil dan membuat Helen tersenyum. *** Jam dua pagi. Helen menarik napas panjang, lalu membuangnya. Terus begitu sampai dia merasa tenang. Ini bagus untuknya karena Zou tidak mengunjungi kamarnya dan membuat Helen bisa leluasa berpikir caranya untuk meloloskan diri tanpa melibatnya nyawa orang banyak. Dia sudah menyuruh Ayame untuk tutup mulut dan semuanya selesai. Ayame bersumpah akan mengabdi padanya. Itu membuatnya tenang. Helen meremas kedua tangannya karena memikirkan bagaimana kondisi ayahnya saat ini. Jika saja dia berhasil selamat, dia akan pergi melarikan diri ke negara yang tidak bisa dijangkau Levante Zou bersama anak buahnya bersama ayahnya. Helen tiba-tiba menunduk. Merasakan perasaan sedih yang bergejolak didalam dadanya. Menghela napas panjang sekali lagi, Helen pergi diam-diam melewati pintu kamarnya dan berhasil. Zou memang melepas penjagaan ketat di luar kamarnya dan itu membuatnya senang. Ayame bilang, jika dirinya pergi melalui pintu belakang dimana menghubungkan antara ruang tengah dengan kolam renang dan taman belakang yang bisa membawa Helen pergi ke sebuah pagar dimana kondisinya tidak terkunci. Helen dengan otak cerdasnya segera mengerti dan menyiapkan beberapa rencana agar dirinya berhasil menyelinap pergi dengan rapi. Helen menahan napasnya saat menuruni anak tangga dengan hati-hati dan bersyukur karena lampu-lampu dimatikan membantunya sedikit untuk lebih tenang agar tidak ketahuan. Hanya ada lampu-lampu kecil kekuningan yang menyala untuk membantu penerangan dan Helen bisa melewatinya dengan mudah. Dia pernah melakukan ini saat menyelinap pergi tengah malam untuk pesta malam dari sang ayah dan ini sedikit membantunya. Helen tersenyum dan bersiap untuk membuka gagang pintu menuju kolam renang sampai dia mendengar sesuatu terjatuh dan membuatnya melompat dengan tubuh bergetar. Helen memejamkan matanya saat lampu menyala terang hingga menyilaukan matanya. "Lihat, apa yang sedang dilakukan kelinci kecil ini ..." Helen berbalik dengan mata melebar saat dia menebak siapa suara dalam nan berat yang terasa dekat dengannya. Wajahnya pucat dan tubuhnya bergetar mundur menabrak pintu tertutup di belakangnya. Zou berdiri dengan Ayame yang berlutut di sampingnya dengan wajah memerah dan air mata yang merembes keluar dari matanya yang terpejam. Helen menggeleng saat Ayame membuka matanya dan wajah putus asa gadis itu terasa menamparnya. "Apa kau lupa dengan peringatanku kemarin malam, Helen?" Mata Helen melebar terlebih saat pria itu memanggilnya dengan sebutan namanya. Membuat Helen semakin meringsut mundur ketika oniks itu menggelap marah padanya. Helen menatap Kenta dan pria berambut oranye berbadan besar yang memandangnya penuh jijik. Wajah Kenta tampak datar tapi dia tidak bisa menyembunyikan kilatan matanya yang khawatir pada Helen. Dan tiga orang pria lainnya yang datang setelah melihat kekacauan ini. Helen menatap Zou, berusaha menantangnya. "Aku hanya ingin lepas darimu!" jawabnya. Zou mendengus. Dia mengeluarkan pistol dari saku belakang celananya dan mengarahkan moncong itu ke pelipis Ayame. "Coba saja kalau kau berani melakukannya. Aku sudah katakan, setiap langkahmu pergi, akan ada satu nyawa yang hilang." Mata Helen melebar saat isakan Ayame semakin keras. Terlebih saat Zou bersiap menarik pelatuknya dan kepala Ayame akan tertembak saat itu juga. "Tidak, kumohon, jangan sakiti dia ..." Zou hanya tersenyum miring. Dia menatap Helen dengan pandangan tajamnya lalu tangannya bergerak ke sisi lain tubuhnya dan ... DOR! Mata Helen melebar dan mulutnya terbuka saat Zou mengarahkan satu tembakannya ke arah salah satu pria yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Peluru perak itu menembus kepalanya dan darah membasahi lantai ruang tengah yang dingin dengan deras. Helen menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan Ayame ambruk dengan isakan saat Zou mengarahkan kemarahannya pada orang lain dan bukan dirinya. Lalu, isakan Ayame semakin keras saat salah satu pria berambut oranye datang mendekat dan menyeretnya paksa ke sebuah tempat dimana tidak Helen ketahui. "Ini karena kesalahanmu," Zou berujar sinis dan membanting pistolnya ke lantai. "Kaupikir aku bodoh dan kau bisa menipuku begitu saja?" "Aku melihatmu, Helen," Tubuh Helen bergetar. "Aku selalu mengawasimu. Tahukah kau?" Zou mendengus. Menendang mayat salah satu anak buahnya dengan kasar hingga darah mengotori celananya. "Kau dengan sok pintar meminta Ayame untuk memberitahu tempat yang bisa kau jadikan jalur untuk meloloskan diri. Apa kau lupa kalau rumah ini benar-benar diawasi?" Helen menggeleng dengan wajah memerah. "Aku bahkan tidak bisa tidak tersenyum saat melihatmu menuruni tangga dengan senang," Helen mengerutkan dahinya, menatap Zou dengan matanya yang menggenang. "Jangan coba membodohiku lagi atau aku benar-benar akan berlaku kasar padamu." Zou memutar tubuhnya dan berbalik pergi menaiki anak tangga dengan langkah ringan. Kenta memandang Helen datar meskipun tatapan matanya terselip rasa iba yang tak kasat mata. Helen jatuh dengan tubuh bergetar dan membiarkan beberapa pria berjas membereskan mayat pria itu dengan gerakan cepat hingga semuanya selesai. Helen masih menangis terlebih ketika ruangan itu berubah sepi hanya menyisakan dirinya sendiri yang menangis memeluk tubuh lemahnya tak berdaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN